“Anak-anak
hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri.
Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu.”
Ki Hajar Dewantara
Ki
Hajar Dewantara dipengaruhi oleh Maria Montessori dalam filosofi
pendidikannya. Sehingga beliau sangat
memperhatikan kesejahteraan anak-anak baik secara fisik maupun secara
spiritual. Dan di dalam konteks
pendidikan yang holistik filosofi ini sangatlah krusial dan memegang kunci
kepada pendidikan manusia yang seharusnya.
Sebagai gambaran ilahi, manusia memiliki kodrat dan derajat yang jauh
melampaui binatang. Seperti yang
dijelaskan oleh Montessori di dalam konsep pendidikan dia yaitu bahwa manusia
tidak boleh hanya bertumbuh pada arah untuk pemenuhan kebutuhan fisik semata. Ini karena kodrat manusia adalah sebagai
ciptaan Allah yang tertinggi derajatnya di bumi.
Kodrat
manusia ini ditentukan oleh Sang Pencipta.
Hanya Allah yang tahu manusia itu akan menjadi apa. Allahlah yang mendesain anak-anak itu
nantinya bertumbuh seharusnya bagaimana.
Diletakkan benih keagungan di dalam diri setiap anak yang boleh
mengerjakan rancangan dan kehendak dari Sang Penguasa semesta alam. Ki Hajar Dewantara menyadari hal ini dan
menyuarakannya dengan tepat di kalimat di atas.
Implikasinya adalah bahwa pendidik yang baik adalah pendidik yang
menyadari kodrat yang ditentukan Allah ini.
Sehingga tugas dan tanggungjawab pendidik adalah “merawat dan menuntun
tumbuhnya kodrat itu.” Dignitas manusia
yang tinggi ini perlu menjadi acuan para pendidik untuk menjalankan pendidikan
yang baik. Ini adalah kodrat umum
manusia.
Di
dalam memahami kodrat setiap anak, disadari pula bahwa ada sekian macam profesi
yang takterhingga jumlahnya sebab setiap manusia memiliki keunikannya
sendiri-sendiri. Kodrat unik setiap anak
perlu dipahami dan ditemukan supaya para penyedia
pendidikan boleh memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak. Karena namanya kodrat, maka seharusnya tidak
ada jenis profesi yang boleh dipaksakan kepada anak. Sesuai dengan pengertian Ki Hajar Dewantara,
kodrat itu akan tumbuh secara alamiah di dalam diri anak, sebab itu sudah
menjadi ketentuan Allah. Yang boleh
dilakukan adalah menemukannya dan memeliharanya serta menolong anak
merealisasikan kodrat surgawi itu. Ini
adalah kodrat khusus manusia.
Di
dalam pemenuhan kodrat umum dan khusus ini, wilayah pendidikan perlu hati-hati
di dalam melangkah. Setiap langkah
keputusan pendidikan harus memiliki fondasi pengertian kodrat umum dan khusus
ini. Baik pendidikan formal, non-formal,
maupun informal, semua lini pendidikan di Indonesia harus memperhatikan
pengertian yang disampaikan oleh Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar
Dewantara. Dalam pembahasan kali ini
saya akan membicarakan implikasi filosofi pendidikan ini di dalam pendidikan
formal, dan secara khusus menyoroti kurikulum nasional.
Secara
teknis di dalam konteks pendidikan formal ini berarti bahwa penentuan standar
yang diberlakukan untuk semua anak berdasarkan grade level, yang mana grade
level secara umum diatur berdasarkan range usia anak, adalah menuntut semua
anak mencapai tingkatan minimum yang sama untuk pengetahuan, emosi, prilaku,
serta keimanan sesuai dengan tingkatan jenjang sekolahnya. Maka pertanyaannya adalah apakah penentuan
standar seperti ini sesuai dengan filosofi kodrat manusia? Apalagi jika penentuan standar itu diatur di
dalam suatu sistem pendidikan formal yang hanya memihak kepada
logical-mathematical dan linguistic intelligences saja. Belum lagi ketika pendidikan formal
dijalankan selayaknya sebuah pabrik, yang mana hasilnya harus seragam sesuai
dengan standar yang ditentukan. Lantas
dimanakah letak kodrat manusia dalam pendidikan formal, khususnya bagian kodrat
khusus yang unik di dalam diri setiap anak?
BF
Skinner, tokoh behaviorism, menulis satu buku yang judulnya “Beyond Freedom and
Dignity.” Di dalam buku itu Skinner
menyampaikan teori prilaku dia yang mana ketika diaplikasikan di dalam
pendidikan akan menunjukkan kesuksesan luar biasa. Kesuksesan ini diatur sedemikian rupa dalam
konsep behaviorism sehingga setiap prilaku yang dikehendaki dapat diprogram dan
diatur sesuai dengan psikologi manusia supaya di dalam konteks tertentu setiap
manusia pasti akan melakukan prilaku yang dimaksud. Skinner dengan yakin mengatakan bahwa konsep
ini akan melampaui soal freedom dan dignity (kebebasan dan dignitas). Bagi Skinner, tidak perlu lagi bicara
kebebasan dan derajat. Sebab bagi dia dua hal itu tidak penting dan tidak perlu
ada. Yang lebih penting adalah prilaku
yang dapat ditentukan dan diprogram sesuai dengan yang dikehendaki. Misal, jika dikehendaki prilaku taat, maka
secara behavioristic dapatlah diatur sistem pendidikan untuk membuat murid
mengadopsi prilaku taat, tanpa perlu menyentuh soal kebebasan dan dignitas. Kebebasan dan dignitas hanyalah merepotkan
saja. Sebab justru dignitas dan
kebebasan manusia itulah yang membuat kegagalan dalam mencapai prilaku yang
dikehendaki. Tetapi Skinner lupa bahwa
ketaatan tanpa dignitas dan kebebasan memilih untuk taat, bukanlah ketaatan
yang sejati. Itu tepat sekali hanyalah
sebagai prilaku taat, tetapi hati mungkin sekali memberontak. Ide behaviorism ini sedikit banyak memiliki
daya tarik yang luar biasa bagi dunia pendidikan formal khususnya yang
berorientasi hanya kepada hasil. Maka
tidak sedikit sistem kurikulum pendidikan formal yang memakai elemen-elemen
behaviorism dari Skinner ini. Dan ketika
dipakai, memang secara pengetesan hasil seakan mengalami peningkatan dan
pencapaian yang luar biasa, tetapi tidak pernah prilaku itu dapat diukur untuk
mengetahui apa yang sebetulnya ada di dalam hati orang yang berprilaku. Maka hasil yang diukur dari produk
behaviorism bukanlah hasil yang semestinya, sebab yang terlihat hanyalah kulit
luarnya saja. Pertanyaannya, apakah
lantas dengan prilaku yang kelihatannya baik, boleh dinilai lulusan itu betul
betul baik? Jawabannya yang jujur adalah
tidak.
Standard-based
education (SBE) atau pendidikan berbasis standar, sebetulnya adalah terminologi
yang dipakai bergantian dengan competency-based education atau pendidikan
berbasis kompetensi. Mekanismenya sama
persis. SBE berfokus kepada hasil. Yang dilihat di dalam assessment adalah
hasilnya semata. Maka proses tidaklah
menjadi penilaian yang penting.
Bagaimana seorang anak itu berproses di dalam belajar dia dianggap
tidaklah penting. Maka di dalam asumsi
normal, ketika tes dijalankan, dan hasil tes menunjukkan bahwa murid
mendapatkan nilai yang bagus, atau di atas KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal)
dianggaplah bahwa murid sudah kompeten.
Bagaimana jika anak sebetulnya menyontek? Hanya saja dia tidak ketahuan. Hasil di atas kertas sangat baik sekali. Maka mau tidak mau mekanismenya mengatakan
bahwa anak kompeten. Apakah betul-betul
kompeten? Maka SBE yang hanya berfokus
kepada hasil ini melewati elemen pendidikan yang sangat penting. Standar menjadi acuan utama keberhasilan
pembelajaran. Jika standar ditentukan
oleh, misalnya, angka 70, maka yang penting adalah bagaimana mencapai angka 70
dan tidak di bawah 70.
Waktu
saya SMA, kita sebagai murid menemukan banyak cara untuk mencapai standar yang
ditentukan. Ada yang nyontek. Ada yang belajar sks (sistem kebut semalam)
menggunakan kemampuan menghafal yang super dengan harapan dapat mengingat
sampai pada selesai ujian semua hal yang dibutuhkan untuk menjawab soal. Ada yang les ke guru yang mengajar mata
pelajaran yang diajarkan di kelas.
Mereka yang les dengan guru tersebut akan mendapatkan bocoran soal, dan
rumus-rumus yang pasti dipakai di tes esok hari. Pertanyaannya, ketika standar telah dicapai,
dan bahkan dilampaui, apakah itu berarti murid sudah boleh dikatakan
kompeten? Jika jawaban yang jujur adalah
tidak, lantas bukankah SBE ini telah gagal sebagai sistem pendidikan? Kalau gagal, mengapa dipertahankan? Ini baru kritik untuk masalah yang teknis
praktis saja.
Kedua,
jika kita evaluasi SBE secara filosofis, apakah SBE ini mengakomodasi filosofi
kodrat seperti yang disampaikan Ki Hajar Dewantara? Ataukah SBE justru mengakomodasi behaviorism
yang disampaikan Skinner? Pemetaan
standar di dalam SBE mengharuskan titik berat kepada keseragaman kompetensi
yang diatur oleh KKM. Sistem kontrol SBE
ditata sedemikian rupa sehingga ketika dilaksanakan ujian, semua murid
diasumsikan sudah melewati “kesempatan” proses belajar mengajar yang sama atau
adil. Maka diaturlah di dalam kurikulum
nasional berapa waktu yang diperlukan per minggu sesuai dengan grade level dan
per mata pelajaran untuk dijalani di kelas.
Asumsi ini melewati satu asumsi yang lain yaitu asumsi standar
penerimaan murid. Standar penerimaan
murid diatur pula untuk memiliki kriteria minimal, biasanya melalui nilai rapor
atau nilai ujian nasional. Dan pembacaan
nilai pun didasarkan atas asumsi interpretasi nilai yang sudah secara umum
beredar sesuai dengan ketentuan KKM.
Jadi jika nilai KKM matematika adalah 75, maka nilai 80 adalah masuk
kategori diterima secara umum. Ketika
diterapkan untuk semua mata pelajaran, maka akan dilihat berapa tinggi
pencapaian akademik seorang anak. Asumsi
ini terkait juga dengan berapa banyak murid yang mendaftar ke satu
sekolah. Maka sekolah tidak bisa hanya
melihat kepada nilai individu, tetapi sekolah mulai menggunakan step berikutnya
yaitu membandingkan. Misal sekolah punya
kapasitas menerima 100 anak. Sedangkan
ada 500 anak yang mendaftar dan yang mencapai nilai KKM yang ditentukan. Maka sekolah pasti harus mengeliminasi 400
anak. Bagaimana caranya? Yaitu dengan memilih yang dianggap terkuat
akademiknya, sesuai dengan interpretasi nilai.
Sehingga jika ada anak yang nilai kumulatifnya 70, dibandingkan dengan
yang 90, secara umum sekolah lebih memilih yang 90. Ini adalah gambaran realita penerimaan murid
di sekolah. Apakah sekolah menyediakan
waktu untuk meneliti satu persatu kekuatan dan keunikan tiap anak? Secara umum tidak.
SBE
mempermudah sekolah untuk tidak perlu menyediakan waktu melihat keunikan
anak. Yang perlu dilihat hanyalah angka
akhir yang diasumsikan sebagai representasi dari “kompetensi” anak. Karena sistemnya adalah keseragaman, maka
tidak ada faedahnya melihat keunikan kodrat setiap anak. Dengan tuntutan administrasi sekolah dan
waktu yang sangat singkat serta tenaga yang terbatas, maka tentunya apapun yang
dapat menyingkat proses akan dilakukan.
Maka SBE menjadi “jawaban” atas kepentingan institusi pendidikan formal. Tetapi SBE tidak memperhatikan kepentingan
setiap anak, apalagi mengakomodasi kodrat khusus masing-masing anak. SBE memang tidak didesain untuk menemukan,
merawat, dan menuntun kodrat setiap anak.
SBE hanya mampu membuat sistem sekolah yang efisien. Jika demikian, berarti SBE hanyalah menyelesaikan
masalah teknis efisiensi institusi pendidikan formal, tetapi mengorbankan
esensi pendidikan manusia yang sejati.
Lebih
buruk lagi hasilnya adalah ketika sistem SBE ini dipakai dalam konteks bahwa
belajar adalah tanggungjawab murid sepenuhnya.
Sehingga murid tidak dapat mencapai standar akademi yang ditentukan,
sekolah tidak merasa bertanggungjawab atas tidak tercapainya standar
tersebut. Maka guru-guru yang berada
dalam sistem SBE sedemikian tidak akan berpikir dengan serius mengenai
bagaimana dia bisa membantu para murid sungguh-sungguh belajar dan mencapai
standar yang seharusnya. Maka
murid-murid menjadi pontang panting mencari les sana sini demi mencapai standar
yang ditentukan. Tidak ada yang ingin
dilabel gagal. Maka mulailah grilya untuk
menghalakkan segala cara demi mencapai KKM atau lebih.
Mimpi
Ki Hajar Dewantara tidak terpenuhi.
Anak-anak dimasukkan ke dalam sebuah pabrik yang disebut sekolah, yang
mana “kodrat” mereka sudah ditentukan secara seragam melalui sistem SBE. Tidak ada lagi proses penemuan kodrat yang
unik pada setiap anak. Tidak ada lagi
proses guru merawat kodrat khusus yang sudah ditemukan tadi. Dan tentunya tidak ada waktu bagi guru untuk
menuntun kodrat khusus masing-masing anak.
Yang ada hanyalah pemenuhan kuota pabrik yang harus dijalankan secara
mekanis untuk menghasilkan “produk” seragam yang sudah ditentukan melalui
SBE. Apakah ini pendidikan yang
manusiawi? Ataukah ini pendidikan yang
memprogram manusia menjadi sesuatu yang bukan manusia? Betul-betul “beyond freedom and dignity” jika
model pendidikan formal adalah seperti ini.
Kebebasan tidaklah lagi diperlukan.
Dignitas tidak penting. Yang
penting adalah angka akhir yang mencapai dan bahkan melampaui KKM. Bagaimana bisa mencapai keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia jika sejak usia sekolah sudah mengalami model pendidikan yang
tidak bisa dikatakan adil? Keunikan
setiap insan akhirnya dihapuskan sejak mulai masuk sekolah. Standarisasi perlahan tapi pasti mengganti
keunikan anak menjadi keumuman anak.
Setiap lulusan sekolah akan menjadi sama semua. Mereka yang lulus TK, SD, dan SMP terutama,
akan menjadi seragam. Sebelas tahun mengalami
pendidikan formal yang mengkondisikan keseragaman, maka produk seragam telah
berhasil dicetak. Tidak penting lagi
keragaman yang mulai diperkenalkan di level universitas khususnya. Sebab mereka sebenarnya sudah seragam. Kodratnya sudah ditentukan oleh sekolah atau
industri. Tinggal variasi profesinya aja
berbeda-beda, tetapi mereka semua diprogram untuk melayani industri. Konsep behaviorism sangatlah efektif untuk
tujuan ini.
Jika
kita hendak membenahi pendidikan nasional, maka perlu dievaluasi penggunaan
SBE. Jika kita hendak mencapai
pendidikan yang manusiawi, SBE kelihatan tidak pas untuk digunakan. Jika kita hendak mencapai pendidikan karakter
dan moral serta pengetahuan, ketrampilan, prilaku, dan kecondongan hati yang
sejati, maka SBE bukanlah sistem yang cocok.
Diperlukan model pendidikan yang lain.
Dan bukan tidak mungkin akan diperlukan penggabungan beberapa sistem
demi mencapai pendidikan formal yang lebih bersifat holistik. Mungkin yang dinamakan Faith-Based Education
perlu digunakan. Mungkin Research-Based
Education perlu dikunjungi. Mungkin
Problem-Based Learning dan Project-Based Learning perlu dipakai. Mungkin Transformative Learning, atau
Experiential Learning, atau Critical Pedagogy, atau Discovery Learning, dan
lain sebagainya perlu dipikirkan untuk boleh digunakan demi mengakomodasi
pendidikan yang manusiawi dan yang mengangkat derajat bangsa serta yang memberi
perhatian secara serius kepada kodrat umum dan khusus dari manusia yang dicipta
oleh Allah yang Mahatinggi.
ReplyDeleteAwalnya aku hanya mencoba main togel akibat adanya hutang yang sangat banyak dan akhirnya aku buka internet mencari aki yang bisa membantu orang akhirnya di situ lah ak bisa meliat nmor nya AKI NAWE terus aku berpikir aku harus hubungi AKI NAWE meskipun itu dilarang agama ,apa boleh buat nasip sudah jadi bubur,dan akhirnya aku menemukan seorang aki.ternyata alhamdulillah AKI NAWE bisa membantu saya juga dan aku dapat mengubah hidup yang jauh lebih baik berkat bantuan AKI NAWE dgn waktu yang singkat aku sudah membuktikan namanya keajaiban satu hari bisa merubah hidup ,kita yang penting kita tdk boleh putus hasa dan harus berusaha insya allah kita pasti meliat hasil nya sendiri. siapa tau anda berminat silakan hubungi AKI NAWE Di Nmr 085--->"218--->"379--->''259'