“The individualization of learning fundamentally redefines
the role of assessment.”
Individualisasi belajar secara fundamental mendefinisikan
ulang peran assessment.
Sebastian Thrun
(former
Google VP, Professor of Computer Science at Stanford University, & CEO of
Udacity)
Di dalam pemahaman mengenai belajar yang
paling mutakhir di abad 21 ini, perlu disadari bahwa keseragaman dalam belajar
sudah tidak lagi dipandang sebagai standar di dalam pendidikan. Belajar di abad 21 ini dipahami sebagai
proses pengembangan diri seseorang yang unik dari satu pribadi ke pribadi yang
lain. Dilema di dalam pendidikan formal
khususnya adalah permasalahan menentukan manakah yang akan dipakai sebagai
titik pijak, apakah pengetahuan ataukah setiap pribadi? Jika pengetahuan yang menjadi titik pijak
maka semua murid harus belajar pengetahuan yang sama dengan cara yang sama,
inilah prakteknya di sekolah tradisional.
Tetapi jika setiap pembelajar adalah sebagai titik tolaknya, maka
belajar pengetahuan apa ditentukan oleh kapasitas, minat, dan motivasi setiap
pribadi. Ketika titik tolak diletakkan
pada pengetahuan maka pengaturan kelas menjadi lebih mudah. Secara organisasi pilihan pertama ini
sangatlah menguntungkan. Tetapi pilihan
kedua memberi kesulitan yang cukup besar sebab setiap pribadi perlu dipahami
dan variasi pengetahuan yang luas perlu disediakan. Model pendidikan ala pabrik jelas tidak
mungkin bisa dikerjakan dalam pilihan kedua ini. Sebastian Thrun memberikan suatu hint bahwa di abad 21 ini belajar sudah
masuk dalam kondisi individualisasi.
Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri jika kita melihat pendidikan secara
seksama. Misal, 20 tahun yang lalu
universitas hanya punya 20-30 jurusan.
Tetapi sekarang 30 jurusan sudah tidak cukup untuk mengakomodasi variasi
kemampuan, kapasitas, minat, dan kebutuhan baik murid
maupun dunia kerja. Universitas
senantiasa mengembangkan variasi jurusan dengan menambah jumlah jurusan,
mengkombinasi jurusan-jurusan yang ada menjadi jurusan lain, memodifikasi
jurusan menjadi spesialisasi yang berbeda-beda, dan lain sebagainya.
Masih banyak hal lain yang bisa dilihat dari
kacamata pendidikan yang menunjuk kepada keharusan mengindividualisasi
belajar. Salah satu alasan yang paling
kuat adalah didapat dari hakekat manusia itu sendiri, dimana manusia itu tidak
ada dua orang yang memiliki kesamaan 100%.
Bahkan identical twins pun
masing-masing memiliki keunikannya sendiri-sendiri. Argumentasi ontologis ini tidak dapat
diabaikan, apalagi dibantah. Implikasi
fakta ini besar sekali bagi pendidikan.
Salah satu perangkat penting dalam pendidikan adalah assessment. Tidak dapat ditutupi bahwa invidualisasi
belajar ini akhirnya pun harus membawa perubahan pada konsep dan bahkan praktek
assessment. Sebastian Thrun menyadari
hal ini, sehingga ketika dia mendirikan Udacity dia menggunakan konsep
assessment yang berfokus kepada perkembangan setiap individu sesuai keunikan
dan kapasitas masing-masing. Sejak
Howard Gardner meluncurkan ide Multiple
Intelligences di tahun 80an sampai sekarang, invidualisasi belajar sudah
berkembang dengan sangat luar biasa bahkan sampai pada titik dimana institusi
pendidikan formal mengalami transformasi penting yaitu institusi pendidikan
formal sekarang menjadi sangat flexible di dalam kurikulum mereka demi
mengakomodasi setiap murid. Di Finlandia
sudah diberlakukan secara nasional yaitu proses pembelajaran yang
mengikutsertakan setiap murid dalam perencanaan gol dan tujuan belajar setiap
individu. Sehingga apa yang mau
dipelajari dalam mata pelajaran tertentu, seberapa jauh yang hendak dipelajari,
pengetahuan apa saja yang mau dipelajari, dan lain-lain dibuat oleh guru dan
murid sesuai dengan keinginan, kemampuan, dan motivasi murid sendiri. Bukan sekolah yang menentukan. Bukan guru yang menentukan. Maka assessment pun dibuat sesuai dengan
perencanaan pembelajaran yang sudah dibuat sesuai keunikan masing-masing. Jika kita sekarang ke Finlandia, kita akan
menemukan bahwa dalam satu kelas ada performa akademik yang berbeda-beda dari
satu anak ke anak yang lain, tetapi assessment tidak lagi didasarkan akan iklim
kompetisi antar murid. Tidak ada sistem
ranking. Tidak ada ditemukan bahwa Annie
lebih pandai dari Bob karena Annie memiliki pengetahuan dengan kuantitas lebih
banyak daripada Bob. Yang ada adalah
bahwa setiap anak terdorong oleh keinginannya sendiri. Sehingga kompetisinya adalah dengan diri
sendiri. Dan ini lebih kepada penemuan
akan kemampuan diri sendiri yang makin berkembang dan bertumbuh. Assessment ditentukan dari tercapainya gol
yang sudah ditentukan sendiri atau tidak.
Dengan konteks belajar dan assessment
sedemikian murid-murid di Finlandia menjadi lebih giat belajar. Mereka belajar bukan karena takut mendapatkan
nilai jelek. Mereka belajar bukan karena
dipaksa orang tua. Mereka belajar bukan karena
takut diejek karena rankingnya rendah.
Tetapi mereka belajar karena mereka suka menemukan hal yang baru. Mereka belajar karena ada kenikmatan dalam
mencapai gol yang ditentukan sendiri.
Mereka belajar karena mereka dapat mengenal kemampuan diri sendiri yang
semakin berkembang dan bertumbuh. Dua
kubu stimulasi belajar ini berbeda jauh sekali.
Yang satu distimulasi oleh rasa takut.
Yang lain distimulasi oleh kenikmatan dan kesukacitaan. Hasilnya jauh sekali berbeda. Yang distimulasi oleh rasa takut hanya akan
menjadikan belajar sebagai alat untuk menghindari hukuman. Ketika belajar hanya menjadi alat maka
belajar akan berhenti ketika ancaman sudah tidak ada lagi. Pada titik itu murid akan mengalami penurunan
drastis dalam hidupnya karena dia berhenti belajar. Sedangkan yang distimulasi oleh kenikmatan
dan kesukacitaan justru akan menjadikan belajar sebagai bagian hidup. Ketika hal ini terjadi murid tidak akan
pernah berhenti belajar. Ini yang
dinamakan lifelong learning (belajar
seumur hidup). Peningkatan kualitas
hidup justru sangat dimungkinkan ketika di dalam hati seseorang ada lifelong learning. Dalam kesulitan apapun dan dalam kondisi
apapun, murid ini akan selalu dapat mencari jalan keluar dan menemukan solusi
atas kondisi dan konteks yang dialaminya.
Secara logis tidak dapat dipungkiri bahwa individualisasi belajar adalah
lebih superior dari menseragamkan belajar.
Satu-satunya keuntungan keseragaman belajar adalah kemudahan
pengorganisasiannya saja.
Tetapi apakah kita sebagai educator akan
mengorbankan nilai kenikmatan, kesukacitaan belajar, dan lifelong learning hanya demi kemudahan pengorganisasian pendidikan
formal? Memilih kemudahan organisasi
dengan mengorbankan ketiga hal tersebut justru mengkhianati fondasi fundamental
dari pendidikan. Masalah
pengorganisasian dapat dicari solusinya yang lain. Soal kenikmatan, kesukacitaan belajar, dan lifelong learning jauh lebih penting
dari masalah organisasi pendidikan formal.
Ada satu artikel yang dimuat di kompasiana oleh Hany Ferdinando, dosen
dari satu universitas terkemuka di Indonesia yang sekarang sedang studi lanjut
untuk doctoral dia di Finlandia, dengan topik “Ada yang lebih berbahaya
daripada ijazah palsu.” Di dalam artikel
itu Ferdinando menyampaikan suatu masalah riil di kampus:
Salah satu masalah
pelik yang dihadapi program studi (prodi) di sebuah perguruan tinggi (PT)
adalah presentase kelulusan dalam sebuah mata kuliah. Hal ini begitu penting,
sehingga bagian ini mendapatkan perhatian dalam penilaian yang dilakukan oleh
Badan Akreditasi Nasional (BAN). Tim penilai yang dikirimkan oleh BAN ke
kampus-kampus selalu mencermati hal ini. Prodi yang memiliki mata kuliah dengan
tingkat kelulusan yang rendah akan langsung mendapat sorotan. Dosen yang dengan
tingkat kelulusan yang rendah langsung 'dihakimi' sebagai dosen yang tidak
berkualitas karena tidak berhasil mengajar dengan baik karena tingkat
kelulusannya rendah. Dosen dianggap tidak bisa memotivasi mahasiswa sehingga
peserta didiknya tidak termotivasi dan mengakibatkan tingkat kelulusannya
rendah. Prodi dinilai tidak menerapkan prinsip penjaminan mutu dalam sistem
perkuliahan. Daftar ini bisa diteruskan sehingga membuat tulisan ini menjadi
sangat panjang. Hal-hal di atas telah membuat prodi dan fakultas bekerja keras
untuk menekan tingkat ketidaklulusan. Prodi melakukan berbagai macam pelatihan
bagi dosen untuk bisa mengajar dan memotivasi mahasiswa sehingga mahasiswa
menjadi giat belajar dan meningkatkan prosentase kelulusan. Dosen dilatih untuk
melakukan evaluasi baik sehingga hasil belajar dapat diperoleh dengan tepat.
Sistem presensi diperketat sehingga mahasiswa 'dipaksa' untuk masuk kuliah dan
tidak ketinggalan materi supaya saat ujian dapat mengerjakan dengan baik. Namun
tidak semua prodi dan fakultas melakukannya dengan bijaksana. Prinsip 'pokoknya prosentase kelulusan
tinggi' telah menciptakan profil dosen yang baru, yaitu menjadi dosen yang bisa
meluluskan sebanyak mungkin mahasiswa di kelasnya walaupun tidak mengajar
dengan baik dan bertanggung jawab. Banyak dosen muda yang kehilangan
idealismenya karena 'dipaksa' mengikuti prinsip di atas. Tudingan menghambat
akreditasi dan memalukan nama prodi, bahkan kampus, telah banyak memakan
korban.[1]
Professor
saya waktu di kelas PhD mengingatkan kami semua murid-murid dia bahwa di dalam
meneliti suatu institusi pendidikan formal, perlu diperhatikan sistem yang
sedang berjalan. Sistem yang dipakai
seringkali adalah inti dari masalah. Dalam kasus yang dipaparkan oleh Ferdinando,
sistem assessment untuk akreditasi
universitas menimbulkan masalah yang berpotensi merusak proses belajar
mengajar. Sistem pengorganisasian yang
dipakai di dalam akreditasi universitas ini membahayakan keutuhan belajar
mengajar yang seharusnya terjadi. Kalau
yang dipilih hanyalah demi supaya nilai akreditasinya baik, maka akibatnya
adalah seperti yang disampaikan Ferdinando, yaitu terjadi banyak ‘kuliah’ palsu
(dosen mengajar dengan tidak bertanggungjawab tetapi semua muridnya
lulus). Di atas kertas kelihatan baik
sekali sebab angka kelulusan tinggi, dimana akreditasi menjadi bagus pula. Tetapi ketika sungguh-sungguh dinilai sesuai
dengan maksud dan tujuan pendidikan yang baik, terjadilah pengabaian dan pengkhianatan
akan pendidikan yang sejati.
John Harris, dulu provost di Samford
University, ketika datang mengajar kelas PhD saya mengenai assessment, memberi
penekanan yang besar sekali akan peran assessment di dalam pendidikan
formal. Harris mengatakan bahwa
pemilihan model assessment akan memberi pengaruh yang besar, dan bahkan dapat
menentukan proses belajar mengajar.
Secara praktis demikianlah yang terjadi.
Sebagai contoh sederhana saja, Ujian Nasional. UN adalah satu model assessment yang dipakai
untuk menjadi alat penilaian performa akademik murid-murid yang sudah melewati
satuan pendidikan tertentu sampai pada jenjang pendidikan formal tertentu. Secara teori, hasil UN dianggap sebagai
akumulasi hasil belajar murid. Untuk
dapat mencapai kategori lulus UN ada standar nilai yang harus dilewati. Murid hanya perlu melewati standar nilai yang
diberikan untuk mencapai kelulusan.
Secara praktek, hasil UN ini tidak berhasil mengukur kemampuan akumulasi
hasil belajar murid. Yang diukur
hanyalah kemampuan murid memberikan jawaban benar pada soal multiplikasi
UN. Yang penting adalah jawaban benar,
tidak penting jawaban didapat dari mana dan bagaimana. Tidak penting apakah murid mengerti,
memahami, atau bahkan tahu maksud dan tujuan dari soal yang diberikan. Di dalam praktek UN, satu-satunya yang
penting hanya memberikan jawaban yang benar.
Maka tidak heran ada banyak sekali terjadi kecurangan dalam UN. Ini baru satu lapisan pendidikan yang
terpengaruh oleh pemilihan assessment dalam bentuk UN ini. Masih banyak lapisan lain yang terpengaruh. Salah satu contoh lagi adalah bermunculanlah
banyak bimbingan belajar (bimbel) di seluruh pojok daerah, demi melakukan
“drill” soal bagi murid-murid yang mengikuti.
Sebagian besar murid tidak terlalu peduli apakah dia mengerti apa yang
dipelajarinya. Satu-satunya yang dikejar
hanyalah bagaimana dapat memberikan jawaban benar sebanyak-banyaknya supaya
bisa lulus UN. Apakah dengan jalur
seperti ini belajar menjadi nikmat dan sukacita? Jawabnya: Tidak. Justru murid merasa belajar menjadi beban
berat. Belajar menjadi ‘hukuman’ dalam
dirinya sendiri. Murid menjalani
‘hukuman’ ini demi menghindari ‘hukuman’ yang lebih besar.
Di abad 21 ini, Indonesia perlu
memikirkan model belajar dan assessment yang lebih baik, yaitu yang berpadanan
dengan hakekat manusia dan dengan hakekat belajar. Belajar tidak seharusnya menjadi beban
apalagi ‘hukuman.” Belajar seharusnya
menjadi kenikmatan dan kesukacitaan.
Ketika belajar menjadi nikmat dan sukacita, anak akan mencintai
belajar. Dan ketika anak mencintai
belajar, maka anak tidak akan pernah berhenti belajar. Demikian pula, ketika assessment mengukur
secara akurat apa yang harus diukur, maka terjadi keadilan. Keadilan bukanlah soal setiap orang
mendapatkan pengalaman yang sama.
Keadilan adalah soal setiap orang mendapatkan apa yang seharusnya sesuai
dengan keunikan masing-masing. Tidaklah
adil jika ada anak yang memiliki kecenderungan intelegensia musik yang tinggi
tetapi tidak terlalu tinggi di dalam logical-mathematical
untuk dianggap bodoh lalu dianaktirikan di dalam perlakuan di pendidikan
formal. Sama juga dengan tidaklah cocok
memaksakan anak dengan kecenderungan intelegensia bahasa yang tinggi tetapi
rendah dalam intelegensia bodily-kinesthetic
untuk harus bisa melakukan tembakan 3 angka dengan sempurna di dalam permainan
basket. Jika seorang anak dengan
intelegensia musik tinggi tetapi logical-mathemical
rendah hendak diajar supaya mencapai level lebih tinggi dalam belajarnya, maka
lebih baik anak dilibatkan di dalam menentukan gol pendidikannya sendiri. Bakat musiknya akan membuat dia menyukai
musik dengan sangat besar sekali.
Sehingga dia mungkin akan meletakkan gol yang sangat tinggi untuk
dirinya dapat capai. Tetapi untuk
wilayah matematika mungkin tidaklah setinggi anak yang memang memiliki bakat
disana. Dengan model seperti ini anak
langsung diberikan ruang untuk bertumbuh sesuai dengan kapasitas dirinya. Secara otomatis langsung dieliminasi perasaan
takut dihina atau dianggap bodoh karena dibandingkan dengan orang lain. Belajar tidak lagi menjadi alat untuk
menghindari ‘hukuman’ yang lebih besar.
Konsekuensi dari model ini adalah
overhaul sistem pengorganisasian yang selama ini berjalan. Guru tidak lagi boleh menjadi hanya sekedar
operator yang menyampaikan konten dari materi mata pelajaran secara
seragam. Guru perlu belajar pemahaman
komprehensif akan bakat dan talenta anak.
Secara otomatis, karena keterbatasan manusia, rasio guru murid harus
diperkecil. Jika 25 tahun lalu dengan
model ‘seragam’ ala pabrik rasio guru murid adalah 1 banding 50, maka dengan
model invidualisasi belajar, rasio guru murid harus diperkecil menjadi paling
tidak 1:12. Ini supaya guru dapat
sungguh-sungguh memperhatikan setiap murid semaksimal mungkin. Dengan invidualisasi belajar, sekolah perlu
belajar mengakomodasi keunikan tiap murid.
Sehingga tentunya diperlukan guru-guru yang sungguh-sungguh ahli di
bidang-bidang yang diajarkan. Keahlian
yang mendalam dibutuhkan untuk kemampuan guru secara kreatif menciptakan
konteks belajar yang unik dari satu anak ke anak yang lain. Maka di negara seperti Finlandia misalnya,
ditemukan guru dengan gelar PhD mengajar di level SD-SMA. Dengan sengaja orang-orang yang memiliki
kemampuan sangat luar biasa ini dipilih untuk menjadi guru di sekolah. Dian Sastrowardoyo pernah mengatakan tentang
perempuan:
“Entah
akan berkarir atau menjadi ibu rumah tangga, seorang wanita wajib berpendidikan
tinggi karena ia akan menjadi ibu. Ibu-ibu cerdas akan menghasilkan anak-anak
cerdas.”
Demikian
pula guru-guru yang cerdas akan menghasilkan murid-murid yang cerdas pula. Maka di Finlandia hadirlah di level SD-SMA
guru-guru handal yang memiliki keahlian mendalam di dalam bidang-bidang yang
diajarkan. Masih banyak hal-hal lain
yang secara otomatis akan mengalami perubahan ketika diadopsi model
individualisasi belajar. Satu lagi
contoh sederhana adalah soal rapor.
Rapor pun akan berubah. Karena
assessment berubah maka penulisan dan pembuatan rapor pun tidak bisa sama. Rapor tidak lagi dilandaskan atas asumsi KKM
yang ditentukan secara nasional atau per daerah provinsi. Tetapi rapor akan dilandaskan pada pencapaian
gol belajar tiap individu sesuai dengan keunikan masing-masing. Demikian juga perubahan pelaporan mata
pelajaran yang ditulis di rapor sebab anak boleh memilih pelajaran apa yang
diminatinya. Perubahan ini akan
menentukan kemajuan pendidikan di Indonesia, dan kemajuan seluruh negara.
ReplyDeleteAwalnya aku hanya mencoba main togel akibat adanya hutang yang sangat banyak dan akhirnya aku buka internet mencari aki yang bisa membantu orang akhirnya di situ lah ak bisa meliat nmor nya AKI NAWE terus aku berpikir aku harus hubungi AKI NAWE meskipun itu dilarang agama ,apa boleh buat nasip sudah jadi bubur,dan akhirnya aku menemukan seorang aki.ternyata alhamdulillah AKI NAWE bisa membantu saya juga dan aku dapat mengubah hidup yang jauh lebih baik berkat bantuan AKI NAWE dgn waktu yang singkat aku sudah membuktikan namanya keajaiban satu hari bisa merubah hidup ,kita yang penting kita tdk boleh putus hasa dan harus berusaha insya allah kita pasti meliat hasil nya sendiri. siapa tau anda berminat silakan hubungi AKI NAWE Di Nmr 085--->"218--->"379--->''259'