Tuesday, January 31, 2017

Belajar dan Assessment




The individualization of learning fundamentally redefines the role of assessment.”
Individualisasi belajar secara fundamental mendefinisikan ulang peran assessment.
Sebastian Thrun
(former Google VP, Professor of Computer Science at Stanford University, & CEO of Udacity)

Di dalam pemahaman mengenai belajar yang paling mutakhir di abad 21 ini, perlu disadari bahwa keseragaman dalam belajar sudah tidak lagi dipandang sebagai standar di dalam pendidikan.  Belajar di abad 21 ini dipahami sebagai proses pengembangan diri seseorang yang unik dari satu pribadi ke pribadi yang lain.  Dilema di dalam pendidikan formal khususnya adalah permasalahan menentukan manakah yang akan dipakai sebagai titik pijak, apakah pengetahuan ataukah setiap pribadi?  Jika pengetahuan yang menjadi titik pijak maka semua murid harus belajar pengetahuan yang sama dengan cara yang sama, inilah prakteknya di sekolah tradisional.  Tetapi jika setiap pembelajar adalah sebagai titik tolaknya, maka belajar pengetahuan apa ditentukan oleh kapasitas, minat, dan motivasi setiap pribadi.  Ketika titik tolak diletakkan pada pengetahuan maka pengaturan kelas menjadi lebih mudah.  Secara organisasi pilihan pertama ini sangatlah menguntungkan.  Tetapi pilihan kedua memberi kesulitan yang cukup besar sebab setiap pribadi perlu dipahami dan variasi pengetahuan yang luas perlu disediakan.   Model pendidikan ala pabrik jelas tidak mungkin bisa dikerjakan dalam pilihan kedua ini.  Sebastian Thrun memberikan suatu hint bahwa di abad 21 ini belajar sudah masuk dalam kondisi individualisasi.  Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri jika kita melihat pendidikan secara seksama.  Misal, 20 tahun yang lalu universitas hanya punya 20-30 jurusan.  Tetapi sekarang 30 jurusan sudah tidak cukup untuk mengakomodasi variasi kemampuan, kapasitas, minat, dan kebutuhan baik murid maupun dunia kerja.  Universitas senantiasa mengembangkan variasi jurusan dengan menambah jumlah jurusan, mengkombinasi jurusan-jurusan yang ada menjadi jurusan lain, memodifikasi jurusan menjadi spesialisasi yang berbeda-beda, dan lain sebagainya.

Monday, January 30, 2017

Pendidikan Wawasan Bangsa: Terbelenggu di dalam Gua atau Keluar?



Habis Gelap Terbitlah Terang
Raden Ajeng Kartini
Plato’s “Allegory of the Cave”
Drawing by: Markus Maurer
Source: 

Veldkamp, Gabriele. Zukunftsorientierte Gestaltung informationstechnologischer Netzwerke im Hinblick auf die Handlungsfähigkeit des Menschen. Aachener Reihe Mensch und Technik, Band 15, Verlag der Augustinus Buchhandlung, Aachen 1996, Germany

Dikisahkan oleh Plato percakapan Socrates dan Glaucon (saudara Plato) di dalam bukunya “Republic” bahwa manusia digambarkan sedang dipenjara di dalam sebuah gua sejak lahir.  Seumur hidup orang-orang ini hanya menatap ke dinding kosong.  Di belakang mereka persis ada sebuat tembok tinggi yang membatasi mereka sehingga mereka tidak dapat melihat apa yang ada di belakang mereka.  Di balik tembok tersebut ada api.  Ada orang-orang yang membawa obyek-obyek di atas kepala mereka yang mana bayangan dari obyek-obyek tersebut terlihat di dinding kosong yang selalu ditatap oleh orang-orang yang terpenjara itu.  Sehingga bagi mereka yang terpenjara, realita hidup adalah bayangan yang mereka lihat seumur hidupnya.  Mereka memberi nama masing-masing obyek, yang sebenarnya hanyalah bayangan, yang mereka lihat di dinding kosong tersebut.  Suatu saat seorang terpenjara tersebut dibebaskan dan dibawa ke balik tembok dimana dia melihat api.  Tetapi nyala api tersebut sangat menyilaukan matanya yang seumur hidup hanya terbiasa melihat bayangan dan kegelapan saja.  Sehingga di dalam penderitaan karena kesilauannya, orang ini langsung lari kembali ke tempat dia semula dan menikmati kenyamanan hidupnya yang dia tahu sejak dia lahir. 

Thursday, January 26, 2017

Seri Pendidikan Keluarga Kristen: Dasar Pendidikan Keluarga Kristen



1"Inilah perintah, yakni ketetapan dan peraturan, yang aku ajarkan kepadamu atas perintah TUHAN, Allahmu, untuk dilakukan di negeri, ke mana kamu pergi untuk mendudukinya, 2supaya seumur hidupmu  engkau dan anak cucumu takut akan TUHAN, Allahmu, dan berpegang pada segala ketetapan dan perintah-Nya yang kusampaikan kepadamu, dan supaya lanjut umurmu.  3Maka dengarlah, hai orang Israel! Lakukanlah itu dengan setia, supaya baik keadaanmu, dan supaya kamu menjadi sangat banyak, seperti yang dijanjikan  TUHAN, Allah nenek moyangmu, kepadamu di suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya.  4Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!  5Kasihilah TUHAN, Allahmu , dengan segenap hatimu  dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.  6Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, 7haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.  8Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, 9dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu.
Ulangan 6:1-9

Sebelum semua konten pendidikan yang lain dan semua metode pendidikan dan semua model pembelajaran dilaksanakan dengan penuh kesungguhan di keluarga, satu hal yang paling penting yang mendasari pendidikan keluarga Kristen adalah ayat ke-empat dari perikop di atas.  Mengasihi Tuhan Allah di atas segala-galanya adalah fondasi utama pendidikan keluarga Kristen.  Kasih kepada Allah menopang semua prinsip kehidupan yang akan menjadi pegangan dan kekuatan pertumbuhan karakter, intelek, moral, sosial, dan spiritual dari setiap anggota keluarga.

Wednesday, January 25, 2017

Kritik Terhadap Metode Pembelajaran Nasional: Hafal atau Mengerti?



我听见我忘记,我看见我记住,我做我了解
(Wo ting jian wo wangji, Wo kan jian wo ji zhu, Wo zuo wo liao jie)
Aku mendengar Aku lupa, Aku melihat Aku ingat, Aku melakukan Aku mengerti
---Konghucu---

            2500 tahun yang lalu, jauh sebelum John Dewey mengemukakan ide tentang experiential learning (pembelajaran melalui pengalaman), Konghucu sudah memberikan intisari dari pembelajaran melalui pengalaman dengan membandingkan tiga model pembelajaran yang umum dan paling sederhana.  Konghucu menunjuk kepada poin yang sangat utama didalam pendidikan, yaitu pentingnya learning by doing.  Jika dilihat dari reaksi Dewey di dalam gerakan progressive education dia, terlihat bahwa terjadi kemunduran dalam dunia pendidikan yang selama berabad-abad lamanya.  Protes Dewey terhadap pendidikan tradisional adalah karena pendidikan tradisional sudah sekian lama menerapkan pendidikan yang hanya berhenti pada level kognitif dimana metode pembelajarannya hanya satu, yaitu monolog dari guru kepada murid.  Protes Dewey ini berresonansi dengan Paulo Freire yang mengkritik metode banking information yang adalah metode monolog dari guru ke murid.  Di dalam pendidikan tradisional, guru sebagai pemegang otoritas pengetahuan mengajar murid dengan cara memberitahukan murid apa yang dianggap sebagai hal yang benar.  Dengan demikian murid hanya mendengar instruksi guru dan menerimanya demikian saja.  Konsekuensinya metode belajar yang paling efektif adalah menghafalkan instruksi guru.  Pengertian akan instruksi tidak diperlukan, sebab selama murid mampu menjawab sesuai dengan instruksi gurunya, maka proses belajar mengajar sudah dianggap sukses.  Otomatis metode penilaian pun mengikuti asumsi tersebut dan dibuatkan sistem pengetesan yang hanya mengetes pengetahuan yang sudah disampaikan oleh guru.

Tuesday, January 24, 2017

Kritik Terhadap Pendidikan Moral Nasional: Dasar Etika Hidup



12 Πάντα οὖν ὅσα ἐὰν θέλητε ἵνα ποιῶσιν ὑμῖν οἱ ἄνθρωποι, οὕτως καὶ ὑμεῖς ποιεῖτε αὐτοῖς.
"Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka.”
Yesus Kristus, Alkitab, Matius 7:12


            Dunia filsafat dan etika mengenal kalimat dari Yesus Kristus ini sebagai “the Golden Rule” (Hukum Emas).  Standar etika di dunia ada di dalam kalimat ini.  Tidak ada prinsip etika yang lebih tinggi dari prinsip ini.  Suatu kalimat yang sangat agung di dalam sepanjang sejarah manusia yang menjadi dasar etika moral manusia.  Perkataan Yesus Kristus ini mencakup prinsip etika dari Immanuel Kant yaitu “Do No Harm” (Tidak Menyakiti) dan Konghucu jǐ suǒ , shī rén (“Apa yang kau tidak ingin orang lain lakukan kepadamu, jangan lakukan kepada orang lain”).

            Prinsip “Do No Harm” dari Kant ini bersifat pasif, dimana di dalam prinsip ini pusatnya ada pada kondisi dimana seseorang tidak bertindak sesuatu yang jahat.  Prinsip ini berhenti hanya kepada kondisi vacuum yang mem-void-kan tindakan jahat.  Sehingga pada prinsipnya Kant mengharuskan semua perbuatan yang etis adalah perbuatan yang tidak menyakiti.  Ini ada langkah paling awal sekali dari prilaku yang etis.  Apapun yang dipikirkan, direncanakan, dilakukan, haruslah berada dalam batasan tidak menyakiti ini.  Secara logis dapatlah ditarik kesimpulan bahwa apapun yang menyakiti adalah tidak etis.  Sesuai dengan prinsip ini, maka tidak ada keharusan untuk seseorang itu melakukan sesuatu yang baik secara aktif untuk masuk kategori etis.  Tetapi hanya cukup jika setiap individu tidak melakukan kejahatan.  Ada kemiripan dengan prinsip dari Konghucu.

Sunday, January 15, 2017

Kritik Terhadap Model Kurikulum Nasional: Standard-Based Education



 “Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri.  Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu.”
Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara dipengaruhi oleh Maria Montessori dalam filosofi pendidikannya.  Sehingga beliau sangat memperhatikan kesejahteraan anak-anak baik secara fisik maupun secara spiritual.  Dan di dalam konteks pendidikan yang holistik filosofi ini sangatlah krusial dan memegang kunci kepada pendidikan manusia yang seharusnya.  Sebagai gambaran ilahi, manusia memiliki kodrat dan derajat yang jauh melampaui binatang.  Seperti yang dijelaskan oleh Montessori di dalam konsep pendidikan dia yaitu bahwa manusia tidak boleh hanya bertumbuh pada arah untuk pemenuhan kebutuhan fisik semata.  Ini karena kodrat manusia adalah sebagai ciptaan Allah yang tertinggi derajatnya di bumi.

Kodrat manusia ini ditentukan oleh Sang Pencipta.  Hanya Allah yang tahu manusia itu akan menjadi apa.  Allahlah yang mendesain anak-anak itu nantinya bertumbuh seharusnya bagaimana.  Diletakkan benih keagungan di dalam diri setiap anak yang boleh mengerjakan rancangan dan kehendak dari Sang Penguasa semesta alam.  Ki Hajar Dewantara menyadari hal ini dan menyuarakannya dengan tepat di kalimat di atas.  Implikasinya adalah bahwa pendidik yang baik adalah pendidik yang menyadari kodrat yang ditentukan Allah ini.  Sehingga tugas dan tanggungjawab pendidik adalah “merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu.”  Dignitas manusia yang tinggi ini perlu menjadi acuan para pendidik untuk menjalankan pendidikan yang baik.  Ini adalah kodrat umum manusia.

Thursday, January 12, 2017

Kritik Terhadap Pendidikan Bangsa: Cinta atau Benci Belajar?

Learn as if you were to live forever, and live as if you were to die tomorrow.”
Belajarlah seakan engkau akan hidup selamanya, dan hiduplah seakan engkau akan mati esok.”

Mahatma Gandhi

            Perkataan Mahatma Gandhi ini sangat membekas di hati saya.  Perkataan ini memiliki kedalaman makna yang luar biasa.  Pertama kali saya mendengar kalimat ini, saya merenungkannya siang malam untuk dapat mengerti esensi dari koneksi antara hidup selamanya dan belajar serta antara bagaimana kita hidup dengan kematian.  Permainan kata yang diekspresikan sangatlah indah, dan pada saat bersamaan mengungkapkan kebenaran yang takterbantahkan.  Ada sesuatu di dalam diri manusia yang tidak bisa diganggu gugat, yaitu suatu kecenderungan untuk belajar dan hidup.  Kecenderungan ini adalah kecenderungan alamiah yang mendasar dalam diri manusia.  Sejak manusia itu pertama kali terbentuk di dalam konsepsi, yaitu ketika sperma bertemu dengan ovum, langsung muncullah geliat hidup yang merupakan anugerah ilahi.  Di titik yang sama manusia langsung mengalami yang namanya belajar.  Walaupun untuk usia di bawah tiga tahun, manusia secara umum tidak dapat mengingat apa yang dipelajarinya, tetapi seluruh sel tubuh kita mendapatkan hasil dari kecenderungan belajar yang alamiah ini.  Gairah belajar seorang manusia itu terutama sangatlah terlihat pada diri anak-anak yang tidak henti-hentinya menyerap semua pengetahuan yang berada di hadapannya.  Pengetahuan disini yang saya maksudkan bukan hanya pengetahuan proposisi atau kebenaran logis, tetapi termasuk juga pengetahuan akan bagaimana melakukan sesuatu dan pengetahuan akan seseorang (atau pengenalan).  Pengetahuan proposisi itu misalnya adalah “Gunung Semeru ada di pulau Jawa” atau 1+1=2.  Pengetahuan melakukan sesuatu itu misalnya adalah tahu bagaimana naik sepeda atau tahu bagaimana berenang.  Dan pengetahuan akan seseorang adalah misalnya mengenal ayah atau ibu atau saudara.  Dorongan belajar yang dimulai pada titik kehidupan ini seakan tidak pernah padam di dalam diri manusia.  Selama manusia itu hidup, manusia akan terus belajar.

Tuesday, January 10, 2017

Kritik Terhadap Struktur Kurikulum Nasional: Istilah Kompetensi



Competence: The ability to do something well
Kompetensi: Kemampuan melakukan sesuatu dengan baik
Merriam-Webster Dictionary

 "It is easier to do a job right than to explain why you didn’t.”

(Lebih mudah melakukan suatu pekerjaan dengan benar daripada menjelaskan mengapa tidak melakukan dengan benar).
Martin Van Brunen – the 8th President of the United States of America

Telah ditetapkan tujuan Kurikulum Nasional 2013:

Kurikulum 2013 bertujuan untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia.

Ini adalah suatu tujuan yang baik sekali.  Di dalam tujuan ini terdapat perspektif bahwa rakyat Indonesia bukan hanyalah warga negara Indonesia, tetapi juga warga negara dunia.  Wilayah pendidikan nasional menjadi lebih luas berkali-kali lipat di dalam tujuan ini.  Dan tentunya tujuan yang indah ini berusaha mewujudnyatakan hakekat dan dignitas manusia yang tidak dibatasi oleh negara atau bangsa.  Kemanusian di dalam diri setiap insan Indonesia perlu dipertemukan dengan keseluruhan keberadaan manusia di alam semesta ini.  Perkataan Ki Hajar Dewantara bahwa manusia itu seharusnya berbuat hal yang secara ultimat adalah memberi manfaat kepada manusia pada umumnya dipenuhi melalui tujuan yang telah ditetapkan ini.

            Tetapi saya ada satu kritik yang urgent sekali yaitu penggunaan istilah kemampuan di sana.  Permasalahan penggunaan kata kemampuan tersebut ada pada perangkuman dari kualitas manusia Indonesia yang hendak dicapai.  Kemampuan hidup dan kemampuan berkontribusi dijadikan sebagai titik penyatu hasil akhir pendidikan yang hendak dicapai melalui kurikulum nasional 2013.  Adalah kesulitan jika hendak memahami bagaimanakah seseorang dapat dikatakan mampu hidup.  Istilah mampu hidup itu mengganggu.  Sebab hidup adalah pemberian dan bukan kemampuan.  Adalah lebih tepat jika dikatakan “agar memiliki kemampuan boleh hidup sebagai….”  Kedua, hidup itu jauh lebih besar daripada sekedar suatu kemampuan.  Mampu adalah suatu kata yang meletakkan penekanan kepada kekuatan dalam diri subjek nya.  Ketiga, adalah sangat ambisius jika kurikulum nasional 2013 yang notabene hanya berurusan dengan pendidikan formal dikatakan hendak mencapai tujuan yang sedemikian, yaitu mencapai kemampuan hidup.  Pendidikan formal akan sangat kelabakan mendapati beban ini.  Sedangkan untuk memberikan penilaian apakah seorang murid sudah menguasai ilmu termodinamika saja sekolah masih mengalami kesulitan yang luar biasa, apalagi mengukur kemampuan hidup.  Permasalahan terbesar secara teknis nantinya akan terjadi di area assessment.

Monday, January 9, 2017

Kritik Terhadap Kurikulum Nasional: Memahami Kurikulum



The Medium is the Message.”
(Medianya adalah Pesannya)
Marshall McLuhan

Pengertian umum adalah dibedakan antara media/metode dengan isi/konten.  Bagaimana cara pesan disampaikan dipisahkan dengan isi pesan itu sendiri.  Tetapi Marshall McLuhan menyampaikan kalimat kritis di era postmodern ini untuk membuka mata kita semua, yaitu bahwa media/metode/cara itu pada dirinya sendiri mengandung isi pesan.  Di dalam menyampaikan isi pesan dengan media tertentu membawa pesan yang tidak terbatas hanya pada isi pesan itu saja.  Bungkus dari isi pun menyampaikan sesuatu.  Jika kita mau membeli barang, kita secara tidak sadar juga memperhatikan bungkus dari barang tersebut.  Maka ada pepatah mengatakan: “Don’t judge the book by its cover” (Jangan menilai buku dari sampulnya).  Tetapi malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih, kita selalu menilai buku dari sampulnya.  Itu sebab ada orang-orang yang dibayar secara khusus dengan honor yang tinggi untuk membuat sampul/bungkus/kemasan dari suatu produk.  Pandangan pertama manusia sangat dipengaruhi oleh keindahan kemasan.  Karena melalui kemasan pikiran dan imajinasi kita mengasumsikan bahwa isi di dalam kemasan tersebut seindah kemasannya.  Maka misal kita membeli sebuah tas jinjing.  Lalu dimasukkan kedalam bungkusnya, yang satu adalah tas belanja dengan simbol SOGO department store, yang lain tas yang sama dimasukkan ke dalam tas belanja yang adalah tas plastik/kresek biasa.  Manakah tas yang dianggap bagus kualitasnya dan otentik?  Mungkin 99% orang akan memilih tas yang ada di dalam tas belanja SOGO.  Ini karena medianya adalah pesannya.

Friday, January 6, 2017

Curriculum Problem in the 21st Century


Modern school curriculum is designed using the assumption of the form of knowledge as set up in the categorization of disciplines in the higher education system.  The specification model takes precedence as the organization principle in the higher education system.  For the sake of convenience and for the purpose of focus, knowledge is compartmentalized based on what is considered belonging to the compartment.  For example, the study of physical living things is put under what is called as biology, whereas the study of physical non-living things is put under what is called as physics.  Even within those categories there are myriad of divisions set up in order to assist the focus.  This setting up of divisions within each category is done through the narrowing down of the scope of research in order to figure out the simplest understanding of the complex knowledge.  Consequently, as each division goes deeper into the narrow scope, the coherence of each category is compromised.  To bring each division together would be quite a challenge.

Let me illustrate it.  In the junior high biology lab, the teacher gives a task to figure out the inside of a frog.  So the students dissect the frog.  As they cut the frog’s body open, they find the internal organs of the frog.  They find the heart, the lung, the kidney, the liver, the intestines, and so on.  Now, each internal organ is complex in itself.  Heart has its own function that needs to be figured out.  It also has its own mechanism.  Liver also has its own function that needs to be figured out.  The same as heart, liver also has its own mechanism.  With all the internal organs figured out in its own respective division, the teacher asks how all the internal organs work together to get the frog alive and well.  Here the problem suddenly becomes extremely difficult.

Yang Academy for School & University

Kritik Terhadap Masalah Guru di Indonesia: Terhormat atau Terhina?



“Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani Di depan menjadi teladan, Di tengah membangkitkan semangat, Di belakang memberikan motivasi.” 

Ki Hajar Dewantara

Moto dari sekolah Taman Siswa yang didirikan Ki Hajar Dewantara di tahun 1922 di Yogyakarta ini menjadi moto pendidikan di seluruh negri. Taman Siswa adalah pelopor sekolah Indonesia yang membuka kesempatan bagi seluruh rakyat tanpa memandang ras, status sosial, kemampuan ekonomi. Taman Siswa merupakan jawaban kepada sistem sekolah kolonial yang mendiskriminasi orang-orang Indonesia. Moto Taman Siswa ini menjadi prinsip dasar bagi para guru di seluruh tanah air. Bagaimana seorang guru ideal itu dimengerti oleh Ki Hajar Dewantara, diekspresikan secara tuntas dan elegan di dalam moto tersebut.

Telah dikenal dan sering didengungkan kata-kata: “Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa.” Ketika kata-kata ini disampaikan, maksudnya adalah memberikan pujian yang tak ternilai harganya. Sebetulnya ini adalah pujian yang sangat baik dan penuh dengan dignitas. Apalagi ketika dipahami dalam konteks perjuangan kemerdekaan di dalam pertempuran medan perang yang dipenuhi dengan tetesan darah dan penyerahan nyawa. Guru yang sedianya adalah mengerjakan proses belajar mengajar dalam situasi yang kondusif disamakan dengan pahlawan yang menghadapi resiko terluka, kehilangan anggota tubuh, dan bahkan kematian.

Jika pahlawan di medan tempur mendapatkan tanda jasa yang akan dikenang selama-lamanya, guru dikatakan tidak mendapatkan tanda jasa itu. Pahlawan yang satu ini sampai matipun tidak akan mendapatkan tanda jasa kehormatan seperti para pahlawan yang bertempur di medan perang. Dianggapnya guru sebagai pahlawan adalah karena kualitas dan kepentingannya diakui sebagai esensial di dalam pembentukan moral dan intelektual rakyat. Tanpa guru ada maka proses pendidikan tidak akan pernah bisa berjalan.

Posisi sebagai guru tidak boleh dieliminasi jika suatu bangsa hendak memiliki moral dan intelektual yang baik dan kuat. Generasi muda perlu dididik sedemikian rupa untuk boleh bertumbuh dengan sehat dan dewasa.

Kritik Terhadap Sekolah di Indonesia: Pendidikan Revolusi Industri



Sejak dimulainya revolusi industri di tahun 1760, dinamika masyarakat dunia berubah dengan sangat drastis. Selama ribuan tahun sebelumnya masyarakat dunia hidup dengan ritme agraria dan agrikultur. Tetapi revolusi industri merubah wajah kehidupan masyarakat dunia dengan waktu yang sangat singkat. Hanya membutuhkan waktu sekitar 60-80 tahun saja kebiasaan hidup agraris berubah menjadi industrialis, yaitu dari tahun 1760 sampai 1820/1840. Maka sejak saat itu percepatan hidup manusia menjadi sangat intens.

Tuntutan hidup juga menjadi sangat banyak dan tinggi. Kira-kira seratus tahun setelah dunia berubah menjadi industrialis, populasi penduduk dunia meledak dengan sangat mengejutkan. Jika di tahun 1960an penduduk dunia berkisar 2 milyard orang, di tahun 2000 penduduk dunia menjadi hampir 5 milyard orang. Ledakan populasi manusia ditambah dengan revolusi industri membuat pola kehidupan yang sangat kompetitif dan konsumeristis. Di dalam perubahan dinamika kehidupan sosial seperti ini, pendidikan pun mengalami perubahan yang sangat drastis.

Thursday, January 5, 2017

Integritas Guru



18Hajarlah anakmu selama ada harapan, tetapi jangan engkau menginginkan kematiannya. ~ Amsal 19:18

Guru secara alamiah diberikan otoritas atas hidup murid-muridnya. Otoritas ini datang dengan semacam kuasa yang dapat mempengaruhi hidup murid. Setiap orang yang diberikan kuasa perlu hati-hati dalam menggunakan kuasa tersebut. Kuasa yang besar ini memiliki dua mata pedang. Kuasa ini bisa dipakai untuk membangun, tetapi juga bisa dipakai untuk menghancurkan. Kuasa yang diberikan oleh Tuhan kepada guru adalah kuasa yang paling agung. Oleh karena itu kuasa ini bisa juga menjadi kuasa yang paling destruktif di seluruh alam semesta. Orang-orang yang paling agung di sepanjang sejarah bukanlah orang-orang yang memenangkan peperangan, atau orang-orang yang paling kaya, atau orang-orang yang paling sukses dalam karir dan hidupnya, tetapi orang-orang yang paling agung adalah orang-orang yang mengajar di dalam integritas yang tinggi. Orang-orang seperti Yesus Kristus, Mahatma Gandhi, Sidharta Gautama, Konghucu, Muhammad, Sokrates, Plato, Aristoteles, adalah orang-orang yang paling berpengaruh dalam sepanjang segala abad. Di dalam diri mereka ada suatu kuasa yang sangat besar, yang pedang tidak mampu mematikannya. Justru kuasa perkataan mereka mampu membuat orang meletakkan pedangnya dan menyerahkan hidupnya. Napoleon Bonaparte mengakui bahwa walaupun dia adalah jendral perang yang hebat, pemimpin bangsa yang luar biasa, penakluk negara-negara yang tangguh, dia bukanlah orang teragung dalam sejarah. Napoleon lalu mengaku bahwa Yesus Kristus orang Nazareth itu yang hidupnya sederhana, yang tidak pernah mengangkat pedang, yang tidak pernah menaklukkan negara dengan kekuatan militer, justru adalah orang teragung, sebab semua bangsa takluk kepadaNya dan kerajaanNya terus berdiri sepanjang masa tanpa ada kekuatan militer apapun mampu menaklukkannya.