Monday, January 30, 2017

Pendidikan Wawasan Bangsa: Terbelenggu di dalam Gua atau Keluar?



Habis Gelap Terbitlah Terang
Raden Ajeng Kartini
Plato’s “Allegory of the Cave”
Drawing by: Markus Maurer
Source: 

Veldkamp, Gabriele. Zukunftsorientierte Gestaltung informationstechnologischer Netzwerke im Hinblick auf die Handlungsfähigkeit des Menschen. Aachener Reihe Mensch und Technik, Band 15, Verlag der Augustinus Buchhandlung, Aachen 1996, Germany

Dikisahkan oleh Plato percakapan Socrates dan Glaucon (saudara Plato) di dalam bukunya “Republic” bahwa manusia digambarkan sedang dipenjara di dalam sebuah gua sejak lahir.  Seumur hidup orang-orang ini hanya menatap ke dinding kosong.  Di belakang mereka persis ada sebuat tembok tinggi yang membatasi mereka sehingga mereka tidak dapat melihat apa yang ada di belakang mereka.  Di balik tembok tersebut ada api.  Ada orang-orang yang membawa obyek-obyek di atas kepala mereka yang mana bayangan dari obyek-obyek tersebut terlihat di dinding kosong yang selalu ditatap oleh orang-orang yang terpenjara itu.  Sehingga bagi mereka yang terpenjara, realita hidup adalah bayangan yang mereka lihat seumur hidupnya.  Mereka memberi nama masing-masing obyek, yang sebenarnya hanyalah bayangan, yang mereka lihat di dinding kosong tersebut.  Suatu saat seorang terpenjara tersebut dibebaskan dan dibawa ke balik tembok dimana dia melihat api.  Tetapi nyala api tersebut sangat menyilaukan matanya yang seumur hidup hanya terbiasa melihat bayangan dan kegelapan saja.  Sehingga di dalam penderitaan karena kesilauannya, orang ini langsung lari kembali ke tempat dia semula dan menikmati kenyamanan hidupnya yang dia tahu sejak dia lahir. 


             Lalu ada waktu dimana salah seorang dari mereka yang terpenjara ini dibawa paksa keluar dari gua.  Diluar gua, dia sangat menderita sekali karena sinar matahari yang sangat menyakitkan matanya.  Tetapi dia tidak diperbolehkan kembali ke guanya.  Sampai akhirnya matanya mulai beradaptasi dengan sinar matahari.  Dan dia mulai melihat dunia yang belum pernah dia lihat sebelumnya.  Dia melihat obyek-obyek yang selama ini hanya dia ketahui dalam bentuk bayangan.  Realita dia akhirnya berubah total.  Hatinya menjadi bahagia sekali.  Lalu dia mulai memikirkan orang-orang lain yang masih terpenjara di dalam gua.  Dan dia bermaksud mengajak dan membawa orang-orang itu keluar dari gua untuk menyaksikan realita yang sejati.  Sayangnya, orang yang matanya telah terbuka ini belum tentu dapat mengajak mereka yang masih terpenjara di dalam gua.  Malahan mungkin sekali dia malah mempertaruhkan nyawanya karena orang-orang di dalam gua tidak mau keluar dari gua.

Analogi ini bagi Plato menggambarkan upaya pendidikan.  Orang di dalam gua itu adalah orang-orang yang masih gelap pikirannya.  Orang yang sudah keluar dari gua adalah digambarkan sebagai filsuf yang pikirannya sudah diterangi.  Maka filsuf memiliki dorongan untuk membawa orang-orang yang masih terpenjara di dalam pikiran yang belum diterangi menuju kepada realita yang asli.  Dan ini adalah pendidikan.  Jika melihat dari bahasa latin dari pendidikan yang adalah educare, maka kita akan menemukan “e” yang adalah keluar dan “ducare” yang berarti memimpin.  Maka educare berarti memimpin keluar.  Disinilah analogi gua dari Plato mencerahkan arti educare yaitu dengan memberi ujung pangkalnya.  Dari gelap menuju kepada terang.  Dari bayangan menuju kepada realita asli.  Ada buku yang berisikan intisari pemikiran Raden Ajeng Kartini yang berjudul “Dari Gelap Terbitlah Terang.”  Buku ini diterbitkan oleh J.H. Abendanon yang adalah menteri kebudayaan dan agama Belanda dengan judul Door Duistemis Tot Licht.  Sebetulnya buku ini adalah kumpulan surat-surat Kartini kepada rekan-rekannya di Eropa.  Kartini memiliki pemikiran yang menerobos zaman.  Di dalam penggambaran analogi gua Plato, Kartini adalah bagaikan filsuf yang sudah keluar dari gua yang gelap, dan yang berupaya menerangi pikiran banyak orang di Indonesia yang masih berada di dalam kegelapan.  Kartini berupaya mengedukasi rakyat Indonesia, membawa orang-orang Indonesia dari gelap menuju kepada terang.

Tugas pendidik bukanlah tugas yang mudah.  Dorongan naluriah di dalam hati untuk membawa orang-orang yang masih terpenjara untuk menuju kepada pembebasan bukanlah dorongan yang dapat diabaikan.  Hakekat guru ini berkaitan sangat erat sekali dengan hakekat kemanusiaan kita sebagai gambar ilahi.  Tidaklah semestinya gambar ilahi ini terpenjara di dalam kegelapan.  Gambar ilahi harus berada di dalam terang.  Itulah kodrat manusia.  Kegelapan mematikan manusia.  Tetapi manusia yang telah terjebak di dalam kegelapan tidaklah dengan segera dapat menerima terang.  Kemanusiaan yang sudah terpenjara di dalam gelap ini perlu mengalami proses yang serius untuk dipimpin keluar dari gelap menuju kepada terang.  Belenggu kegelapan membutakan manusia dari keberadaan terang dan realitas yang sejati.  Maka mereka-mereka yang masih terbelenggu ini perlu dibebaskan supaya mereka boleh menikmati hidup yang sesuai dengan kodrat mereka sebagai gambar ilahi yang dicipta di dalam terang.

Tetapi memang ada usaha-usaha tertentu yang hendak menggagalkan proses pembebasan tersebut.  Kritik tajam dari Paulo Friere di dalam Pedagogy of the Opressed menguakkan fenomena yang mencengangkan dimana pendidikan dapat dipakai sebagai alat untuk membelenggu orang di dalam kegelapan.  Protes dari Karl Marx mengenai kaum borjuis yang hendak mempertahankan status quo dengan menjaga supaya mereka yang miskin tetaplah miskin juga merupakan upaya membuka pikiran orang-orang yang terbelenggu.  Secara praktis ada upaya untuk menekan biaya tenaga kerja supaya beberapa orang dapat menuai hasil sebanyak-banyaknya.  Tetapi menekan biaya tenaga kerja tidak bisa dilakukan bila para tenaga kerja menjadi pandai dan pikirannya sudah dibebaskan dari belenggu.  Ini terjadi di negara-negara maju seperti di Amerika misalnya.  Yaitu untuk orang Amerika sendiri yang sudah terdidik memiliki pengetahuan dan ketrampilan serta wawasan yang terbuka, mereka tidak bisa lagi digaji rendah.  Sehingga akhirnya banyak industri dengan sadar memakai tenaga kerja illegal demi menekan biaya.  Cara lain adalah dengan memindahkan pabrik ke negara lain yang mana biaya tenaga kerjanya jauh lebih murah.  Dalam 30 tahun terakhir banyak pabrik dibuka di China, Thailand, Vietnam, Indonesia, oleh negara-negara maju karena tenaga kerja di negara-negara tersebut sangatlah rendah dibanding dengan tenaga kerja di negara mereka sendiri.

Secara praktis ada dilema disini.  Jika pendidikan akhirnya berhasil membebaskan orang-orang yang terbelenggu di dalam gua, maka ada resiko yang harus dihadapi, yaitu bahwa profit tidak dapat menjadi terlalu banyak.  Di dalam dunia bisnis, profit yang tidak banyak adalah kegagalan.  Setiap tahun harus ada kenaikan profit.  Keberhasilan suatu bisnis dilihat dari meningkatnya profit.  Semakin tinggi profit semakin hebatlah bisnisnya.  Lantas bagaimana bisnis bisa hebat jika profit tidak lagi bisa setinggi mungkin?  Kalau dulu skalanya adalah nasional, bagaimana dengan internasional?  Jika warga negara sendiri haruslah pandai, bagaimana dengan warga negara lain?  Karena jika negara sendiri hendak memiliki profit yang tinggi, sementara warga negara sendiri sudah tidak bisa dibayar murah, maka bukankah pilihan berikut adalah membayar murah tenaga kerja warga negara lain?  Bagaimana jika seluruh dunia sudah dipenuhi oleh orang-orang yang tidak lagi bisa dibayar murah?  Otomatis profit margin akan menjadi kecil dan semakin mengecil.  Sebagian orang tidak mau hal ini terjadi.

Ada satu kisah tentang satu kota kecil yang sebagian besar penduduknya bekerja di satu pabrik.  Tetapi gaji para pekerja ini sangat kecil sekali sehingga mereka sangatlah miskin.  Suatu saat ada pendatang yang pindah ke kota kecil tersebut.  Pendatang ini yang adalah seorang pengacara memiliki pengetahuan akan standar gaji di negara tersebut.  Dan standar gaji yang ditetapkan adalah 10 kali lipat dari yang saat ini dibayarkan kepada pekerja pabrik tersebut.  Selama beberapa waktu pengacara ini tinggal di kota tersebut, dia mulai mendengarkan keluhan para pekerja pabrik tersebut.  Lalu satu persatu, perlahan demi perlahan, pengacara ini mulai mengajarkan kepada para pekerja pabrik mengenai standar gaji yang ada di undang-undang.  Akhirnya para pekerja pabrik yang pikirannya sudah dibukakan ini mengadakan rapat bersama.  Dan mereka sepakat untuk meminta manajer pabrik menaikkan gaji mereka sesuai dengan standar pemerintah.  Manajer pabrik pada awalnya menolak.  Akhirnya pekerja pabrik melakukan demo dengan mogok kerja.  Sehingga manajer pabrik harus rapat dengan direksi untuk mengambil keputusan atas permintaan pekerja.  Di dalam diskusi yang alot, akhirnya direktur utama mengatakan demikian: “Jika pekerja tidak mau digaji sama seperti yang lalu, maka kita tidak ada pilihan selain menutup pabrik ini dan memindahkannya ke tempat lain!”  Lalu perkataan direktur utama ini dijadikan keputusan direksi dan disampaikan kepada manajer pabrik.  Manajer pabrik mengumumkannya kepada para pekerja.  Terjadilah dilema yang besar sekali.  Maka sebagian pekerja mulai luntur semangatnya.  Sebab seluruh hidupnya bergantung dari gaji yang diterima dari pabrik tersebut.  Bagi sebagian orang ini adalah lebih baik menerima sedikit daripada tidak sama sekali.  Maka terjadi perdebatan yang serius di dalam serikat pekerja tersebut.  Yang lain tidak bisa menerima, dan bersikeras menuntut pabrik yang sudah menggaji mereka di bawah standar bertahun-tahun.  Sebagian tidak mau sebab menuntut ke pengadilan juga tidak murah dan membutuhkan waktu yang tidak pendek, sementara mereka butuh makan.

Inilah yang dikisahkan oleh Plato dimana pada akhirnya orang yang keluar dari gua tersebut ketika kembali ke dalam gua hendak membebaskan orang-orang yang lain justru mengalami penganiayaan dan kemungkinan dibunuh karena mereka yang masih terbelenggu di dalam gua tidak mau hidup di dalam terang.  Bagaimanakah nasib pengacara yang adalah pendatang ke kota kecil tersebut?  Saya tidak tahu.  Tetapi konon dikisahkan bahwa pengacara tersebut akhirnya diusir dari kota itu dan pabrik masih tetap berjalan disana dengan tidak ada perubahan kenaikan gaji sama sekali.  Orang-orang di kota kecil itu masih tetap tinggal terbelenggu di dalam gua dan tidak ada niat untuk dibebaskan dari belenggu tersebut.

Pertanyaan yang sangat serius adalah: “Dapatkah seorang pendidik yang sejati membiarkan muridnya tetap terbelenggu di dalam kebodohan dan ketidaktahuan, sementara dia memiliki kesempatan membebaskan muridnya dari kebodohan dan ketidaktahuan?”  Ada resiko pendidik ditolak, dihina, dan bahkan dianiaya.  Tetapi pendidik sejati akan terus berupaya membebaskan orang-orang dari belenggu ketidaktahuan dan kebodohan.  Sokrates membayar dengan nyawanya.  Konghucu harus mengembara lebih dari 10 tahun ditolak dan dihina dengan pengajarannya yang dianggap tidak mungkin berhasil.  Yesus Kristus dibunuh karena memberitakan kebenaran.  Tetapi guru-guru agung ini menggerakkan orang sepanjang zaman di dalam kebenaran dan kebijaksanaan sehingga walaupun sudah sekitar 20 abad lebih berlalu orang-orang masih merasakan pengaruh dan akibat positif dari pengorbanan mereka.

Jika kita sebagai bangsa hendak membawa rakyat untuk maju dan keluar dari gua, bebas dari belenggu, menuju kepada kecerdasan kelas dunia, maka usaha yang sangat serius perlu dipikirkan, direncanakan, dan dieksekusi dengan cermat melalui pendidikan nasional.  Perlu diambil suatu keputusan dan kebijakan yang didukung sepenuhnya baik secara material dan spiritual yaitu pendidikan nasional yang terbaik.  Yaitu pendidikan nasional yang sungguh-sungguh mencerdaskan seluruh rakyat.  Yaitu pendidikan nasional yang inovatif dan kreatif.  Yaitu pendidikan nasional yang menyediakan iklim belajar yang aman dan nyaman.  Yaitu pendidikan nasional yang berani menggunakan ilmu-ilmu pedagogi paling mutakhir.  Yaitu pendidikan nasional yang diisi oleh guru-guru yang handal dan sangat cerdas – putra-putri bangsa terbaik dari seluruh nusantara.  Yaitu pendidikan nasional yang memiliki desain program yang sangat terintegrasi dalam semua level.  Yaitu pendidikan nasional yang menghargai dan menjaga kebhinekaan serta menopang keutuhan negara.  Yaitu pendidikan nasional yang ditujukan untuk persatuan seluruh Indonesia.  Yaitu pendidikan nasional yang mengarah kepada kesejahteraan sosial.  Yaitu pendidikan nasional yang didasarkan kepada kemanusiaan yang sejati.  Yaitu pendidikan nasional yang memuliakan Tuhan yang maha esa.  Tidak lagi kita boleh membiarkan pendidikan nasional berjalan ala kadarnya.  Tidak lagi kita boleh membiarkan pendidikan nasional berada pada kualitas yang buruk.  Pada semua level, baik pendidikan informal, non-formal, maupun formal, haruslah berada pada level kualitas terbaik, bukan hanya secara lingkup regional, tetapi bahkan pada lingkup internasional.

Indonesia bukan tidak mampu.  Kita punya banyak putra-putri bangsa yang tingkat kecerdasannya mendunia.  Kita punya banyak putra-putri bangsa yang potensinya tidak kalah dengan anak-anak dari negara maju.  Saya sendiri adalah bukti bahwa putra-putri bangsa dapat bersaing dengan baik dengan anak-anak negara maju.  Selama saya studi di Amerika saya selalu mendapatkan hasil akhir pada level di atas cum-laude.  Dan orang seperti saya tidak sedikit.  Banyak anak-anak dari Indonesia yang ketika lulus berada pada level cum-laude, magna cum-laude, atau bahkan summa cum-laude.  Tetapi orang-orang ini perlu dihargai sepantasnya.  Jika orang-orang ini tidak dihargai maka mereka tidak akan kembali ke gua untuk mau membebaskan orang-orang yang terbelenggu disana.  Jika mereka tahu bahwa mereka hanya akan ditolak, dihina, dan tidak dihargai, maka mereka tidak akan ikut serta dalam usaha pendidikan nasional.  Dan jika putra-putri bangsa terbaik ini tidak ikut terjun dalam usaha pendidikan nasional, maka sangatlah sulit pendidikan nasional memiliki kualitas terbaik pula.  Dan jika pendidikan nasional tidak memiliki kualitas terbaik, maka rakyat Indonesia akan tetap tinggal di dalam gua dan terbelenggu di dalam kegelapan.  Jika R.A. Kartini bangkit dan melihat keadaan bangsanya yang sangat dicintainya ini, maka beliau akan menangis dengan sedihnya, sebab harapan beliau “Habis Gelap Terbitlah Terang” masih belum terwujud walaupun sudah lebih seratus tahun berlalu sejak beliau wafat pada 17 September 1904.

1 comment: