“Habis Gelap Terbitlah
Terang”
Raden Ajeng Kartini
Plato’s
“Allegory of the Cave”
Drawing
by: Markus Maurer
Source:
Veldkamp,
Gabriele. Zukunftsorientierte Gestaltung informationstechnologischer
Netzwerke im Hinblick auf die Handlungsfähigkeit des Menschen. Aachener Reihe
Mensch und Technik, Band 15, Verlag der Augustinus Buchhandlung, Aachen 1996,
Germany
Dikisahkan
oleh Plato percakapan Socrates dan Glaucon (saudara Plato) di dalam bukunya “Republic” bahwa manusia digambarkan
sedang dipenjara di dalam sebuah gua sejak lahir. Seumur hidup orang-orang ini hanya menatap ke
dinding kosong. Di belakang mereka
persis ada sebuat tembok tinggi yang membatasi mereka sehingga mereka tidak
dapat melihat apa yang ada di belakang mereka.
Di balik tembok tersebut ada api.
Ada orang-orang yang membawa obyek-obyek di atas kepala mereka yang mana
bayangan dari obyek-obyek tersebut terlihat di dinding kosong yang selalu
ditatap oleh orang-orang yang terpenjara itu.
Sehingga bagi mereka yang terpenjara, realita hidup adalah bayangan yang
mereka lihat seumur hidupnya. Mereka
memberi nama masing-masing obyek, yang sebenarnya hanyalah bayangan, yang
mereka lihat di dinding kosong tersebut.
Suatu saat seorang terpenjara tersebut dibebaskan dan dibawa ke balik
tembok dimana dia melihat api. Tetapi
nyala api tersebut sangat menyilaukan matanya yang seumur hidup hanya terbiasa
melihat bayangan dan kegelapan saja.
Sehingga di dalam penderitaan karena kesilauannya, orang ini langsung
lari kembali ke tempat dia semula dan menikmati kenyamanan hidupnya yang dia
tahu sejak dia lahir.
Analogi
ini bagi Plato menggambarkan upaya pendidikan.
Orang di dalam gua itu adalah orang-orang yang masih gelap
pikirannya. Orang yang sudah keluar dari
gua adalah digambarkan sebagai filsuf yang pikirannya sudah diterangi. Maka filsuf memiliki dorongan untuk membawa
orang-orang yang masih terpenjara di dalam pikiran yang belum diterangi menuju
kepada realita yang asli. Dan ini adalah
pendidikan. Jika melihat dari bahasa
latin dari pendidikan yang adalah educare,
maka kita akan menemukan “e” yang
adalah keluar dan “ducare” yang
berarti memimpin. Maka educare berarti memimpin keluar. Disinilah analogi gua dari Plato mencerahkan
arti educare yaitu dengan memberi
ujung pangkalnya. Dari gelap menuju
kepada terang. Dari bayangan menuju
kepada realita asli. Ada buku yang
berisikan intisari pemikiran Raden Ajeng Kartini yang berjudul “Dari Gelap
Terbitlah Terang.” Buku ini diterbitkan
oleh J.H. Abendanon yang adalah menteri kebudayaan dan agama Belanda dengan
judul Door Duistemis Tot Licht. Sebetulnya buku ini adalah kumpulan
surat-surat Kartini kepada rekan-rekannya di Eropa. Kartini memiliki pemikiran yang menerobos
zaman. Di dalam penggambaran analogi gua
Plato, Kartini adalah bagaikan filsuf yang sudah keluar dari gua yang gelap, dan
yang berupaya menerangi pikiran banyak orang di Indonesia yang masih berada di
dalam kegelapan. Kartini berupaya
mengedukasi rakyat Indonesia, membawa orang-orang Indonesia dari gelap menuju
kepada terang.
Tugas
pendidik bukanlah tugas yang mudah.
Dorongan naluriah di dalam hati untuk membawa orang-orang yang masih
terpenjara untuk menuju kepada pembebasan bukanlah dorongan yang dapat
diabaikan. Hakekat guru ini berkaitan
sangat erat sekali dengan hakekat kemanusiaan kita sebagai gambar ilahi. Tidaklah semestinya gambar ilahi ini
terpenjara di dalam kegelapan. Gambar
ilahi harus berada di dalam terang.
Itulah kodrat manusia. Kegelapan
mematikan manusia. Tetapi manusia yang
telah terjebak di dalam kegelapan tidaklah dengan segera dapat menerima
terang. Kemanusiaan yang sudah
terpenjara di dalam gelap ini perlu mengalami proses yang serius untuk dipimpin
keluar dari gelap menuju kepada terang.
Belenggu kegelapan membutakan manusia dari keberadaan terang dan
realitas yang sejati. Maka mereka-mereka
yang masih terbelenggu ini perlu dibebaskan supaya mereka boleh menikmati hidup
yang sesuai dengan kodrat mereka sebagai gambar ilahi yang dicipta di dalam
terang.
Tetapi
memang ada usaha-usaha tertentu yang hendak menggagalkan proses pembebasan
tersebut. Kritik tajam dari Paulo Friere
di dalam Pedagogy of the Opressed
menguakkan fenomena yang mencengangkan dimana pendidikan dapat dipakai sebagai
alat untuk membelenggu orang di dalam kegelapan. Protes dari Karl Marx mengenai kaum borjuis
yang hendak mempertahankan status quo dengan menjaga supaya mereka yang miskin
tetaplah miskin juga merupakan upaya membuka pikiran orang-orang yang
terbelenggu. Secara praktis ada upaya
untuk menekan biaya tenaga kerja supaya beberapa orang dapat menuai hasil
sebanyak-banyaknya. Tetapi menekan biaya
tenaga kerja tidak bisa dilakukan bila para tenaga kerja menjadi pandai dan
pikirannya sudah dibebaskan dari belenggu.
Ini terjadi di negara-negara maju seperti di Amerika misalnya. Yaitu untuk orang Amerika sendiri yang sudah
terdidik memiliki pengetahuan dan ketrampilan serta wawasan yang terbuka,
mereka tidak bisa lagi digaji rendah.
Sehingga akhirnya banyak industri dengan sadar memakai tenaga kerja
illegal demi menekan biaya. Cara lain
adalah dengan memindahkan pabrik ke negara lain yang mana biaya tenaga kerjanya
jauh lebih murah. Dalam 30 tahun
terakhir banyak pabrik dibuka di China, Thailand, Vietnam, Indonesia, oleh
negara-negara maju karena tenaga kerja di negara-negara tersebut sangatlah
rendah dibanding dengan tenaga kerja di negara mereka sendiri.
Secara
praktis ada dilema disini. Jika
pendidikan akhirnya berhasil membebaskan orang-orang yang terbelenggu di dalam
gua, maka ada resiko yang harus dihadapi, yaitu bahwa profit tidak dapat
menjadi terlalu banyak. Di dalam dunia
bisnis, profit yang tidak banyak adalah kegagalan. Setiap tahun harus ada kenaikan profit. Keberhasilan suatu bisnis dilihat dari
meningkatnya profit. Semakin tinggi
profit semakin hebatlah bisnisnya.
Lantas bagaimana bisnis bisa hebat jika profit tidak lagi bisa setinggi
mungkin? Kalau dulu skalanya adalah
nasional, bagaimana dengan internasional?
Jika warga negara sendiri haruslah pandai, bagaimana dengan warga negara
lain? Karena jika negara sendiri hendak
memiliki profit yang tinggi, sementara warga negara sendiri sudah tidak bisa
dibayar murah, maka bukankah pilihan berikut adalah membayar murah tenaga kerja
warga negara lain? Bagaimana jika
seluruh dunia sudah dipenuhi oleh orang-orang yang tidak lagi bisa dibayar
murah? Otomatis profit margin akan
menjadi kecil dan semakin mengecil.
Sebagian orang tidak mau hal ini terjadi.
Ada
satu kisah tentang satu kota kecil yang sebagian besar penduduknya bekerja di
satu pabrik. Tetapi gaji para pekerja
ini sangat kecil sekali sehingga mereka sangatlah miskin. Suatu saat ada pendatang yang pindah ke kota
kecil tersebut. Pendatang ini yang
adalah seorang pengacara memiliki pengetahuan akan standar gaji di negara
tersebut. Dan standar gaji yang
ditetapkan adalah 10 kali lipat dari yang saat ini dibayarkan kepada pekerja
pabrik tersebut. Selama beberapa waktu
pengacara ini tinggal di kota tersebut, dia mulai mendengarkan keluhan para
pekerja pabrik tersebut. Lalu satu
persatu, perlahan demi perlahan, pengacara ini mulai mengajarkan kepada para
pekerja pabrik mengenai standar gaji yang ada di undang-undang. Akhirnya para pekerja pabrik yang pikirannya
sudah dibukakan ini mengadakan rapat bersama.
Dan mereka sepakat untuk meminta manajer pabrik menaikkan gaji mereka
sesuai dengan standar pemerintah.
Manajer pabrik pada awalnya menolak.
Akhirnya pekerja pabrik melakukan demo dengan mogok kerja. Sehingga manajer pabrik harus rapat dengan
direksi untuk mengambil keputusan atas permintaan pekerja. Di dalam diskusi yang alot, akhirnya direktur
utama mengatakan demikian: “Jika pekerja tidak mau digaji sama seperti yang
lalu, maka kita tidak ada pilihan selain menutup pabrik ini dan memindahkannya
ke tempat lain!” Lalu perkataan direktur
utama ini dijadikan keputusan direksi dan disampaikan kepada manajer pabrik. Manajer pabrik mengumumkannya kepada para
pekerja. Terjadilah dilema yang besar
sekali. Maka sebagian pekerja mulai
luntur semangatnya. Sebab seluruh
hidupnya bergantung dari gaji yang diterima dari pabrik tersebut. Bagi sebagian orang ini adalah lebih baik
menerima sedikit daripada tidak sama sekali.
Maka terjadi perdebatan yang serius di dalam serikat pekerja
tersebut. Yang lain tidak bisa menerima,
dan bersikeras menuntut pabrik yang sudah menggaji mereka di bawah standar
bertahun-tahun. Sebagian tidak mau sebab
menuntut ke pengadilan juga tidak murah dan membutuhkan waktu yang tidak
pendek, sementara mereka butuh makan.
Inilah
yang dikisahkan oleh Plato dimana pada akhirnya orang yang keluar dari gua
tersebut ketika kembali ke dalam gua hendak membebaskan orang-orang yang lain
justru mengalami penganiayaan dan kemungkinan dibunuh karena mereka yang masih
terbelenggu di dalam gua tidak mau hidup di dalam terang. Bagaimanakah nasib pengacara yang adalah
pendatang ke kota kecil tersebut? Saya
tidak tahu. Tetapi konon dikisahkan
bahwa pengacara tersebut akhirnya diusir dari kota itu dan pabrik masih tetap
berjalan disana dengan tidak ada perubahan kenaikan gaji sama sekali. Orang-orang di kota kecil itu masih tetap
tinggal terbelenggu di dalam gua dan tidak ada niat untuk dibebaskan dari belenggu
tersebut.
Pertanyaan
yang sangat serius adalah: “Dapatkah seorang pendidik yang sejati membiarkan
muridnya tetap terbelenggu di dalam kebodohan dan ketidaktahuan, sementara dia
memiliki kesempatan membebaskan muridnya dari kebodohan dan ketidaktahuan?” Ada resiko pendidik ditolak, dihina, dan
bahkan dianiaya. Tetapi pendidik sejati
akan terus berupaya membebaskan orang-orang dari belenggu ketidaktahuan dan
kebodohan. Sokrates membayar dengan
nyawanya. Konghucu harus mengembara
lebih dari 10 tahun ditolak dan dihina dengan pengajarannya yang dianggap tidak
mungkin berhasil. Yesus Kristus dibunuh
karena memberitakan kebenaran. Tetapi
guru-guru agung ini menggerakkan orang sepanjang zaman di dalam kebenaran dan
kebijaksanaan sehingga walaupun sudah sekitar 20 abad lebih berlalu orang-orang
masih merasakan pengaruh dan akibat positif dari pengorbanan mereka.
Jika
kita sebagai bangsa hendak membawa rakyat untuk maju dan keluar dari gua, bebas
dari belenggu, menuju kepada kecerdasan kelas dunia, maka usaha yang sangat
serius perlu dipikirkan, direncanakan, dan dieksekusi dengan cermat melalui
pendidikan nasional. Perlu diambil suatu
keputusan dan kebijakan yang didukung sepenuhnya baik secara material dan spiritual
yaitu pendidikan nasional yang terbaik.
Yaitu pendidikan nasional yang sungguh-sungguh mencerdaskan seluruh
rakyat. Yaitu pendidikan nasional yang
inovatif dan kreatif. Yaitu pendidikan
nasional yang menyediakan iklim belajar yang aman dan nyaman. Yaitu pendidikan nasional yang berani
menggunakan ilmu-ilmu pedagogi paling mutakhir.
Yaitu pendidikan nasional yang diisi oleh guru-guru yang handal dan
sangat cerdas – putra-putri bangsa terbaik dari seluruh nusantara. Yaitu pendidikan nasional yang memiliki
desain program yang sangat terintegrasi dalam semua level. Yaitu pendidikan nasional yang menghargai dan
menjaga kebhinekaan serta menopang keutuhan negara. Yaitu pendidikan nasional yang ditujukan
untuk persatuan seluruh Indonesia. Yaitu
pendidikan nasional yang mengarah kepada kesejahteraan sosial. Yaitu pendidikan nasional yang didasarkan
kepada kemanusiaan yang sejati. Yaitu
pendidikan nasional yang memuliakan Tuhan yang maha esa. Tidak lagi kita boleh membiarkan pendidikan
nasional berjalan ala kadarnya. Tidak
lagi kita boleh membiarkan pendidikan nasional berada pada kualitas yang
buruk. Pada semua level, baik pendidikan
informal, non-formal, maupun formal, haruslah berada pada level kualitas
terbaik, bukan hanya secara lingkup regional, tetapi bahkan pada lingkup
internasional.
Indonesia
bukan tidak mampu. Kita punya banyak
putra-putri bangsa yang tingkat kecerdasannya mendunia. Kita punya banyak putra-putri bangsa yang
potensinya tidak kalah dengan anak-anak dari negara maju. Saya sendiri adalah bukti bahwa putra-putri
bangsa dapat bersaing dengan baik dengan anak-anak negara maju. Selama saya studi di Amerika saya selalu
mendapatkan hasil akhir pada level di atas cum-laude. Dan orang seperti saya tidak sedikit. Banyak anak-anak dari Indonesia yang ketika
lulus berada pada level cum-laude, magna cum-laude, atau bahkan summa cum-laude. Tetapi orang-orang ini perlu dihargai
sepantasnya. Jika orang-orang ini tidak
dihargai maka mereka tidak akan kembali ke gua untuk mau membebaskan
orang-orang yang terbelenggu disana. Jika mereka tahu bahwa mereka hanya akan
ditolak, dihina, dan tidak dihargai, maka mereka tidak akan ikut serta dalam
usaha pendidikan nasional. Dan jika
putra-putri bangsa terbaik ini tidak ikut terjun dalam usaha pendidikan
nasional, maka sangatlah sulit pendidikan nasional memiliki kualitas terbaik
pula. Dan jika pendidikan nasional tidak
memiliki kualitas terbaik, maka rakyat Indonesia akan tetap tinggal di dalam
gua dan terbelenggu di dalam kegelapan.
Jika R.A. Kartini bangkit dan melihat keadaan bangsanya yang sangat
dicintainya ini, maka beliau akan menangis dengan sedihnya, sebab harapan
beliau “Habis Gelap Terbitlah Terang” masih belum terwujud walaupun sudah lebih
seratus tahun berlalu sejak beliau wafat pada 17 September 1904.
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete