Tuesday, January 31, 2017

Belajar dan Assessment




The individualization of learning fundamentally redefines the role of assessment.”
Individualisasi belajar secara fundamental mendefinisikan ulang peran assessment.
Sebastian Thrun
(former Google VP, Professor of Computer Science at Stanford University, & CEO of Udacity)

Di dalam pemahaman mengenai belajar yang paling mutakhir di abad 21 ini, perlu disadari bahwa keseragaman dalam belajar sudah tidak lagi dipandang sebagai standar di dalam pendidikan.  Belajar di abad 21 ini dipahami sebagai proses pengembangan diri seseorang yang unik dari satu pribadi ke pribadi yang lain.  Dilema di dalam pendidikan formal khususnya adalah permasalahan menentukan manakah yang akan dipakai sebagai titik pijak, apakah pengetahuan ataukah setiap pribadi?  Jika pengetahuan yang menjadi titik pijak maka semua murid harus belajar pengetahuan yang sama dengan cara yang sama, inilah prakteknya di sekolah tradisional.  Tetapi jika setiap pembelajar adalah sebagai titik tolaknya, maka belajar pengetahuan apa ditentukan oleh kapasitas, minat, dan motivasi setiap pribadi.  Ketika titik tolak diletakkan pada pengetahuan maka pengaturan kelas menjadi lebih mudah.  Secara organisasi pilihan pertama ini sangatlah menguntungkan.  Tetapi pilihan kedua memberi kesulitan yang cukup besar sebab setiap pribadi perlu dipahami dan variasi pengetahuan yang luas perlu disediakan.   Model pendidikan ala pabrik jelas tidak mungkin bisa dikerjakan dalam pilihan kedua ini.  Sebastian Thrun memberikan suatu hint bahwa di abad 21 ini belajar sudah masuk dalam kondisi individualisasi.  Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri jika kita melihat pendidikan secara seksama.  Misal, 20 tahun yang lalu universitas hanya punya 20-30 jurusan.  Tetapi sekarang 30 jurusan sudah tidak cukup untuk mengakomodasi variasi kemampuan, kapasitas, minat, dan kebutuhan baik murid maupun dunia kerja.  Universitas senantiasa mengembangkan variasi jurusan dengan menambah jumlah jurusan, mengkombinasi jurusan-jurusan yang ada menjadi jurusan lain, memodifikasi jurusan menjadi spesialisasi yang berbeda-beda, dan lain sebagainya.


Masih banyak hal lain yang bisa dilihat dari kacamata pendidikan yang menunjuk kepada keharusan mengindividualisasi belajar.  Salah satu alasan yang paling kuat adalah didapat dari hakekat manusia itu sendiri, dimana manusia itu tidak ada dua orang yang memiliki kesamaan 100%.  Bahkan identical twins pun masing-masing memiliki keunikannya sendiri-sendiri.  Argumentasi ontologis ini tidak dapat diabaikan, apalagi dibantah.  Implikasi fakta ini besar sekali bagi pendidikan.  Salah satu perangkat penting dalam pendidikan adalah assessment.  Tidak dapat ditutupi bahwa invidualisasi belajar ini akhirnya pun harus membawa perubahan pada konsep dan bahkan praktek assessment.  Sebastian Thrun menyadari hal ini, sehingga ketika dia mendirikan Udacity dia menggunakan konsep assessment yang berfokus kepada perkembangan setiap individu sesuai keunikan dan kapasitas masing-masing.  Sejak Howard Gardner meluncurkan ide Multiple Intelligences di tahun 80an sampai sekarang, invidualisasi belajar sudah berkembang dengan sangat luar biasa bahkan sampai pada titik dimana institusi pendidikan formal mengalami transformasi penting yaitu institusi pendidikan formal sekarang menjadi sangat flexible di dalam kurikulum mereka demi mengakomodasi setiap murid.  Di Finlandia sudah diberlakukan secara nasional yaitu proses pembelajaran yang mengikutsertakan setiap murid dalam perencanaan gol dan tujuan belajar setiap individu.  Sehingga apa yang mau dipelajari dalam mata pelajaran tertentu, seberapa jauh yang hendak dipelajari, pengetahuan apa saja yang mau dipelajari, dan lain-lain dibuat oleh guru dan murid sesuai dengan keinginan, kemampuan, dan motivasi murid sendiri.  Bukan sekolah yang menentukan.  Bukan guru yang menentukan.  Maka assessment pun dibuat sesuai dengan perencanaan pembelajaran yang sudah dibuat sesuai keunikan masing-masing.  Jika kita sekarang ke Finlandia, kita akan menemukan bahwa dalam satu kelas ada performa akademik yang berbeda-beda dari satu anak ke anak yang lain, tetapi assessment tidak lagi didasarkan akan iklim kompetisi antar murid.  Tidak ada sistem ranking.  Tidak ada ditemukan bahwa Annie lebih pandai dari Bob karena Annie memiliki pengetahuan dengan kuantitas lebih banyak daripada Bob.  Yang ada adalah bahwa setiap anak terdorong oleh keinginannya sendiri.  Sehingga kompetisinya adalah dengan diri sendiri.  Dan ini lebih kepada penemuan akan kemampuan diri sendiri yang makin berkembang dan bertumbuh.  Assessment ditentukan dari tercapainya gol yang sudah ditentukan sendiri atau tidak.

Dengan konteks belajar dan assessment sedemikian murid-murid di Finlandia menjadi lebih giat belajar.  Mereka belajar bukan karena takut mendapatkan nilai jelek.  Mereka belajar bukan karena dipaksa orang tua.  Mereka belajar bukan karena takut diejek karena rankingnya rendah.  Tetapi mereka belajar karena mereka suka menemukan hal yang baru.  Mereka belajar karena ada kenikmatan dalam mencapai gol yang ditentukan sendiri.  Mereka belajar karena mereka dapat mengenal kemampuan diri sendiri yang semakin berkembang dan bertumbuh.  Dua kubu stimulasi belajar ini berbeda jauh sekali.  Yang satu distimulasi oleh rasa takut.  Yang lain distimulasi oleh kenikmatan dan kesukacitaan.  Hasilnya jauh sekali berbeda.  Yang distimulasi oleh rasa takut hanya akan menjadikan belajar sebagai alat untuk menghindari hukuman.  Ketika belajar hanya menjadi alat maka belajar akan berhenti ketika ancaman sudah tidak ada lagi.  Pada titik itu murid akan mengalami penurunan drastis dalam hidupnya karena dia berhenti belajar.  Sedangkan yang distimulasi oleh kenikmatan dan kesukacitaan justru akan menjadikan belajar sebagai bagian hidup.  Ketika hal ini terjadi murid tidak akan pernah berhenti belajar.  Ini yang dinamakan lifelong learning (belajar seumur hidup).  Peningkatan kualitas hidup justru sangat dimungkinkan ketika di dalam hati seseorang ada lifelong learning.  Dalam kesulitan apapun dan dalam kondisi apapun, murid ini akan selalu dapat mencari jalan keluar dan menemukan solusi atas kondisi dan konteks yang dialaminya.  Secara logis tidak dapat dipungkiri bahwa individualisasi belajar adalah lebih superior dari menseragamkan belajar.  Satu-satunya keuntungan keseragaman belajar adalah kemudahan pengorganisasiannya saja.

Tetapi apakah kita sebagai educator akan mengorbankan nilai kenikmatan, kesukacitaan belajar, dan lifelong learning hanya demi kemudahan pengorganisasian pendidikan formal?  Memilih kemudahan organisasi dengan mengorbankan ketiga hal tersebut justru mengkhianati fondasi fundamental dari pendidikan.  Masalah pengorganisasian dapat dicari solusinya yang lain.  Soal kenikmatan, kesukacitaan belajar, dan lifelong learning jauh lebih penting dari masalah organisasi pendidikan formal.  Ada satu artikel yang dimuat di kompasiana oleh Hany Ferdinando, dosen dari satu universitas terkemuka di Indonesia yang sekarang sedang studi lanjut untuk doctoral dia di Finlandia, dengan topik “Ada yang lebih berbahaya daripada ijazah palsu.”  Di dalam artikel itu Ferdinando menyampaikan suatu masalah riil di kampus:

Salah satu masalah pelik yang dihadapi program studi (prodi) di sebuah perguruan tinggi (PT) adalah presentase kelulusan dalam sebuah mata kuliah. Hal ini begitu penting, sehingga bagian ini mendapatkan perhatian dalam penilaian yang dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN). Tim penilai yang dikirimkan oleh BAN ke kampus-kampus selalu mencermati hal ini. Prodi yang memiliki mata kuliah dengan tingkat kelulusan yang rendah akan langsung mendapat sorotan. Dosen yang dengan tingkat kelulusan yang rendah langsung 'dihakimi' sebagai dosen yang tidak berkualitas karena tidak berhasil mengajar dengan baik karena tingkat kelulusannya rendah. Dosen dianggap tidak bisa memotivasi mahasiswa sehingga peserta didiknya tidak termotivasi dan mengakibatkan tingkat kelulusannya rendah. Prodi dinilai tidak menerapkan prinsip penjaminan mutu dalam sistem perkuliahan. Daftar ini bisa diteruskan sehingga membuat tulisan ini menjadi sangat panjang. Hal-hal di atas telah membuat prodi dan fakultas bekerja keras untuk menekan tingkat ketidaklulusan. Prodi melakukan berbagai macam pelatihan bagi dosen untuk bisa mengajar dan memotivasi mahasiswa sehingga mahasiswa menjadi giat belajar dan meningkatkan prosentase kelulusan. Dosen dilatih untuk melakukan evaluasi baik sehingga hasil belajar dapat diperoleh dengan tepat. Sistem presensi diperketat sehingga mahasiswa 'dipaksa' untuk masuk kuliah dan tidak ketinggalan materi supaya saat ujian dapat mengerjakan dengan baik. Namun tidak semua prodi dan fakultas melakukannya dengan bijaksana. Prinsip 'pokoknya prosentase kelulusan tinggi' telah menciptakan profil dosen yang baru, yaitu menjadi dosen yang bisa meluluskan sebanyak mungkin mahasiswa di kelasnya walaupun tidak mengajar dengan baik dan bertanggung jawab. Banyak dosen muda yang kehilangan idealismenya karena 'dipaksa' mengikuti prinsip di atas. Tudingan menghambat akreditasi dan memalukan nama prodi, bahkan kampus, telah banyak memakan korban.[1]

Professor saya waktu di kelas PhD mengingatkan kami semua murid-murid dia bahwa di dalam meneliti suatu institusi pendidikan formal, perlu diperhatikan sistem yang sedang berjalan.  Sistem yang dipakai seringkali adalah inti dari masalah. Dalam kasus yang dipaparkan oleh Ferdinando, sistem assessment untuk akreditasi universitas menimbulkan masalah yang berpotensi merusak proses belajar mengajar.  Sistem pengorganisasian yang dipakai di dalam akreditasi universitas ini membahayakan keutuhan belajar mengajar yang seharusnya terjadi.  Kalau yang dipilih hanyalah demi supaya nilai akreditasinya baik, maka akibatnya adalah seperti yang disampaikan Ferdinando, yaitu terjadi banyak ‘kuliah’ palsu (dosen mengajar dengan tidak bertanggungjawab tetapi semua muridnya lulus).  Di atas kertas kelihatan baik sekali sebab angka kelulusan tinggi, dimana akreditasi menjadi bagus pula.  Tetapi ketika sungguh-sungguh dinilai sesuai dengan maksud dan tujuan pendidikan yang baik, terjadilah pengabaian dan pengkhianatan akan pendidikan yang sejati.

            John Harris, dulu provost di Samford University, ketika datang mengajar kelas PhD saya mengenai assessment, memberi penekanan yang besar sekali akan peran assessment di dalam pendidikan formal.  Harris mengatakan bahwa pemilihan model assessment akan memberi pengaruh yang besar, dan bahkan dapat menentukan proses belajar mengajar.  Secara praktis demikianlah yang terjadi.  Sebagai contoh sederhana saja, Ujian Nasional.  UN adalah satu model assessment yang dipakai untuk menjadi alat penilaian performa akademik murid-murid yang sudah melewati satuan pendidikan tertentu sampai pada jenjang pendidikan formal tertentu.  Secara teori, hasil UN dianggap sebagai akumulasi hasil belajar murid.  Untuk dapat mencapai kategori lulus UN ada standar nilai yang harus dilewati.  Murid hanya perlu melewati standar nilai yang diberikan untuk mencapai kelulusan.  Secara praktek, hasil UN ini tidak berhasil mengukur kemampuan akumulasi hasil belajar murid.  Yang diukur hanyalah kemampuan murid memberikan jawaban benar pada soal multiplikasi UN.  Yang penting adalah jawaban benar, tidak penting jawaban didapat dari mana dan bagaimana.  Tidak penting apakah murid mengerti, memahami, atau bahkan tahu maksud dan tujuan dari soal yang diberikan.  Di dalam praktek UN, satu-satunya yang penting hanya memberikan jawaban yang benar.  Maka tidak heran ada banyak sekali terjadi kecurangan dalam UN.  Ini baru satu lapisan pendidikan yang terpengaruh oleh pemilihan assessment dalam bentuk UN ini.  Masih banyak lapisan lain yang terpengaruh.  Salah satu contoh lagi adalah bermunculanlah banyak bimbingan belajar (bimbel) di seluruh pojok daerah, demi melakukan “drill” soal bagi murid-murid yang mengikuti.  Sebagian besar murid tidak terlalu peduli apakah dia mengerti apa yang dipelajarinya.  Satu-satunya yang dikejar hanyalah bagaimana dapat memberikan jawaban benar sebanyak-banyaknya supaya bisa lulus UN.  Apakah dengan jalur seperti ini belajar menjadi nikmat dan sukacita?  Jawabnya: Tidak.  Justru murid merasa belajar menjadi beban berat.  Belajar menjadi ‘hukuman’ dalam dirinya sendiri.  Murid menjalani ‘hukuman’ ini demi menghindari ‘hukuman’ yang lebih besar.

            Di abad 21 ini, Indonesia perlu memikirkan model belajar dan assessment yang lebih baik, yaitu yang berpadanan dengan hakekat manusia dan dengan hakekat belajar.  Belajar tidak seharusnya menjadi beban apalagi ‘hukuman.”  Belajar seharusnya menjadi kenikmatan dan kesukacitaan.  Ketika belajar menjadi nikmat dan sukacita, anak akan mencintai belajar.  Dan ketika anak mencintai belajar, maka anak tidak akan pernah berhenti belajar.  Demikian pula, ketika assessment mengukur secara akurat apa yang harus diukur, maka terjadi keadilan.  Keadilan bukanlah soal setiap orang mendapatkan pengalaman yang sama.  Keadilan adalah soal setiap orang mendapatkan apa yang seharusnya sesuai dengan keunikan masing-masing.  Tidaklah adil jika ada anak yang memiliki kecenderungan intelegensia musik yang tinggi tetapi tidak terlalu tinggi di dalam logical-mathematical untuk dianggap bodoh lalu dianaktirikan di dalam perlakuan di pendidikan formal.  Sama juga dengan tidaklah cocok memaksakan anak dengan kecenderungan intelegensia bahasa yang tinggi tetapi rendah dalam intelegensia bodily-kinesthetic untuk harus bisa melakukan tembakan 3 angka dengan sempurna di dalam permainan basket.  Jika seorang anak dengan intelegensia musik tinggi tetapi logical-mathemical rendah hendak diajar supaya mencapai level lebih tinggi dalam belajarnya, maka lebih baik anak dilibatkan di dalam menentukan gol pendidikannya sendiri.  Bakat musiknya akan membuat dia menyukai musik dengan sangat besar sekali.  Sehingga dia mungkin akan meletakkan gol yang sangat tinggi untuk dirinya dapat capai.  Tetapi untuk wilayah matematika mungkin tidaklah setinggi anak yang memang memiliki bakat disana.  Dengan model seperti ini anak langsung diberikan ruang untuk bertumbuh sesuai dengan kapasitas dirinya.  Secara otomatis langsung dieliminasi perasaan takut dihina atau dianggap bodoh karena dibandingkan dengan orang lain.  Belajar tidak lagi menjadi alat untuk menghindari ‘hukuman’ yang lebih besar.

            Konsekuensi dari model ini adalah overhaul sistem pengorganisasian yang selama ini berjalan.  Guru tidak lagi boleh menjadi hanya sekedar operator yang menyampaikan konten dari materi mata pelajaran secara seragam.  Guru perlu belajar pemahaman komprehensif akan bakat dan talenta anak.  Secara otomatis, karena keterbatasan manusia, rasio guru murid harus diperkecil.  Jika 25 tahun lalu dengan model ‘seragam’ ala pabrik rasio guru murid adalah 1 banding 50, maka dengan model invidualisasi belajar, rasio guru murid harus diperkecil menjadi paling tidak 1:12.  Ini supaya guru dapat sungguh-sungguh memperhatikan setiap murid semaksimal mungkin.  Dengan invidualisasi belajar, sekolah perlu belajar mengakomodasi keunikan tiap murid.  Sehingga tentunya diperlukan guru-guru yang sungguh-sungguh ahli di bidang-bidang yang diajarkan.  Keahlian yang mendalam dibutuhkan untuk kemampuan guru secara kreatif menciptakan konteks belajar yang unik dari satu anak ke anak yang lain.  Maka di negara seperti Finlandia misalnya, ditemukan guru dengan gelar PhD mengajar di level SD-SMA.  Dengan sengaja orang-orang yang memiliki kemampuan sangat luar biasa ini dipilih untuk menjadi guru di sekolah.  Dian Sastrowardoyo pernah mengatakan tentang perempuan:

“Entah akan berkarir atau menjadi ibu rumah tangga, seorang wanita wajib berpendidikan tinggi karena ia akan menjadi ibu. Ibu-ibu cerdas akan menghasilkan anak-anak cerdas.”

Demikian pula guru-guru yang cerdas akan menghasilkan murid-murid yang cerdas pula.  Maka di Finlandia hadirlah di level SD-SMA guru-guru handal yang memiliki keahlian mendalam di dalam bidang-bidang yang diajarkan.  Masih banyak hal-hal lain yang secara otomatis akan mengalami perubahan ketika diadopsi model individualisasi belajar.  Satu lagi contoh sederhana adalah soal rapor.  Rapor pun akan berubah.  Karena assessment berubah maka penulisan dan pembuatan rapor pun tidak bisa sama.  Rapor tidak lagi dilandaskan atas asumsi KKM yang ditentukan secara nasional atau per daerah provinsi.  Tetapi rapor akan dilandaskan pada pencapaian gol belajar tiap individu sesuai dengan keunikan masing-masing.  Demikian juga perubahan pelaporan mata pelajaran yang ditulis di rapor sebab anak boleh memilih pelajaran apa yang diminatinya.  Perubahan ini akan menentukan kemajuan pendidikan di Indonesia, dan kemajuan seluruh negara. 

1 comment:


  1. Awalnya aku hanya mencoba main togel akibat adanya hutang yang sangat banyak dan akhirnya aku buka internet mencari aki yang bisa membantu orang akhirnya di situ lah ak bisa meliat nmor nya AKI NAWE terus aku berpikir aku harus hubungi AKI NAWE meskipun itu dilarang agama ,apa boleh buat nasip sudah jadi bubur,dan akhirnya aku menemukan seorang aki.ternyata alhamdulillah AKI NAWE bisa membantu saya juga dan aku dapat mengubah hidup yang jauh lebih baik berkat bantuan AKI NAWE dgn waktu yang singkat aku sudah membuktikan namanya keajaiban satu hari bisa merubah hidup ,kita yang penting kita tdk boleh putus hasa dan harus berusaha insya allah kita pasti meliat hasil nya sendiri. siapa tau anda berminat silakan hubungi AKI NAWE Di Nmr 085--->"218--->"379--->''259'

    ReplyDelete