Tuesday, January 24, 2017

Kritik Terhadap Pendidikan Moral Nasional: Dasar Etika Hidup



12 Πάντα οὖν ὅσα ἐὰν θέλητε ἵνα ποιῶσιν ὑμῖν οἱ ἄνθρωποι, οὕτως καὶ ὑμεῖς ποιεῖτε αὐτοῖς.
"Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka.”
Yesus Kristus, Alkitab, Matius 7:12


            Dunia filsafat dan etika mengenal kalimat dari Yesus Kristus ini sebagai “the Golden Rule” (Hukum Emas).  Standar etika di dunia ada di dalam kalimat ini.  Tidak ada prinsip etika yang lebih tinggi dari prinsip ini.  Suatu kalimat yang sangat agung di dalam sepanjang sejarah manusia yang menjadi dasar etika moral manusia.  Perkataan Yesus Kristus ini mencakup prinsip etika dari Immanuel Kant yaitu “Do No Harm” (Tidak Menyakiti) dan Konghucu jǐ suǒ , shī rén (“Apa yang kau tidak ingin orang lain lakukan kepadamu, jangan lakukan kepada orang lain”).

            Prinsip “Do No Harm” dari Kant ini bersifat pasif, dimana di dalam prinsip ini pusatnya ada pada kondisi dimana seseorang tidak bertindak sesuatu yang jahat.  Prinsip ini berhenti hanya kepada kondisi vacuum yang mem-void-kan tindakan jahat.  Sehingga pada prinsipnya Kant mengharuskan semua perbuatan yang etis adalah perbuatan yang tidak menyakiti.  Ini ada langkah paling awal sekali dari prilaku yang etis.  Apapun yang dipikirkan, direncanakan, dilakukan, haruslah berada dalam batasan tidak menyakiti ini.  Secara logis dapatlah ditarik kesimpulan bahwa apapun yang menyakiti adalah tidak etis.  Sesuai dengan prinsip ini, maka tidak ada keharusan untuk seseorang itu melakukan sesuatu yang baik secara aktif untuk masuk kategori etis.  Tetapi hanya cukup jika setiap individu tidak melakukan kejahatan.  Ada kemiripan dengan prinsip dari Konghucu.


            Prinsip jǐ suǒ , shī rén atau (“Apa yang kau tidak ingin orang lain lakukan kepadamu, jangan lakukan kepada orang lain” ini juga bersifat pasif.  Bedanya dengan Kant, Konghucu memberi konteks yang lebih jelas.  Masalah etika berkaitan langsung dengan masalah kesejahteraan orang lain.  Dan orang lain disini ditekankan oleh Konghucu dan diberikan penekanan yang sifatnya lebih personal.  2400 tahun sebelum Kant, Konghucu sudah memberikan kalimat yang luar biasa tinggi moralitas dan etikanya untuk menjaga dignitas dan kodrat manusia sebagai makhluk yang diciptakan Allah di dalam akhlak yang mulia.  Sehingga Konghucu memberi referensi yang lebih praktis patokannya atas prilaku yang etis.  Prinsip etika Kant tidak memberikan patokan yang praktis atas apa yang diharuskan dengan tidak menyakiti.  Disamping itu Kant hanya meletakkan dasar etika kepada satu makna saja yaitu tidak menyakiti.  Sedangkan Konghucu menariknya kepada keinginan dasar manusia atau motif di dalam hati manusia yang menentukan tingkah laku asli manusia.  Sehingga prinsip Konghucu jauh melampaui prinsip Kant yang berhenti kepada tindakan saja.  Motif menjadi penting di dalam etika Konghucu.  Dan keinginan hati manusia pulalah yang menjadi pengontrol tindakan moral seseorang.  Sangatlah manusiawi prinsip etika dari Konghucu ini dan sangatlah praktis untuk dikerjakan sehari-hari sehingga prinsip ini dianggap oleh para filsuf sebagai “Silver Rule” (Hukum Perak) untuk etika universal di seluruh dunia.  Bagaimanakah mengunci tindakan moral seseorang?  Yaitu dengan membatasinya sesuai dengan apa yang diri tidak ingin orang lain lakukan kepadanya.  Misal, jika diri tidak ingin dilukai, maka diri pun tidak boleh melukai orang lain.  Misal lagi, jika diri tidak ingin difitnah, maka diri pun tidak boleh memfitnah orang lain.  Jika diri tidak ingin dikorupsi, maka diri pun tidak boleh mengorupsi.  Dan seterusnya.  Maka prinsip etika ini menjadi fondasi yang sangat penting bagi hidup moral dan etika manusia.

            Prinsip etika Konghucu ini ada kemiripan dengan prinsip etika Yesus Kristus.  Bedanya hanya pada sifat dari prinsipnya, yang mana pada prinsip Konghucu prinsip etikanya bersifat pasif, sedangkan prinsip Yesus Kristus adalah bersifat aktif.  Prinsip Konghucu yang bersifat pasif hanya berhasil mengeliminasi tindakan dan motif yang jahat, tetapi belum memberikan dorongan untuk tindakan dan motif yang baik.  Prinsip dari Yesus Kristus disamping mengeliminasi motif dan tindakan yang jahat, juga mendorong diri untuk melakukan yang baik.

12 Πάντα οὖν ὅσα ἐὰν θέλητε ἵνα ποιῶσιν ὑμῖν οἱ ἄνθρωποι, οὕτως καὶ ὑμεῖς ποιεῖτε αὐτοῖς.
"Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka.”

Mirip dengan Konghucu, Yesus Kristus juga memberikan patokan yang praktis serta dapat dengan realistis dilakukan di dalam menjalankan prinsip etika ini.  Standar pengukuran motif dan prilaku etika adalah bagaimana diri ingin diperlakukan.  Manusia secara normal adalah ingin diperlakukan dengan baik.  Manusia ingin dicintai.  Manusia ingin diperlakukan dengan adil.  Manusia ingin mengalami sejahtera.  Maka itu semualah yang seharusnya manusia lakukan kepada sesamanya.  Prinsip Yesus Kristus tidak hanya berhenti pada kondisi tidak melakukan yang jahat, tetapi melangkah lebih jauh untuk secara aktif mengisi hidup dengan hal yang baik.  Jika prinsip Kant dan Konghucu sudah menyatakan bahwa sesuatu dikatakan etis kalau tidak melakukan apa-apa yang jahat, prinsip Yesus Kristus menyatakan bahwa tidak melakukan apa-apa yang jahat saja tidak cukup.  Sehingga misal ada orang yang sedang di-bully oleh sekelompok orang dan kita menyaksikan kejadian tersebut, jika mengikuti prinsip Kant dan Konghucu, asalkan kita tidak ikut serta dalam pem-bully-an tersebut, kita tidaklah dapat dikatakan tidak etis.  Tetapi bagi Yesus Kristus, tidak melakukan apa-apa pada kondisi itu belum cukup dikatakan sebagai tindakan etika.  Justru sebagai orang yang ingin diperlakukan adil, adalah etis jika kita menolong orang yang sedang di-bully tersebut.  Itulah tindakan aktif etika, dimana secara praktis menerapkan prinsip bukan hanya kita tidak suka di-bully sehingga tidak mem-bully orang lain, tetapi lebih dari itu yaitu jika kita di-bully kita ingin ada orang yang membela kita, maka kitapun membela orang yang di-bully secara aktif.  Prinsip etika ini dibentuk mulai dari empati.  Ketika seseorang belajar etika ini, seseorang belajar suatu karakter pada level yang sangat tinggi, yaitu empati.  Empati inilah yang menggerakkan seseorang melakukan hal-hal yang baik walaupun tidak menguntungkan dirinya.  Dan inilah etika dari Hukum Emas Yesus Kristus.

            Ketika pendidikan hendak mencapai kualitas karakter yang baik, etika haruslah diajarkan dengan semestinya.  Pendidikan etika tidak dapat diabaikan didalam pembentukan karakter seseorang.  Tentunya bukan sembarang pendidikan etika yang boleh diajarkan, tetapi pendidikan etika tertinggilah yang harus menjadi standar.  Utilitarianisme misalnya bukanlah prinsip etika yang terbaik, sebab di dalam utilitarianisme yang terutama adalah tercapainya tujuan yang dicanangkan tanpa mempedulikan cara yang ditempuh.  Sehingga di dalam utilitarianisme hasil akhir membenarkan caranya (the ends justify the means), yang mana akhirnya terjadilah prinsip menghalalkan segala cara.  Entah cara itu baik atau jahat tidaklah menjadi persoalan, asalkan yang dicapai baik.  Jika prinsip etika ini diadopsi maka dunia kita akan menjadi rusak.  Karakter tidak lagi dibentuk sesuai dengan hakekat dasar manusia, tetapi justru mengijinkan manusia untuk membuat alasan demi membenarkan tindakannya yang jahat.  Misal ada seorang yang miskin bernama Tom dan membutuhkan uang untuk pengobatan anak tunggalnya Dina.  Maka Tom membutuhkan uang untuk mencukupi kebutuhan pengobatan Dina.  Jika Tom tidak memiliki uang yang cukup, Dina akan sangat mungkin mengalami kematian.  Maka Tom memutuskan untuk merampok.  Jika dilihat dari prinsip Utilitarianisme Tom tidak bersalah secara etika, sebab dia memiliki tujuan yang baik.  Tujuan dari Tom demi supaya Dina boleh disembuhkan dan diselamatkan akan membenarkan cara dia mendapatkan uang, yaitu dengan merampok.  Kalau ini yang menjadi prinsip etika yang diajarkan maka akan terjadilah perusakan moral dan karakter manusia sampai pada level yang sangat parah.  Jika pendidikan nasional hendak mencapai kualitas karakter bangsa yang baik dan membanggakan, tentunya para ahli pendidikan harus mencermati pemilihan prinsip etika yang seharusnya diajarkan.

            Struktur etika yang benar-benar baik dijabarkan oleh Aristoteles yaitu dengan menetapkan tujuan yang baik, motif yang baik, dan cara yang baik.  Hanya ketika tiga hal ini memiliki nilai yang baik, baru kita dapat mengatakan bahwa etika nya adalah benar-benar baik.  Satu saja dari ketiga hal ini dinilai tidak baik, maka nilai etikanya secara keseluruhan langsung menjadi tidak baik.  Etika tidak bisa dikatakan benar-benar baik jika motif dan tujuan baik tetapi cara tidak baik.  Etika tidak bisa dikatakan benar-benar baik jika cara dan tujuan baik tetapi motif tidak baik.  Etika juga tidak dapat dikatakan baik jika motif dan cara baik tetapi tujuan tidak baik.  Apalagi jika motif dan cara tidak baik walaupun tujuan baik.  Tentunya jelas sekali pasti etikanya tidak baik jika ditemukan ketiga-tiganya, motif, cara, dan tujuan tidak baik.  Tetapi dari kemungkinan-kemungkinan yang ada, yang paling sulit dideteksi adalah motif.  Sebab motif adalah yang paling tersembunyi.  Motif hanya diketahui secara jelas oleh diri pelaku dan Allah.  Selebihnya adalah dugaan, prediksi, dan deduksi oleh orang lain.  Motif membutuhkan kejujuran.  Bukan hanya kejujuran kepada orang lain, tetapi yang lebih penting lagi adalah kejujuran kepada diri sendiri.

            Dengan pengertian struktur etika sedemikian, kita menyadari bahwa diperlukan pendidik yang sungguh-sungguh memiliki kualitas etika yang tertinggi, jika menginginkan murid-murid memiliki etika yang baik.  Perlu saya ingatkan kembali bahwa setiap orang adalah pendidik bagi orang lain baik secara langsung maupun secara tidak langsung, baik secara intensional ataupun tidak, dimanapun kita berada.  Diperlukan suatu kekuatan karakter dan etika seluruh bangsa yang benar-benar baik jika kita sungguh-sungguh menghendaki terjadinya pendidikan etika moral dan karakter yang baik.  Pendidikan etika tidak dapat dikatakan berhasil jika hanya baik di atas kertas atau hanya berlangsung secara interaksi kognitif.  Tetapi pendidikan etika yang lebih baik harus mencakup keteladanan para pendidik serta para pemimpin.  Tentunya pendidikan etika tidak bisa dikatakan berhasil sama sekali jika prinsip etika tidak diterapkan secara konsisten oleh semua orang yang terlibat di dalam pendidikan, baik formal, non-formal, maupun informal.

            Mendidik manusia untuk memiliki etika moral yang baik dimana struktur etikanya semua baik, bukanlah hal yang mudah.  Ada fase-fase dimana di dalam perkembangan moral seseorang, terdapat elemen-elemen yang dominan menuruti pola yang sudah ditanam secara alamiah dalam diri manusia.  Lawrence Kohlberg dari Harvard University mengetengahkan suatu teori yang mendunia yang disebut “Moral Development Theory,” dimana di dalam teori tersebut ditemukan tiga level dan enam stages dari perkembangan moral.  Setiap level memiliki dua stages.  Kita tidak akan membahas teori Kohlberg disini, tetapi hanya hendak menunjukkan bahwa tiap level memiliki orientasi yang berbeda di dalam perkembangan moral seseorang.  Misal pada level pertama secara umum manusia sangat berorientasi kepada Rewards & Punishment (R&P) atau Hadiah & Hukuman.  Yaitu, seseorang tidak melanggar batas moral karena takut dihukum, ini stage pertama.  Ketakutan akan hukuman menjadi batasan atas tindakan seseorang.  Sehingga dapat dikontrol lebih baik hasil prilaku seseorang yang dikehendaki, misal dalam hal ini adalah prilaku moral yang baik.  Sebagai contoh, anak-anak diharapkan untuk belajar tidak membuang sampah sembarangan.  Maka dibuatlah batasan dimana ketika anak terbukti membuang sampah sembarangan ada hukuman menanti.  Setelah mengalami hukuman, diharapkan anak tidak akan mengulangi perbuatannya membuang sampah sembarangan.  Pada saat yang bersamaan, anak-anak lain yang mendengar eksekusi hukuman atas tindakan buang sampah sembarangan tersebut akan memformulasikan imajinasi di dalam pikirannya dan terbentuklah rasa takut akan hukuman yang menanti sehingga memutuskan untuk tidak membuang sampah sembarangan.  Dengan demikian ketika anak-anak memutuskan untuk tidak membuang sampah sembarangan terbentuklah jalur untuk pembentukan moral di dalam diri anak-anak dalam hal kebersihan.  Seiring dengan waktu diharapkan prilaku ini bukan lagi menjadi prilaku yang terisolasi hanya di satu tempat dimana ada R&P, tetapi menjadi kebiasaan yang memimpin kepada pembentukan karakter.  Jika hanya berhenti pada level ini maka sebetulnya moral yang benar-benar baik belumlah terbentuk.  Karena orang hanya berprilaku etis ketika dibatasi oleh R&P, sehingga ketika berada di luar R&P yang ada, dia akan mungkin memilih tindakan yang tidak etis.  Contoh yang umum adalah yaitu orang memilih tidak melanggar ketika ada yang mengawasi, ada polisi misalnya, tetapi ketika tidak ada polisi maka orang memilih untuk melanggar.

            Tapi itu hanya level pertama.  Seseorang belum dapat dikatakan memiliki moral yang benar-benar baik jika motifnya hanyalah untuk menghindari hukuman atau untuk mendapatkan hadiah.  Level berikutnya mencapai konteks kebaikan umum.  Yaitu pengambilan keputusan moral didasarkan atas kepentingan umum.  Jika level pertama masih bersifat egoistis, maka level kedua ini adalah mementingkan kepentingan orang lain.  Ketika seorang anak bertumbuh, biasanya pada awal usia 7 tahun, terjadilah perubahan cara berpikir, dari yang sangat berpusat pada diri sendiri saja ke mulai memikirkan orang lain.  Maka disana anak mulai bernegosiasi dengan orang di sekelilingnya.  Negosiasi ini termasuk transaksi prinsip dan mengimitasi keteladanan.  Keputusan moral tidak lagi cukup hanya berhenti kepada perhitungan apakah menguntungkan diri atau tidak.  Pada level kedua ini keputusan moral sudah mencapai kemauan untuk menggapai keuntungan bersama.  Sehingga ketika ada hal-hal yang tidak nyaman saat keputusan moral diambil, anak dapat mentoleransinya demi kebaikan bersama.  Tetapi level ini memiliki tantangan yang cukup berat yaitu ketika kebaikan kelompok dimana dia berada bersebrangan dengan kebaikan kelompok lain.  Tentunya ada pengaruh pemimpin yang sangat besar dalam level ini.  Salah satu kesulitannya ada pada kebutuhan psikologis seseorang untuk diterima di dalam kelompok.  Maka keputusan moralnya biasanya sangatlah ditentukan oleh diterima atau tidaknya dirinya di dalam kelompok.  Identitas diri akan sangat dipengaruhi oleh identitas kelompok.  Maka keputusan moralnya adalah keputusan kelompok.  Akan menjadi masalah yang besar sekali ketika keputusan moral kelompok bukanlah keputusan yang benar-benar baik.

            Level yang tertinggi adalah ketika seseorang boleh mencapai moral yang universal.  Dimana prinsip moralnya tidak lagi ditentukan oleh apakah diri untung atau tidak, dan tidak lagi dipengaruhi oleh kelompok atau pemimpin yang karismatik, tetapi yang menyadari bahwa pengambilan keputusan moral dilakukan karena keputusan itu pada dirinya sendiri adalah baik.  Jadi misalnya, seseorang memutuskan untuk tidak membuang sampah sembarangan.  Dia melakukan itu bukan karena takut dihukum.  Bukan pula karena mengharapkan hadiah.  Bukan karena kelompoknya memutuskan untuk tidak membuang sampah sembarangan.  Dan juga bukan karena pemimpin yang dikaguminya memilih untuk tidak membuang sampah sembarangan.  Pada level ketiga ini dia tahu bahwa membuang sampah sembarangan adalah tindakan yang buruk dan tidak etis.  Sehingga dia memilih untuk tidak membuang sampah sembarangan.  Orang pada level ini dikatakan bahwa walaupun ada ancaman untuk disakitipun dia tetap tidak akan melanggar prinsip moral universal.  Kohlberg memasukkan orang-orang seperti Yesus Kristus, Gandhi, atau Martin Luther King, Jr. di dalam kategori level ini.  Secara umum tidak banyak orang dapat mencapai level ini.  Mayoritas orang hanya berhasil mencapai level kedua.  Dan tidak jarang ada orang-orang yang selamanya berhenti pada level pertama.

            Jika kita mengobservasi prilaku moral orang-orang di Indonesia menggunakan teori dari Kohlberg, kita akan tahu pada level manakah kebanyakan orang-orang di Indonesia berada.  Dengan mengetahui keberadaan level moral orang-orang di Indonesia, kita boleh tahu berapa banyak peer yang kita harus kerjakan untuk pendidikan moral bangsa.  Jika prilaku moral bangsa masih mayoritas berhenti di level pertama, berarti tugas pendidikan moral cukup berat.  Ini adalah tanggungjawab semua pihak, khususnya mereka yang memiliki pengaruh bagi anak-anak bangsa yang baru mulai bertumbuh dan dibentuk moralitasnya.  Menurut hemat saya, pendidikan moral adalah pendidikan yang sangat urgent untuk dikerjakan.  Tugas pendidikan nasional untuk pembangunan karakter bangsa tidak akan dapat dikerjakan tanpa menggarap pendidikan moral bangsa.  Hukum Emas yang diucapkan oleh Yesus Kristus seharusnya menjadi dasar fondasi utama di dalam pendidikan moral bangsa Indonesia.  Sehingga setiap warga negara boleh secara aktif melakukan apa yang baik, bukan karena menghindari hukuman, atau demi mendapatkan hadiah, atau hanya untuk kepentingan kelompok, atau karena pemimpin besar berkata, tetapi di dalam hakekat dasar alamiah manusia yang adalah gambar ilahi inilah kita memilih melakukan yang baik.  Maka keputusan moral setiap warga negara Indonesia, nantinya bahkan akan melampaui kepentingan negara dan justru merambah kepentingan manusia pada umumnya di seluruh dunia di sepanjang segala abad.  Marilah kita ingat kembali perkataan Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara:

"Memayu hayuning sariro, memayu hayuning bangsa, memayu hayuning bawana.  [Apapun yang diperbuat oleh seseorang itu] hendaknya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri, bermanfaat bagi bangsanya, dan bermanfaat bagi manusia pada umumnya.”

1 comment: