“The Medium is the
Message.”
(Medianya adalah Pesannya)
Marshall McLuhan
Pengertian
umum adalah dibedakan antara media/metode dengan isi/konten. Bagaimana cara pesan disampaikan dipisahkan
dengan isi pesan itu sendiri. Tetapi
Marshall McLuhan menyampaikan kalimat kritis di era postmodern ini untuk
membuka mata kita semua, yaitu bahwa media/metode/cara itu pada dirinya sendiri
mengandung isi pesan. Di dalam
menyampaikan isi pesan dengan media tertentu membawa pesan yang tidak terbatas
hanya pada isi pesan itu saja. Bungkus
dari isi pun menyampaikan sesuatu. Jika
kita mau membeli barang, kita secara tidak sadar juga memperhatikan bungkus
dari barang tersebut. Maka ada pepatah
mengatakan: “Don’t judge the book by its cover” (Jangan menilai buku dari sampulnya). Tetapi malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih,
kita selalu menilai buku dari sampulnya.
Itu sebab ada orang-orang yang dibayar secara khusus dengan honor yang
tinggi untuk membuat sampul/bungkus/kemasan dari suatu produk. Pandangan pertama manusia sangat dipengaruhi
oleh keindahan kemasan. Karena melalui
kemasan pikiran dan imajinasi kita mengasumsikan bahwa isi di dalam kemasan
tersebut seindah kemasannya. Maka misal
kita membeli sebuah tas jinjing. Lalu
dimasukkan kedalam bungkusnya, yang satu adalah tas belanja dengan simbol SOGO
department store, yang lain tas yang sama dimasukkan ke dalam tas belanja yang
adalah tas plastik/kresek biasa. Manakah
tas yang dianggap bagus kualitasnya dan otentik? Mungkin 99% orang akan memilih tas yang ada
di dalam tas belanja SOGO. Ini karena
medianya adalah pesannya.
Demikian
rumus ini juga berlaku di arena pendidikan.
Dan yang secara khusus kita akan bicarakan sekarang adalah arena
pendidikan formal yang mana di dalamnya seringkali digunakan istilah
kurikulum. Pendidikan, yang sebetulnya
dalam hal ini adalah pendidikan formal, yaitu sekolah atau universitas, sangat
erat kaitannya dengan yang namanya kurikulum.
Banyak sekali orang sudah bisa dikatakan tahu atau paling tidak bisa
mengidentifikasi makanan apakah kurikulum itu.
Ketika berita memuat bahwa pemerintah memutuskan mengganti kurikulum
nasional, pikiran pembaca atau pendengar langsung melayang ke objek yang satu
itu yang dinamakan kurikulum. Imajinasi
akan susunan mata pelajaran, beserta besaran kreditnya, serta pengaturannya
seiring dengan jenjang pendidikan formalnya, langsung menyodorkan diri di otak
kita yang memproyeksikannya sebagai barang yang disebut kurikulum. Dari tahun ke tahun inilah pengertian
kurikulum. Dan dari dekade ke dekade
kurikulum yang ada di imajinasi ini dianggap sebagai jantungnya pendidikan,
maka tidaklah susah ditebak ketika kurikulum akhirnya diidentikkan dengan
pendidikan itu sendiri. Dengan demikian terjadilah reduksi besar-besaran dalam
pemahaman pendidikan dan kurikulum. Pemahaman
yang terlalu sederhana dan terreduksi ini tidak membantu masyarakat untuk lebih
cerdas dan cermat dalam mengerti tentang satu faktor besar di dalam kehidupan
sosial manusia, pendidikan. Melainkan,
seiring dengan waktu dan pembentukan perspektif, masyarakat makin salah di
dalam pemahamannya akan pendidikan dan kurikulum.
Pendidikan,
seperti saya sudah pernah singgung di tulisan saya yang lain, ada tiga
bentuk. Pendidikan informal adalah
pendidikan keluarga dan kehidupan khususnya di masyarakat riil, pendidikan
non-formal yang adalah pendidikan seperti pendidikan formal tetapi minus
kekuatan credential seperti misalnya les renang atau musik, dan pendidikan
formal yang adalah pengorganisasian proses belajar mengajar secara sistematis
dengan jenjang-jenjang yang ditentukan oleh berbagai filsafat pendidikan yang
dianut dimana bentuk pendidikan ini menemukan ekspresinya melalui sekolah dan
universitas. Maka adalah keliru besar jika hanya mengidentikkan
pendidikan formal dengan pendidikan. Sebab
pendidikan formal hanyalah satu bagian saja dari arena pendidikan. Pemerintah Indonesia ketika menggunakan
istilah pendidikan di dalam instansi-instansinya sebenarnya hanya merujuk
kepada pendidikan formal, yaitu sekolah.
Sedangkan dua bagian pendidikan lain yang besar justru tidak tersentuh
oleh departemen pendidikan Indonesia.
Saya tidak akan bahas hal ini terlalu jauh lagi di artikel ini, tetapi
akan bergerak maju membahas juga satu istilah yang seringkali dipahami secara
parsial dan keliru, yaitu kurikulum.
Kali ini saya hanya akan membahas satu aspek dari
kurikulum, yaitu jenis kurikulum. Yang
disebut sebagai kurikulum sebenarnya dibedakan menjadi tiga macam. Yang pertama adalah kurikulum eksplisit
(Explicit Curriculum = EC), yang kedua adalah kurikulum implisit atau kurikulum
tersembunyi (Implicit Curriculum = IC or Hidden Curriculum = HC), dan yang
terakhir adalah kurikulum ketiadaan atau kurikulum yang tidak diajarkan (Null
Curriculum = NC). Kurikulum explisit
(EC) adalah kurikulum yang kelihatan dengan jelas secara eksplisit. Ini adalah jenis kurikulum yang paling banyak
diketahui oleh orang banyak. Ketika
mencari sekolah untuk anak dan bertanya tentang kurikulumnya maka pihak sekolah
akan menyodorkan kurikulum explisit ini dalam diagram yang menarik. Atau pada saat presentasi open house atau
pameran pendidikan, pihak sekolah biasanya membuat katalog dan brosur yang
menunjukkan kerangka kurikulum eksplisit ini kepada para orang tua dan calon
murid. Para orang tua dan murid ramai
membicarakan EC ini satu sama lain dengan membandingkannya antara sekolah yang
satu dengan sekolah yang lain. Ada yang
tertarik ke satu sekolah A karena sekolah A menawarkan pelajaran bahasa
mandarin misalnya sementara sekolah lain tidak, atau porsinya kurang. Atau orang tua tertarik dengan sekolah B
karena sekolah B menggunakan kerangka kurikulum eksplisit International
Baccalaurate atau yang dikenal dengan IB, atau sekolah C yang menggunakan
kurikulum eksplisit Cambridge, dan lain sebagainya. Porsi penjelasan mengenai EC ini cukup besar
sekali sebab di imajinasi para orang tua dan murid adalah kejelasan mata
pelajaran yang ditawarkan, berapa kredit yang didapat, berapakah nilai standar
kelulusan, pembagian kategori ilmu yang dianggap dapat menghantarkan murid
kepada kesuksesan baik di akademik maupun di pencarian pekerjaan nantinya. Karena porsi yang besar pembahasannya maka
diskusi biasanya berputar di level EC ini.
Sehingga tidak heran EC ini akhirnya disaturasikan dengan kurikulum
secara keseluruhan. Maka kata kurikulum
akhirnya diidentikkan dengan kurikulum eksplisit (EC). Kurikulum Nasional pun menggunakan istilah
kurikulum tanpa diberi embel-embel eksplisit, padahal yang dimaksud sebenarnya
hanyalah EC. Reduksi ini berbahaya
sebetulnya karena akhirnya dua kurikulum jenis lain yang justru sangatlah
penting keberadaannya menjadi terabaikan.
Fokus pelaksana sekolah dan para orang tua serta murid hanya kepada EC
yang dianggap sudah sebagai segala-galanya di dalam pendidikan (formal). Sehingga ketika sekolah menyodorkan EC ini
dan orang tua serta murid memilih sekolah berdasarkan EC, dianggap bahwa
pilihannya sudah didasarkan kepada informasi yang tuntas. Padahal EC hanya sepertiga dari keseluruhan
kurikulum yang sesungguhnya. Seorang
ahli pendidikan dari Stanford University
di Amerika yang bernama Elliot Eisner mengatakan di bukunya Educational Imagination bahwa EC pada
dasarnya adalah sama dari satu sekolah ke sekolah yang lain. Jika ada perbedaan maka bukanlah perbedaan
yang terlalu besar. Dia memberi contoh
bahwa studi di Harvard University misalnya dibandingkan dengan studi di XYZ
College (bukan nama universitas sebenarnya – hanya contoh saja) untuk jurusan
mesin pada level EC nya ditawarkan sama.
Mata kuliah yang ditawarkan kurang lebih sama, jumlah kredit juga kurang
lebih sama. Maka secara EC sebetulnya
tidak terlalu berbeda. Lalu Eisner
bertanya: “Mengapa orang kalau dapat memilih, lebih memilih studi di Harvard
daripada di XYZ?” Tentunya bukan karena
EC nya orang memilih Harvard, karena EC nya tidak terlalu beda. Maka ada hal lain yang lebih menentukan
daripada EC.
Hal lain yang lebih menentukan, kata Eisner, adalah
kurikulum tersembunyi (HC). HC terlalu
penting untuk diabaikan karena jutru HC inilah yang memberikan pembedaan dan
keunikan satu sekolah dari yang lain. Nilai
yang lebih penting dari suatu institusi pendidikan formal terletak di HC, bukan
EC. Orang lebih memilih Harvard daripada
XYZ itu karena HC nya. Tetapi seringkali
justru HC inilah yang tidak dicermati lebih jauh. Di dalam kurnas HC ini absen. Padalah justru HC ini yang mempengaruhi
jalannya pendidikan formal secara keseluruhan.
Apa sajakah elemen-elemen HC? HC
meliputi hal-hal yang merupakan factor pembentukan kebiasaan dan budaya di
suatu sekolah. Salah
satu yang paling penting adalah guru.
Kualitas guru sangatlah menentukan HC.
Dan tentunya sangat
menentukan jalannya pendidikan formal di sekolah tersebut. Misal suatu SMA memiliki kriteria guru yaitu
bahwa semua yang memiliki gelar S-1 boleh menjadi guru di sana. Akan berbeda hasilnya jika SMA tersebut
memberi kriteria bahwa hanya yang memiliki ghelar S-2 ke atas yang boleh menjadi
guru di sana. Belum lagi kalau berbicara
kemampuan mengajar. Misal, kriteria guru
adalah bahwa guru bisa menyampaikan materi yang ada di buku teks. Akan berbeda hasil dan proses belajar
mengajarnya jika kriterianya adalah bahwa guru harus menguasai paling sedikit
empat metode mengajar dengan baik di dalam menyampaikan materi. Satu contoh lagi, kriteria guru adalah bahwa
guru dapat membagikan materi yang ada di kurikulum eksplisit sesuai dengan yang
dituliskan di dalam lesson plan. Akan
sangat berbeda hasilnya jika kriteria guru adalah bahwa guru adalah Master dari
setiap materi yang ada di lesson plan sesuai dengan mata pelajaran yang
dimaksud. Masih banyak lagi yang bisa
dicermati mengenai guru. Guru yang
seperti apa yang disediakan oleh sekolah memberikan pesan yang
tersembunyi. Tetapi
pesan yang tersembunyi itu berbicara dengan sangat kuatnya. Benarlah McLuhan bahwa “The Medium is the
Message.”
Asumsi
dasar filosofi pendidikan formal akan sangat menentukan pula bagaimana proses
belajar mengajar dijalankan. Salah satu
asumsi dasar yang paling penting adalah tanggungjawab sekolah dalam proses
belajar mengajar. Ada sekolah yang berasumsi bahwa sekolah
hanya bertanggungjawab menyediakan sarana belajar termasuk guru-guru yang siap
untuk mengajar (mengajar disini adalah menyampaikan materi saja). Soal belajar adalah tanggungjawab murid
sepenuhnya (dan orang tua tentunya ketika anak-anak masih belum dewasa). Proses belajar mengajar yang terjadi adalah
bahwa sekolah tidak bertanggungjawab atas keberhasilan murid menguasai apa yang
harus dipelajari. Karena soal belajar
adalah sepenuhnya tanggungjawab murid (dan orang tua). Sekolah hanya menyediakan ruang dan waktu plus
guru yang dapat berdiri di depan kelas untuk menyampaikan apa yang ada di buku
teks. Salah satu hal praktis yang
menjadi implikasinya adalah bahwa terjadi proses pengetesan calon murid dengan
sangat ketat dengan maksud untuk menyeleksi siapa yang dapat cocok masuk ke
sekolah atau tidak. Proses belajar
mengajar akan sangat berbeda jika asumsi dasarnya adalah bahwa sekolah
bertanggungjawab akan keberhasilan setiap murid belajar. Maka otomatis penyediaan sarana dan guru yang
adalah Master dari materi merupakan elemen yang harus ada. Disini sekolah mengambil porsi tanggungjawab
yang besar di dalam memikirkan dan mengerjakan belajar mengajar dengan sangat
serius sampai murid sungguh-sungguh berhasil dalam belajar yang seharusnya
dipelajari. Sehingga bukan hanya murid
(dan orang tua) yang bertanggungjawab dalam proses belajar, tetapi sekolah
juga. Waktu saya menjabat sebagai
Principal dari satu sekolah di Jawa Barat, saya mengambil asumsi ini, sehingga
sebagai sekolah semua jajaran guru mengambil tanggungjawab atas keberhasilan
setiap murid. Secara praktisnya kita
mengambil kebijaksanaan untuk menyediakan tutorial gratis di sekolah, di luar
jam sekolah, bagi semua murid yang belum menguasai materi, sampai semua murid
dapat menguasai setiap materi yang ada.
Hasilnya sangat luar biasa, yaitu secara umum gairah belajar meningkat
dan keberhasilan sangat tinggi. Salah
satu implikasi praktis dalam penerimaan murid adalah bahwa murid tidak ditolak
karena di dalam tes masuk dia dianggap gagal, sebab sekolah bertanggungjawab
untuk mendidik murid sampai dia bisa.
Setiap asumsi yang diambil membawa pesan. Pesan itu memberi impresi yang sangat dalam,
sebab “The Medium is the Message.”
Arsitektur
sekolah merupakan salah satu HC. S-1
saya adalah di bidang arsitektur. Dan
waktu menyelesaikan disertasi doctoral saya di bidang pendidikan, saya meneliti
secara khusus pengaruh arsitektur kepada proses belajar mengajar. Pada saat itu mendesain suatu gedung sekolah,
secara tidak sadar kita sudah memilih asumsi dan filosofi yang akhirnya
diekspresikan di dalam bentuk dan fungsi arsitekturnya. Winston Churchill mengatakan: “We shape our
buildings; thereafter they shape us” (Kita membentuk bangunan-bangunan kita,
setelah itu mereka membentuk kita).
Banyak gedung sekolah didirikan dengan cara berpikir bisnis. Yaitu hanya mengutamakan fungsi dan standar
minimum. Demi menghemat dana
sehemat-hematnya maka dibuatlah desain yang paling cepat dibangun. Paling gampang adalah bangunan yang dibangun
seperti bangunan di Chicago
setelah terbakar di tahun 1871 (terkenal dengan sebutan The Great Chicago
Fire). Kebakaran besar tersebut menyebabkan ribuan bangunan
hancur dan banyak orang meninggal dunia.
Perekonomian terhenti saat itu.
Maka karena sangat dibutuhkan dibangunnya kembali bangunan-bangunan
untuk bisa menjalankan lagi roda ekonomi, dibangunlah dengan cepat menggunakan
cara militer ketika membangun bangunan emergency dan temporary. Bangunan yang akhirnya berdiri adalah
bangunan yang berbentuk kotak, dan dapat dibagi-bagi menjadi ruang-ruang dengan
sangat efisien. Ada koridor yang
menghubungkan ruang-ruang yang ukurannya sama persis. Bangunan ini akhirnya membentuk siapapun yang
hidup di dalamnya. Pola berpikir praktis
dan efisien mendominasi. Keindahan,
konsep yang mendalam, makna dari setiap ornament dan bentuk menjadi
terabaikan. Demikian dengan banyak
sekolah di Indonesia yang banyak hanya didesain dengan tujuan praktis, efisien,
fungsional, dan murah. Maka bentuknya
adalah kotak, ada koridor, dan ruang kelas yang bentuknya masing-masing
sama. Pesan yang disampaikan secara
tidak sadar adalah bahwa keindahan tidak penting, kreatifitas tidak perlu
diutamakan, makna hanya yang sifatnya praktis saja, dan seterusnya.
Waktu William Fyfe mendesain Calvin College di Michigan,
dia menggunakan konsep Prairie School Architecture, sehingga alam menjadi integral
dengan bangunan sekolah. Fyfe adalah
murid dari Frank Lloyd Wright yang adalah arsitek kenamaan dari Amerika. Dari Wright inilah Fyfe belajar konsep
integrasi bangunan dengan alam. Dengan
konsep Prairie School Architecture, ratusan pohon di site Calvin College dijaga
dan tidak ditebang. Kontur di site
sekolah tidak dirubah. Justru bangunan
sekolah mengikuti kontur yang ada. Ada
bukit kecil, ada kolam kecil, ada daerah pepohonan yang dijaga ketat
keasliannya (Nature Preserve) dimana disana dapat ditemukan ekosistem yang
stabil. Bangunan sekolah didesain dengan
menggunakan bata yang diekspos, sebab bata merupakan elemen bangunan yang
dianggap sangat dekat dengan alam. Karena
bangunan bukanlah yang utama, maka bangunan tidak dibuat megah sampai mengalahkan
konteks alam di site tersebut. Dan pintu
masuk gedung tidak dibuat mentereng, tetapi justru diletakkan di
samping-samping untuk mengekspresikan kerendahan hati dari gedung. Kaca-kaca mendominasi bangunan yang ada
dengan maksud memasukkan alam ke dalam gedung, baik sinar matahari, maupun
pemandangan alamiah dari site tersebut. Jalan
setapak pun dibuat hanya setelah para penghuni college tersebut memilih jalan
yang alamiah mereka lewati sesuai dengan kontur alam. Maka terjadi dinamika yang sangat kreatif di
Calvin College. Ada banyak elemen yang
bisa saya bicarakan di sini, tetapi contoh ini cukup untuk kebutuhan artikel
ini (ada elemen warna, akustik, pencahayaan artifisial, bentuk, kesan ruang,
dan lain sebagainya). Maka desain
bangunan Calvin College memiliki makna yang sangat dalam sehingga mendorong
orang berpikir dengan tajam dan dalam, serta memiliki keindahan yang natural
sehingga mendorong orang menghargai alam ciptaan Tuhan plus merasakan benefit
yang luar biasa dari integrasi dengan alam.
Kreatifitas berpikir distimulasi dengan ingetrasi ini. Fyfe, setelah merampungkan masterplan dari
desain dia, menceritakan proses pendesainan.
Dia bilang bahwa waktu pertama kali dia menerima pekerjaan ini, dia
langsung otomatis berpikir untuk meratakan tanah dan membangun bangunan yang
megah seperti model sekolah klasik yang sangat menonjolkan kehebatan
manusia. Tetapi setelah datang di site
dan tinggal disana selama 2 minggu, dia berubah hati dan pikiran. Hasilnya sangatlah berbeda, yaitu suatu arsitektur
yang rendah hati, yang mengakui keagungan Tuhan, yang berintegrasi dengan alam,
yang sangat indah, dan yang mendukung ketajaman dan kreatifitas berpikir. Ada kurikulum tersembunyi di dalam
arsitektur. Maka ketika para anggota
yayasan sekolah berkumpul hendak memutuskan desain sekolah, hendaknya serius
memikirkan pesan apa yang hendak disampaikan melalui bangunan yang mau
didirikan dan falsafah apa yang akhirnya membentuk penghuni gedung
tersebut. Seperti yang
dikatakan Churchill: “We shape our buildings; thereafter they shape us.” Tepatlah yang dikatakan McLuhan: “The Medium
is the Message.”
Contoh
terakhir yang hendak saya angkat disini adalah atmosfir proses belajar
mengajar. Kebanyakan sekolah atau
mungkin hampir semua sekolah di Indonesia
mengadopsi atmosfir kompetisi. Penerapan
praktisnya dapat dilihat dengan jelas pada sistem ranking dan pemuliaan
murid-murid yang dianggap paling hebat. Asia sangatlah mendominasi penggunaan kompetisi di dalam
sekolah. Sehingga murid-murid dipacu
untuk berlomba-lomba memenangkan pertandingan belajar di sekolah. Kompetisi memakai konsep Rewards &
Punishment (R&P) klasik. Kompetisi memberikan R kepada pemenang dan P kepada yang
kalah. Di dalam kompetisi
hanya ada satu pemenang. Yang lain
adalah pecundang. Bahkan yang runner-up
pun bukanlah pemenang (champion). Karena
mata hanya tertuju kepada R maka semua usaha mati-matian hanya untuk mencapai
R. Etika boleh dilewati asalkan
mendapatkan R. P harus dihindari dengan
segala cara. Maka di Jepang dan Korea Selatan sangatlah mengecewakan
jika tidak mendapatkan hasil nomor 1. Banyak
anak muda di sana bunuh diri hanya karena tidak berhasil menjadi champion. Indonesia banyak meniru model sekolah di
Singapura. Perlu diketahui bahwa model
sekolah di Singapura menggunakan model yang sudah ribuan tahun dipakai di
wilayah Asia, khususnya di dataran Cina.
Yaitu bahwa hanya satu yang dapat menjadi yang terbaik. Ketika Raja membutuhkan Perdana Mentri atau
Gubernur, maka diadakanlah kompetisi secara nasional. Dari tiap provinsi hanya satu orang boleh
mewakili. Dari semua wakil daerah, hanya
satu yang terbaik yang dapat menang. Sisanya
yang lain akan selamanya dikenal sebagai yang kalah. Kompetisi dapat memunculkan yang terburuk
dari diri manusia. Di dalam pengadopsian
kompetisi menjadi budaya sekolah, tersimpanlah kurikulum tersembunyi di
dalamnya, yang beriring dengan waktu akan membentuk setiap orang yang terlibat
di dalamnya. Akhirnya setelah lulus dan
menjadi yang terbaik, orang tersebut tidak dapat bekerja sama dengan orang
lain. Sebab seluruh training dia adalah
untuk mengalahkan orang lain. Ada pesan
yang dibawa oleh atmosfir ini, dan pesan ini tidak dapat dengan gampang
diabaikan, melainkan justru menjadi terinternalisasi di dalam diri murid. “The Medium is the
Message.” Bayangkan jika atmosfirnya
diganti oleh kolaborasi, bagaimanakah kira-kira hasilnya? Kurnas menyinggung sedikit mengenai atmosfir
kolaboratif ini, tetapi sayang tidak menjelaskan lebih jauh baik secara konsep
maupun secara praktis. Bahkan secara
praktis sebetulnya masih mengikuti model sistem yang lama sehingga terjadi
ketidakkonsistenan di dalam anjuran dengan praktek. Inipun akan membawa pesan tersendiri.
Jenis
terakhir dari kurikulum adalah Null Curriculum (NC). NC ini secara sederhananya adalah kurikulum
yang tidak diajarkan. Orang mungkin bingung dan bertanya-tanya, jika tidak
diajarkan mengapa dibicarakan? Jawabnya
adalah karena manusia itu terbatas.
Keterbatasan manusia ini menyebabkan manusia harus memilih. Keterbatasan yang paling utama dalam hal ini
adalah keterbatasan waktu. Manusia harus
hidup selamanya jika hendak mempelajari semua hal yang ada di alam semesta
ini. Bahkan hanya untuk mempelajari satu
jalur program saja manusia tidak bisa tuntas mempelajari semuanya. Ilmu itu seakan tidak ada habisnya. Selalu saja ditemukan pengetahuan dan
pengertian yang baru. Teori fisika
Newton mengalami tantangan ketika Einstein menelorkan teori relativitas
khususnya. Teori fisika konvensional
tentang ruang dan waktu pun akhirnya mengalami tantangan yang besar sekali
ketika muncul teori quantum. Maka
manusia dengan waktu yang dimiliki yang sangat terbatas ini haruslah
memilih. Tidak mungkin mempelajari
semuanya. Berarti harus ada yang dipilih
secara sengaja untuk tidak diajarkan. Ketika
seorang desainer kurikulum eksplisit memilih mata pelajaran tertentu saja yang
dimasukkan ke dalam set programnya maka disitulah dia secara sadar atau tidak
sadar sudah memilih untuk tidak memasukkan mata pelajaran yang lain yang tidak
masuk seleksi. Contoh, di dalam kategori
pelajaran bahasa, dengan slot waktu yang sudah ditentukan – 8 jam setiap minggu
misalnya, bahasa apakah yang hendak dipilih?
Bahasa Inggriskah? Bahasa
Indonesiakah? Bahasa Mandarinkah? Atau ketiga-tiganya? Atau hanya dua yang dipilih? Atau hanya satu? Sedangkan di dunia ada sekitar 6500
bahasa. Ketika memilih tiga-tiganya,
bagaimanakah alokasi waktunya? Ini
adalah masalah yang lain lagi. Pemilihan
itu, intinya, tidak terelakkan. Yang
penting adalah rasional dari pemilihan tersebut. Ini pemilihan level pertama.
Pada
level kedua adalah, misal memilih bahasa Inggris untuk diberikan waktu 4 jam
pelajaran seminggu. Elemen bahasa Inggris mana sajakah yang akan dimasukkan
di dalam program dan manakah yang tidak?
Inipun nantinya akan berinteraksi langsung dengan guru bahasa Inggris
seperti apa yang dipilih? Apakah akan
memilih guru bahasa Inggris yang adalah orang yang memiliki bahasa ibu bahasa
inggris yang adalah memang guru bahasa Inggris?
Atau memilih orang yang punya gelar sastra inggris walaupun bukan orang
yang berbahasa ibu bahasa Inggris? Semua
pilihan ada implikasinya. Di Indonesia
yang seringkali diajarkan di sekolah level SD-SMA adalah bahasa Inggris yang
tidak sampai pada level literatur. Yang
paling banyak dipelajari adalah grammar.
Bahkan conversation pun sangat minim sekali diajarkan. Ini juga adalah Null Curriculum. Konsekuensi dari pemilihan itu tidak dapat
dimanipulasi. Jika
menghilangkan conversation, misalnya, maka secara umum sekolah menyampaikan
pesan bahwa conversation tidak penting.
Lulus dari sekolah tersebut, konsekuensinya, murid secara umum tidak
mampu untuk melakukan conversation yang baik dalam bahasa Inggris. Kecuali para murid (atau orang tua) merasa
pentingnya conversation dan mereka mencari sendiri les privat untuk mengasah
bagian tersebut. Ini hanya contoh saja.
Dan bayangkan ada berapa banyak elemen-elemen yang tidak diajarkan? Maka ketika tidak diajarkan, otomatis
konsekuensinya adalah di dalam kelulusan pengetahuan dan ketrampilan tersebut
boleh dianggap tidak ada atau tidak dikuasai.
Adalah keliru jika menuntut suatu pengetahuan harus ada padahal masuk
dalam NC. Jika hendak mengikuti standar
dunia sesuai dengan perkembangan dunia, seperti yang disebutkan kurnas tentang
WTA dan lain-lain, maka kurnas seharusnya lebih memperhatikan NC ini. Menurut hemat saya, jika tujuannya adalah
menggapai dunia, atau status sebagai kelas dunia, maka perlu sekali dipilih
bahasa komunikasi global yaitu bahasa Inggris menjadi salah satu mata pelajaran
utama yang diberi porsi cukup besar. Barulah
dengan demikian cocok dengan yang dimaksudkan di kurnas 2013. Singapura menyadari hal ini dan menjadikan
bahasa Inggris menjadi bahasa Nasional bahkan.
Maka Singapura sungguh-sungguh mencapai tujuan pendidikannya yang
diintegrasikan dengan tujuan negaranya. Jika
di dalam pendesainan EC justru porsi bahasa Inggris ini diperkecil di dalam
kurnas, maka otomatis apa yang disampaikan mengenai maksud mencapai kelas dunia
hanyalah impian kosong belaka. Ini baru
satu mata pelajaran, kita belum berbicara mata pelajaran yang lain, dan tidak
sampai kepada detilnya. Pesan apakah
yang akhirnya disampaikan disini akan mengikuti pilihan NC baik secara sadar
atau tidak. Eisner mengingatkan bahwa
jauh lebih baik jika NC dipilih dalam kesadaran, sehingga dapat dievaluasi
untuk perbaikan di waktu berikutnya.
The
Medium is the Message, demikian kata McLuhan, dan maxim dia ini bersifat
hakiki. Pendesainan kurikulum nasional,
mulai dari level filosofis, penggunaan istilah, sampai pada pengambilan
keputusan untuk tiga jenis kurikulum yang ada, membawa pesan tertentu. Pesan yang disampaikan oleh kurnas perlu
dievaluasi lebih jauh. Dan menurut hemat
saya perlu untuk dikoreksi. Di artikel
ini saya hanya mencermati penggunaan istilah kurikulum, dan sekian banyak
koreksi sudah harus dilakukan. Jika
memang kita hendak mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan pendidikan bangsa
secara keseluruhan, dan pada akhirnya membawa bangsa Indonesia kepada level dunia, kita
tidak boleh mengerjakan hal ini dengan setengah-setengah. Semua lini harus dijaga ketat. Pengertian yang benar harus dituntaskan. Para ahli
dalam wilayah pendidikan harus dicari dan diajak berkolaborasi untuk
membereskan keruwetan pendidikan nasional.
Kita semua sudah tahu, publik dan para ahli pendidikan di bumi pertiwi sudah berbicara berulang kali akan kecarut-marutan
pendidikan nasional, dan khususnya kurikulum nasional. Perlu segera diperbaiki. Tidak boleh ditunda lagi. Sudah tertunda terlalu lama.
Ditulis
oleh:
Ferry
Yang, PhD
CEO & Founder Yang Academy
No comments:
Post a Comment