Sunday, January 15, 2017

Kritik Terhadap Model Kurikulum Nasional: Standard-Based Education



 “Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri.  Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu.”
Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara dipengaruhi oleh Maria Montessori dalam filosofi pendidikannya.  Sehingga beliau sangat memperhatikan kesejahteraan anak-anak baik secara fisik maupun secara spiritual.  Dan di dalam konteks pendidikan yang holistik filosofi ini sangatlah krusial dan memegang kunci kepada pendidikan manusia yang seharusnya.  Sebagai gambaran ilahi, manusia memiliki kodrat dan derajat yang jauh melampaui binatang.  Seperti yang dijelaskan oleh Montessori di dalam konsep pendidikan dia yaitu bahwa manusia tidak boleh hanya bertumbuh pada arah untuk pemenuhan kebutuhan fisik semata.  Ini karena kodrat manusia adalah sebagai ciptaan Allah yang tertinggi derajatnya di bumi.

Kodrat manusia ini ditentukan oleh Sang Pencipta.  Hanya Allah yang tahu manusia itu akan menjadi apa.  Allahlah yang mendesain anak-anak itu nantinya bertumbuh seharusnya bagaimana.  Diletakkan benih keagungan di dalam diri setiap anak yang boleh mengerjakan rancangan dan kehendak dari Sang Penguasa semesta alam.  Ki Hajar Dewantara menyadari hal ini dan menyuarakannya dengan tepat di kalimat di atas.  Implikasinya adalah bahwa pendidik yang baik adalah pendidik yang menyadari kodrat yang ditentukan Allah ini.  Sehingga tugas dan tanggungjawab pendidik adalah “merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu.”  Dignitas manusia yang tinggi ini perlu menjadi acuan para pendidik untuk menjalankan pendidikan yang baik.  Ini adalah kodrat umum manusia.

Di dalam memahami kodrat setiap anak, disadari pula bahwa ada sekian macam profesi yang takterhingga jumlahnya sebab setiap manusia memiliki keunikannya sendiri-sendiri.  Kodrat unik setiap anak perlu dipahami dan ditemukan supaya para penyedia pendidikan boleh memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak.  Karena namanya kodrat, maka seharusnya tidak ada jenis profesi yang boleh dipaksakan kepada anak.  Sesuai dengan pengertian Ki Hajar Dewantara, kodrat itu akan tumbuh secara alamiah di dalam diri anak, sebab itu sudah menjadi ketentuan Allah.  Yang boleh dilakukan adalah menemukannya dan memeliharanya serta menolong anak merealisasikan kodrat surgawi itu.  Ini adalah kodrat khusus manusia.

Di dalam pemenuhan kodrat umum dan khusus ini, wilayah pendidikan perlu hati-hati di dalam melangkah.  Setiap langkah keputusan pendidikan harus memiliki fondasi pengertian kodrat umum dan khusus ini.  Baik pendidikan formal, non-formal, maupun informal, semua lini pendidikan di Indonesia harus memperhatikan pengertian yang disampaikan oleh Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara.  Dalam pembahasan kali ini saya akan membicarakan implikasi filosofi pendidikan ini di dalam pendidikan formal, dan secara khusus menyoroti kurikulum nasional.

Secara teknis di dalam konteks pendidikan formal ini berarti bahwa penentuan standar yang diberlakukan untuk semua anak berdasarkan grade level, yang mana grade level secara umum diatur berdasarkan range usia anak, adalah menuntut semua anak mencapai tingkatan minimum yang sama untuk pengetahuan, emosi, prilaku, serta keimanan sesuai dengan tingkatan jenjang sekolahnya.  Maka pertanyaannya adalah apakah penentuan standar seperti ini sesuai dengan filosofi kodrat manusia?  Apalagi jika penentuan standar itu diatur di dalam suatu sistem pendidikan formal yang hanya memihak kepada logical-mathematical dan linguistic intelligences saja.  Belum lagi ketika pendidikan formal dijalankan selayaknya sebuah pabrik, yang mana hasilnya harus seragam sesuai dengan standar yang ditentukan.  Lantas dimanakah letak kodrat manusia dalam pendidikan formal, khususnya bagian kodrat khusus yang unik di dalam diri setiap anak?

BF Skinner, tokoh behaviorism, menulis satu buku yang judulnya “Beyond Freedom and Dignity.”  Di dalam buku itu Skinner menyampaikan teori prilaku dia yang mana ketika diaplikasikan di dalam pendidikan akan menunjukkan kesuksesan luar biasa.  Kesuksesan ini diatur sedemikian rupa dalam konsep behaviorism sehingga setiap prilaku yang dikehendaki dapat diprogram dan diatur sesuai dengan psikologi manusia supaya di dalam konteks tertentu setiap manusia pasti akan melakukan prilaku yang dimaksud.  Skinner dengan yakin mengatakan bahwa konsep ini akan melampaui soal freedom dan dignity (kebebasan dan dignitas).  Bagi Skinner, tidak perlu lagi bicara kebebasan dan derajat. Sebab bagi dia dua hal itu tidak penting dan tidak perlu ada.  Yang lebih penting adalah prilaku yang dapat ditentukan dan diprogram sesuai dengan yang dikehendaki.  Misal, jika dikehendaki prilaku taat, maka secara behavioristic dapatlah diatur sistem pendidikan untuk membuat murid mengadopsi prilaku taat, tanpa perlu menyentuh soal kebebasan dan dignitas.  Kebebasan dan dignitas hanyalah merepotkan saja.  Sebab justru dignitas dan kebebasan manusia itulah yang membuat kegagalan dalam mencapai prilaku yang dikehendaki.  Tetapi Skinner lupa bahwa ketaatan tanpa dignitas dan kebebasan memilih untuk taat, bukanlah ketaatan yang sejati.  Itu tepat sekali hanyalah sebagai prilaku taat, tetapi hati mungkin sekali memberontak.  Ide behaviorism ini sedikit banyak memiliki daya tarik yang luar biasa bagi dunia pendidikan formal khususnya yang berorientasi hanya kepada hasil.  Maka tidak sedikit sistem kurikulum pendidikan formal yang memakai elemen-elemen behaviorism dari Skinner ini.  Dan ketika dipakai, memang secara pengetesan hasil seakan mengalami peningkatan dan pencapaian yang luar biasa, tetapi tidak pernah prilaku itu dapat diukur untuk mengetahui apa yang sebetulnya ada di dalam hati orang yang berprilaku.  Maka hasil yang diukur dari produk behaviorism bukanlah hasil yang semestinya, sebab yang terlihat hanyalah kulit luarnya saja.  Pertanyaannya, apakah lantas dengan prilaku yang kelihatannya baik, boleh dinilai lulusan itu betul betul baik?  Jawabannya yang jujur adalah tidak.

Standard-based education (SBE) atau pendidikan berbasis standar, sebetulnya adalah terminologi yang dipakai bergantian dengan competency-based education atau pendidikan berbasis kompetensi.  Mekanismenya sama persis.  SBE berfokus kepada hasil.  Yang dilihat di dalam assessment adalah hasilnya semata.  Maka proses tidaklah menjadi penilaian yang penting.  Bagaimana seorang anak itu berproses di dalam belajar dia dianggap tidaklah penting.  Maka di dalam asumsi normal, ketika tes dijalankan, dan hasil tes menunjukkan bahwa murid mendapatkan nilai yang bagus, atau di atas KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) dianggaplah bahwa murid sudah kompeten.  Bagaimana jika anak sebetulnya menyontek?  Hanya saja dia tidak ketahuan.  Hasil di atas kertas sangat baik sekali.  Maka mau tidak mau mekanismenya mengatakan bahwa anak kompeten.  Apakah betul-betul kompeten?  Maka SBE yang hanya berfokus kepada hasil ini melewati elemen pendidikan yang sangat penting.  Standar menjadi acuan utama keberhasilan pembelajaran.  Jika standar ditentukan oleh, misalnya, angka 70, maka yang penting adalah bagaimana mencapai angka 70 dan tidak di bawah 70.

Waktu saya SMA, kita sebagai murid menemukan banyak cara untuk mencapai standar yang ditentukan.  Ada yang nyontek.  Ada yang belajar sks (sistem kebut semalam) menggunakan kemampuan menghafal yang super dengan harapan dapat mengingat sampai pada selesai ujian semua hal yang dibutuhkan untuk menjawab soal.  Ada yang les ke guru yang mengajar mata pelajaran yang diajarkan di kelas.  Mereka yang les dengan guru tersebut akan mendapatkan bocoran soal, dan rumus-rumus yang pasti dipakai di tes esok hari.  Pertanyaannya, ketika standar telah dicapai, dan bahkan dilampaui, apakah itu berarti murid sudah boleh dikatakan kompeten?  Jika jawaban yang jujur adalah tidak, lantas bukankah SBE ini telah gagal sebagai sistem pendidikan?  Kalau gagal, mengapa dipertahankan?  Ini baru kritik untuk masalah yang teknis praktis saja.

Kedua, jika kita evaluasi SBE secara filosofis, apakah SBE ini mengakomodasi filosofi kodrat seperti yang disampaikan Ki Hajar Dewantara?  Ataukah SBE justru mengakomodasi behaviorism yang disampaikan Skinner?  Pemetaan standar di dalam SBE mengharuskan titik berat kepada keseragaman kompetensi yang diatur oleh KKM.  Sistem kontrol SBE ditata sedemikian rupa sehingga ketika dilaksanakan ujian, semua murid diasumsikan sudah melewati “kesempatan” proses belajar mengajar yang sama atau adil.  Maka diaturlah di dalam kurikulum nasional berapa waktu yang diperlukan per minggu sesuai dengan grade level dan per mata pelajaran untuk dijalani di kelas.  Asumsi ini melewati satu asumsi yang lain yaitu asumsi standar penerimaan murid.  Standar penerimaan murid diatur pula untuk memiliki kriteria minimal, biasanya melalui nilai rapor atau nilai ujian nasional.  Dan pembacaan nilai pun didasarkan atas asumsi interpretasi nilai yang sudah secara umum beredar sesuai dengan ketentuan KKM.  Jadi jika nilai KKM matematika adalah 75, maka nilai 80 adalah masuk kategori diterima secara umum.  Ketika diterapkan untuk semua mata pelajaran, maka akan dilihat berapa tinggi pencapaian akademik seorang anak.  Asumsi ini terkait juga dengan berapa banyak murid yang mendaftar ke satu sekolah.  Maka sekolah tidak bisa hanya melihat kepada nilai individu, tetapi sekolah mulai menggunakan step berikutnya yaitu membandingkan.  Misal sekolah punya kapasitas menerima 100 anak.  Sedangkan ada 500 anak yang mendaftar dan yang mencapai nilai KKM yang ditentukan.  Maka sekolah pasti harus mengeliminasi 400 anak.  Bagaimana caranya?  Yaitu dengan memilih yang dianggap terkuat akademiknya, sesuai dengan interpretasi nilai.  Sehingga jika ada anak yang nilai kumulatifnya 70, dibandingkan dengan yang 90, secara umum sekolah lebih memilih yang 90.  Ini adalah gambaran realita penerimaan murid di sekolah.  Apakah sekolah menyediakan waktu untuk meneliti satu persatu kekuatan dan keunikan tiap anak?  Secara umum tidak.

SBE mempermudah sekolah untuk tidak perlu menyediakan waktu melihat keunikan anak.  Yang perlu dilihat hanyalah angka akhir yang diasumsikan sebagai representasi dari “kompetensi” anak.  Karena sistemnya adalah keseragaman, maka tidak ada faedahnya melihat keunikan kodrat setiap anak.  Dengan tuntutan administrasi sekolah dan waktu yang sangat singkat serta tenaga yang terbatas, maka tentunya apapun yang dapat menyingkat proses akan dilakukan.  Maka SBE menjadi “jawaban” atas kepentingan institusi pendidikan formal.  Tetapi SBE tidak memperhatikan kepentingan setiap anak, apalagi mengakomodasi kodrat khusus masing-masing anak.  SBE memang tidak didesain untuk menemukan, merawat, dan menuntun kodrat setiap anak.  SBE hanya mampu membuat sistem sekolah yang efisien.  Jika demikian, berarti SBE hanyalah menyelesaikan masalah teknis efisiensi institusi pendidikan formal, tetapi mengorbankan esensi pendidikan manusia yang sejati.

Lebih buruk lagi hasilnya adalah ketika sistem SBE ini dipakai dalam konteks bahwa belajar adalah tanggungjawab murid sepenuhnya.  Sehingga murid tidak dapat mencapai standar akademi yang ditentukan, sekolah tidak merasa bertanggungjawab atas tidak tercapainya standar tersebut.  Maka guru-guru yang berada dalam sistem SBE sedemikian tidak akan berpikir dengan serius mengenai bagaimana dia bisa membantu para murid sungguh-sungguh belajar dan mencapai standar yang seharusnya.  Maka murid-murid menjadi pontang panting mencari les sana sini demi mencapai standar yang ditentukan.  Tidak ada yang ingin dilabel gagal.  Maka mulailah grilya untuk menghalakkan segala cara demi mencapai KKM atau lebih.

Mimpi Ki Hajar Dewantara tidak terpenuhi.  Anak-anak dimasukkan ke dalam sebuah pabrik yang disebut sekolah, yang mana “kodrat” mereka sudah ditentukan secara seragam melalui sistem SBE.  Tidak ada lagi proses penemuan kodrat yang unik pada setiap anak.  Tidak ada lagi proses guru merawat kodrat khusus yang sudah ditemukan tadi.  Dan tentunya tidak ada waktu bagi guru untuk menuntun kodrat khusus masing-masing anak.  Yang ada hanyalah pemenuhan kuota pabrik yang harus dijalankan secara mekanis untuk menghasilkan “produk” seragam yang sudah ditentukan melalui SBE.  Apakah ini pendidikan yang manusiawi?  Ataukah ini pendidikan yang memprogram manusia menjadi sesuatu yang bukan manusia?  Betul-betul “beyond freedom and dignity” jika model pendidikan formal adalah seperti ini.  Kebebasan tidaklah lagi diperlukan.  Dignitas tidak penting.  Yang penting adalah angka akhir yang mencapai dan bahkan melampaui KKM.  Bagaimana bisa mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia jika sejak usia sekolah sudah mengalami model pendidikan yang tidak bisa dikatakan adil?  Keunikan setiap insan akhirnya dihapuskan sejak mulai masuk sekolah.  Standarisasi perlahan tapi pasti mengganti keunikan anak menjadi keumuman anak.  Setiap lulusan sekolah akan menjadi sama semua.  Mereka yang lulus TK, SD, dan SMP terutama, akan menjadi seragam.  Sebelas tahun mengalami pendidikan formal yang mengkondisikan keseragaman, maka produk seragam telah berhasil dicetak.  Tidak penting lagi keragaman yang mulai diperkenalkan di level universitas khususnya.  Sebab mereka sebenarnya sudah seragam.  Kodratnya sudah ditentukan oleh sekolah atau industri.  Tinggal variasi profesinya aja berbeda-beda, tetapi mereka semua diprogram untuk melayani industri.  Konsep behaviorism sangatlah efektif untuk tujuan ini.

Jika kita hendak membenahi pendidikan nasional, maka perlu dievaluasi penggunaan SBE.  Jika kita hendak mencapai pendidikan yang manusiawi, SBE kelihatan tidak pas untuk digunakan.  Jika kita hendak mencapai pendidikan karakter dan moral serta pengetahuan, ketrampilan, prilaku, dan kecondongan hati yang sejati, maka SBE bukanlah sistem yang cocok.  Diperlukan model pendidikan yang lain.  Dan bukan tidak mungkin akan diperlukan penggabungan beberapa sistem demi mencapai pendidikan formal yang lebih bersifat holistik.  Mungkin yang dinamakan Faith-Based Education perlu digunakan.  Mungkin Research-Based Education perlu dikunjungi.  Mungkin Problem-Based Learning dan Project-Based Learning perlu dipakai.  Mungkin Transformative Learning, atau Experiential Learning, atau Critical Pedagogy, atau Discovery Learning, dan lain sebagainya perlu dipikirkan untuk boleh digunakan demi mengakomodasi pendidikan yang manusiawi dan yang mengangkat derajat bangsa serta yang memberi perhatian secara serius kepada kodrat umum dan khusus dari manusia yang dicipta oleh Allah yang Mahatinggi.

1 comment:


  1. Awalnya aku hanya mencoba main togel akibat adanya hutang yang sangat banyak dan akhirnya aku buka internet mencari aki yang bisa membantu orang akhirnya di situ lah ak bisa meliat nmor nya AKI NAWE terus aku berpikir aku harus hubungi AKI NAWE meskipun itu dilarang agama ,apa boleh buat nasip sudah jadi bubur,dan akhirnya aku menemukan seorang aki.ternyata alhamdulillah AKI NAWE bisa membantu saya juga dan aku dapat mengubah hidup yang jauh lebih baik berkat bantuan AKI NAWE dgn waktu yang singkat aku sudah membuktikan namanya keajaiban satu hari bisa merubah hidup ,kita yang penting kita tdk boleh putus hasa dan harus berusaha insya allah kita pasti meliat hasil nya sendiri. siapa tau anda berminat silakan hubungi AKI NAWE Di Nmr 085--->"218--->"379--->''259'

    ReplyDelete