Friday, January 6, 2017

Curriculum Problem in the 21st Century


Modern school curriculum is designed using the assumption of the form of knowledge as set up in the categorization of disciplines in the higher education system.  The specification model takes precedence as the organization principle in the higher education system.  For the sake of convenience and for the purpose of focus, knowledge is compartmentalized based on what is considered belonging to the compartment.  For example, the study of physical living things is put under what is called as biology, whereas the study of physical non-living things is put under what is called as physics.  Even within those categories there are myriad of divisions set up in order to assist the focus.  This setting up of divisions within each category is done through the narrowing down of the scope of research in order to figure out the simplest understanding of the complex knowledge.  Consequently, as each division goes deeper into the narrow scope, the coherence of each category is compromised.  To bring each division together would be quite a challenge.

Let me illustrate it.  In the junior high biology lab, the teacher gives a task to figure out the inside of a frog.  So the students dissect the frog.  As they cut the frog’s body open, they find the internal organs of the frog.  They find the heart, the lung, the kidney, the liver, the intestines, and so on.  Now, each internal organ is complex in itself.  Heart has its own function that needs to be figured out.  It also has its own mechanism.  Liver also has its own function that needs to be figured out.  The same as heart, liver also has its own mechanism.  With all the internal organs figured out in its own respective division, the teacher asks how all the internal organs work together to get the frog alive and well.  Here the problem suddenly becomes extremely difficult.

Yang Academy for School & University

Kritik Terhadap Masalah Guru di Indonesia: Terhormat atau Terhina?



“Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani Di depan menjadi teladan, Di tengah membangkitkan semangat, Di belakang memberikan motivasi.” 

Ki Hajar Dewantara

Moto dari sekolah Taman Siswa yang didirikan Ki Hajar Dewantara di tahun 1922 di Yogyakarta ini menjadi moto pendidikan di seluruh negri. Taman Siswa adalah pelopor sekolah Indonesia yang membuka kesempatan bagi seluruh rakyat tanpa memandang ras, status sosial, kemampuan ekonomi. Taman Siswa merupakan jawaban kepada sistem sekolah kolonial yang mendiskriminasi orang-orang Indonesia. Moto Taman Siswa ini menjadi prinsip dasar bagi para guru di seluruh tanah air. Bagaimana seorang guru ideal itu dimengerti oleh Ki Hajar Dewantara, diekspresikan secara tuntas dan elegan di dalam moto tersebut.

Telah dikenal dan sering didengungkan kata-kata: “Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa.” Ketika kata-kata ini disampaikan, maksudnya adalah memberikan pujian yang tak ternilai harganya. Sebetulnya ini adalah pujian yang sangat baik dan penuh dengan dignitas. Apalagi ketika dipahami dalam konteks perjuangan kemerdekaan di dalam pertempuran medan perang yang dipenuhi dengan tetesan darah dan penyerahan nyawa. Guru yang sedianya adalah mengerjakan proses belajar mengajar dalam situasi yang kondusif disamakan dengan pahlawan yang menghadapi resiko terluka, kehilangan anggota tubuh, dan bahkan kematian.

Jika pahlawan di medan tempur mendapatkan tanda jasa yang akan dikenang selama-lamanya, guru dikatakan tidak mendapatkan tanda jasa itu. Pahlawan yang satu ini sampai matipun tidak akan mendapatkan tanda jasa kehormatan seperti para pahlawan yang bertempur di medan perang. Dianggapnya guru sebagai pahlawan adalah karena kualitas dan kepentingannya diakui sebagai esensial di dalam pembentukan moral dan intelektual rakyat. Tanpa guru ada maka proses pendidikan tidak akan pernah bisa berjalan.

Posisi sebagai guru tidak boleh dieliminasi jika suatu bangsa hendak memiliki moral dan intelektual yang baik dan kuat. Generasi muda perlu dididik sedemikian rupa untuk boleh bertumbuh dengan sehat dan dewasa.

Kritik Terhadap Sekolah di Indonesia: Pendidikan Revolusi Industri



Sejak dimulainya revolusi industri di tahun 1760, dinamika masyarakat dunia berubah dengan sangat drastis. Selama ribuan tahun sebelumnya masyarakat dunia hidup dengan ritme agraria dan agrikultur. Tetapi revolusi industri merubah wajah kehidupan masyarakat dunia dengan waktu yang sangat singkat. Hanya membutuhkan waktu sekitar 60-80 tahun saja kebiasaan hidup agraris berubah menjadi industrialis, yaitu dari tahun 1760 sampai 1820/1840. Maka sejak saat itu percepatan hidup manusia menjadi sangat intens.

Tuntutan hidup juga menjadi sangat banyak dan tinggi. Kira-kira seratus tahun setelah dunia berubah menjadi industrialis, populasi penduduk dunia meledak dengan sangat mengejutkan. Jika di tahun 1960an penduduk dunia berkisar 2 milyard orang, di tahun 2000 penduduk dunia menjadi hampir 5 milyard orang. Ledakan populasi manusia ditambah dengan revolusi industri membuat pola kehidupan yang sangat kompetitif dan konsumeristis. Di dalam perubahan dinamika kehidupan sosial seperti ini, pendidikan pun mengalami perubahan yang sangat drastis.

Thursday, January 5, 2017

Integritas Guru



18Hajarlah anakmu selama ada harapan, tetapi jangan engkau menginginkan kematiannya. ~ Amsal 19:18

Guru secara alamiah diberikan otoritas atas hidup murid-muridnya. Otoritas ini datang dengan semacam kuasa yang dapat mempengaruhi hidup murid. Setiap orang yang diberikan kuasa perlu hati-hati dalam menggunakan kuasa tersebut. Kuasa yang besar ini memiliki dua mata pedang. Kuasa ini bisa dipakai untuk membangun, tetapi juga bisa dipakai untuk menghancurkan. Kuasa yang diberikan oleh Tuhan kepada guru adalah kuasa yang paling agung. Oleh karena itu kuasa ini bisa juga menjadi kuasa yang paling destruktif di seluruh alam semesta. Orang-orang yang paling agung di sepanjang sejarah bukanlah orang-orang yang memenangkan peperangan, atau orang-orang yang paling kaya, atau orang-orang yang paling sukses dalam karir dan hidupnya, tetapi orang-orang yang paling agung adalah orang-orang yang mengajar di dalam integritas yang tinggi. Orang-orang seperti Yesus Kristus, Mahatma Gandhi, Sidharta Gautama, Konghucu, Muhammad, Sokrates, Plato, Aristoteles, adalah orang-orang yang paling berpengaruh dalam sepanjang segala abad. Di dalam diri mereka ada suatu kuasa yang sangat besar, yang pedang tidak mampu mematikannya. Justru kuasa perkataan mereka mampu membuat orang meletakkan pedangnya dan menyerahkan hidupnya. Napoleon Bonaparte mengakui bahwa walaupun dia adalah jendral perang yang hebat, pemimpin bangsa yang luar biasa, penakluk negara-negara yang tangguh, dia bukanlah orang teragung dalam sejarah. Napoleon lalu mengaku bahwa Yesus Kristus orang Nazareth itu yang hidupnya sederhana, yang tidak pernah mengangkat pedang, yang tidak pernah menaklukkan negara dengan kekuatan militer, justru adalah orang teragung, sebab semua bangsa takluk kepadaNya dan kerajaanNya terus berdiri sepanjang masa tanpa ada kekuatan militer apapun mampu menaklukkannya.