Monday, January 9, 2017

Kritik Terhadap Kurikulum Nasional: Memahami Kurikulum



The Medium is the Message.”
(Medianya adalah Pesannya)
Marshall McLuhan

Pengertian umum adalah dibedakan antara media/metode dengan isi/konten.  Bagaimana cara pesan disampaikan dipisahkan dengan isi pesan itu sendiri.  Tetapi Marshall McLuhan menyampaikan kalimat kritis di era postmodern ini untuk membuka mata kita semua, yaitu bahwa media/metode/cara itu pada dirinya sendiri mengandung isi pesan.  Di dalam menyampaikan isi pesan dengan media tertentu membawa pesan yang tidak terbatas hanya pada isi pesan itu saja.  Bungkus dari isi pun menyampaikan sesuatu.  Jika kita mau membeli barang, kita secara tidak sadar juga memperhatikan bungkus dari barang tersebut.  Maka ada pepatah mengatakan: “Don’t judge the book by its cover” (Jangan menilai buku dari sampulnya).  Tetapi malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih, kita selalu menilai buku dari sampulnya.  Itu sebab ada orang-orang yang dibayar secara khusus dengan honor yang tinggi untuk membuat sampul/bungkus/kemasan dari suatu produk.  Pandangan pertama manusia sangat dipengaruhi oleh keindahan kemasan.  Karena melalui kemasan pikiran dan imajinasi kita mengasumsikan bahwa isi di dalam kemasan tersebut seindah kemasannya.  Maka misal kita membeli sebuah tas jinjing.  Lalu dimasukkan kedalam bungkusnya, yang satu adalah tas belanja dengan simbol SOGO department store, yang lain tas yang sama dimasukkan ke dalam tas belanja yang adalah tas plastik/kresek biasa.  Manakah tas yang dianggap bagus kualitasnya dan otentik?  Mungkin 99% orang akan memilih tas yang ada di dalam tas belanja SOGO.  Ini karena medianya adalah pesannya.


Demikian rumus ini juga berlaku di arena pendidikan.  Dan yang secara khusus kita akan bicarakan sekarang adalah arena pendidikan formal yang mana di dalamnya seringkali digunakan istilah kurikulum.  Pendidikan, yang sebetulnya dalam hal ini adalah pendidikan formal, yaitu sekolah atau universitas, sangat erat kaitannya dengan yang namanya kurikulum.  Banyak sekali orang sudah bisa dikatakan tahu atau paling tidak bisa mengidentifikasi makanan apakah kurikulum itu.  Ketika berita memuat bahwa pemerintah memutuskan mengganti kurikulum nasional, pikiran pembaca atau pendengar langsung melayang ke objek yang satu itu yang dinamakan kurikulum.  Imajinasi akan susunan mata pelajaran, beserta besaran kreditnya, serta pengaturannya seiring dengan jenjang pendidikan formalnya, langsung menyodorkan diri di otak kita yang memproyeksikannya sebagai barang yang disebut kurikulum.  Dari tahun ke tahun inilah pengertian kurikulum.  Dan dari dekade ke dekade kurikulum yang ada di imajinasi ini dianggap sebagai jantungnya pendidikan, maka tidaklah susah ditebak ketika kurikulum akhirnya diidentikkan dengan pendidikan itu sendiri.  Dengan demikian terjadilah reduksi besar-besaran dalam pemahaman pendidikan dan kurikulum.  Pemahaman yang terlalu sederhana dan terreduksi ini tidak membantu masyarakat untuk lebih cerdas dan cermat dalam mengerti tentang satu faktor besar di dalam kehidupan sosial manusia, pendidikan.  Melainkan, seiring dengan waktu dan pembentukan perspektif, masyarakat makin salah di dalam pemahamannya akan pendidikan dan kurikulum.

Pendidikan, seperti saya sudah pernah singgung di tulisan saya yang lain, ada tiga bentuk.  Pendidikan informal adalah pendidikan keluarga dan kehidupan khususnya di masyarakat riil, pendidikan non-formal yang adalah pendidikan seperti pendidikan formal tetapi minus kekuatan credential seperti misalnya les renang atau musik, dan pendidikan formal yang adalah pengorganisasian proses belajar mengajar secara sistematis dengan jenjang-jenjang yang ditentukan oleh berbagai filsafat pendidikan yang dianut dimana bentuk pendidikan ini menemukan ekspresinya melalui sekolah dan universitas.  Maka adalah keliru besar jika hanya mengidentikkan pendidikan formal dengan pendidikan.  Sebab pendidikan formal hanyalah satu bagian saja dari arena pendidikan.  Pemerintah Indonesia ketika menggunakan istilah pendidikan di dalam instansi-instansinya sebenarnya hanya merujuk kepada pendidikan formal, yaitu sekolah.  Sedangkan dua bagian pendidikan lain yang besar justru tidak tersentuh oleh departemen pendidikan Indonesia.  Saya tidak akan bahas hal ini terlalu jauh lagi di artikel ini, tetapi akan bergerak maju membahas juga satu istilah yang seringkali dipahami secara parsial dan keliru, yaitu kurikulum.

Kali ini saya hanya akan membahas satu aspek dari kurikulum, yaitu jenis kurikulum.  Yang disebut sebagai kurikulum sebenarnya dibedakan menjadi tiga macam.  Yang pertama adalah kurikulum eksplisit (Explicit Curriculum = EC), yang kedua adalah kurikulum implisit atau kurikulum tersembunyi (Implicit Curriculum = IC or Hidden Curriculum = HC), dan yang terakhir adalah kurikulum ketiadaan atau kurikulum yang tidak diajarkan (Null Curriculum = NC).  Kurikulum explisit (EC) adalah kurikulum yang kelihatan dengan jelas secara eksplisit.  Ini adalah jenis kurikulum yang paling banyak diketahui oleh orang banyak.  Ketika mencari sekolah untuk anak dan bertanya tentang kurikulumnya maka pihak sekolah akan menyodorkan kurikulum explisit ini dalam diagram yang menarik.  Atau pada saat presentasi open house atau pameran pendidikan, pihak sekolah biasanya membuat katalog dan brosur yang menunjukkan kerangka kurikulum eksplisit ini kepada para orang tua dan calon murid.  Para orang tua dan murid ramai membicarakan EC ini satu sama lain dengan membandingkannya antara sekolah yang satu dengan sekolah yang lain.  Ada yang tertarik ke satu sekolah A karena sekolah A menawarkan pelajaran bahasa mandarin misalnya sementara sekolah lain tidak, atau porsinya kurang.  Atau orang tua tertarik dengan sekolah B karena sekolah B menggunakan kerangka kurikulum eksplisit International Baccalaurate atau yang dikenal dengan IB, atau sekolah C yang menggunakan kurikulum eksplisit Cambridge, dan lain sebagainya.  Porsi penjelasan mengenai EC ini cukup besar sekali sebab di imajinasi para orang tua dan murid adalah kejelasan mata pelajaran yang ditawarkan, berapa kredit yang didapat, berapakah nilai standar kelulusan, pembagian kategori ilmu yang dianggap dapat menghantarkan murid kepada kesuksesan baik di akademik maupun di pencarian pekerjaan nantinya.  Karena porsi yang besar pembahasannya maka diskusi biasanya berputar di level EC ini.  Sehingga tidak heran EC ini akhirnya disaturasikan dengan kurikulum secara keseluruhan.  Maka kata kurikulum akhirnya diidentikkan dengan kurikulum eksplisit (EC).  Kurikulum Nasional pun menggunakan istilah kurikulum tanpa diberi embel-embel eksplisit, padahal yang dimaksud sebenarnya hanyalah EC.  Reduksi ini berbahaya sebetulnya karena akhirnya dua kurikulum jenis lain yang justru sangatlah penting keberadaannya menjadi terabaikan.  Fokus pelaksana sekolah dan para orang tua serta murid hanya kepada EC yang dianggap sudah sebagai segala-galanya di dalam pendidikan (formal).  Sehingga ketika sekolah menyodorkan EC ini dan orang tua serta murid memilih sekolah berdasarkan EC, dianggap bahwa pilihannya sudah didasarkan kepada informasi yang tuntas.  Padahal EC hanya sepertiga dari keseluruhan kurikulum yang sesungguhnya.  Seorang ahli pendidikan dari Stanford University di Amerika yang bernama Elliot Eisner mengatakan di bukunya Educational Imagination bahwa EC pada dasarnya adalah sama dari satu sekolah ke sekolah yang lain.  Jika ada perbedaan maka bukanlah perbedaan yang terlalu besar.  Dia memberi contoh bahwa studi di Harvard University misalnya dibandingkan dengan studi di XYZ College (bukan nama universitas sebenarnya – hanya contoh saja) untuk jurusan mesin pada level EC nya ditawarkan sama.  Mata kuliah yang ditawarkan kurang lebih sama, jumlah kredit juga kurang lebih sama.  Maka secara EC sebetulnya tidak terlalu berbeda.  Lalu Eisner bertanya: “Mengapa orang kalau dapat memilih, lebih memilih studi di Harvard daripada di XYZ?”  Tentunya bukan karena EC nya orang memilih Harvard, karena EC nya tidak terlalu beda.  Maka ada hal lain yang lebih menentukan daripada EC.

Hal lain yang lebih menentukan, kata Eisner, adalah kurikulum tersembunyi (HC).  HC terlalu penting untuk diabaikan karena jutru HC inilah yang memberikan pembedaan dan keunikan satu sekolah dari yang lain.  Nilai yang lebih penting dari suatu institusi pendidikan formal terletak di HC, bukan EC.  Orang lebih memilih Harvard daripada XYZ itu karena HC nya.  Tetapi seringkali justru HC inilah yang tidak dicermati lebih jauh.  Di dalam kurnas HC ini absen.  Padalah justru HC ini yang mempengaruhi jalannya pendidikan formal secara keseluruhan.  Apa sajakah elemen-elemen HC?  HC meliputi hal-hal yang merupakan factor pembentukan kebiasaan dan budaya di suatu sekolah.  Salah satu yang paling penting adalah guru.  Kualitas guru sangatlah menentukan HC.  Dan tentunya sangat menentukan jalannya pendidikan formal di sekolah tersebut.  Misal suatu SMA memiliki kriteria guru yaitu bahwa semua yang memiliki gelar S-1 boleh menjadi guru di sana.  Akan berbeda hasilnya jika SMA tersebut memberi kriteria bahwa hanya yang memiliki ghelar S-2 ke atas yang boleh menjadi guru di sana.  Belum lagi kalau berbicara kemampuan mengajar.  Misal, kriteria guru adalah bahwa guru bisa menyampaikan materi yang ada di buku teks.  Akan berbeda hasil dan proses belajar mengajarnya jika kriterianya adalah bahwa guru harus menguasai paling sedikit empat metode mengajar dengan baik di dalam menyampaikan materi.  Satu contoh lagi, kriteria guru adalah bahwa guru dapat membagikan materi yang ada di kurikulum eksplisit sesuai dengan yang dituliskan di dalam lesson plan.  Akan sangat berbeda hasilnya jika kriteria guru adalah bahwa guru adalah Master dari setiap materi yang ada di lesson plan sesuai dengan mata pelajaran yang dimaksud.  Masih banyak lagi yang bisa dicermati mengenai guru.  Guru yang seperti apa yang disediakan oleh sekolah memberikan pesan yang tersembunyi.  Tetapi pesan yang tersembunyi itu berbicara dengan sangat kuatnya.  Benarlah McLuhan bahwa “The Medium is the Message.”

Asumsi dasar filosofi pendidikan formal akan sangat menentukan pula bagaimana proses belajar mengajar dijalankan.  Salah satu asumsi dasar yang paling penting adalah tanggungjawab sekolah dalam proses belajar mengajar.  Ada sekolah yang berasumsi bahwa sekolah hanya bertanggungjawab menyediakan sarana belajar termasuk guru-guru yang siap untuk mengajar (mengajar disini adalah menyampaikan materi saja).  Soal belajar adalah tanggungjawab murid sepenuhnya (dan orang tua tentunya ketika anak-anak masih belum dewasa).  Proses belajar mengajar yang terjadi adalah bahwa sekolah tidak bertanggungjawab atas keberhasilan murid menguasai apa yang harus dipelajari.  Karena soal belajar adalah sepenuhnya tanggungjawab murid (dan orang tua).  Sekolah hanya menyediakan ruang dan waktu plus guru yang dapat berdiri di depan kelas untuk menyampaikan apa yang ada di buku teks.  Salah satu hal praktis yang menjadi implikasinya adalah bahwa terjadi proses pengetesan calon murid dengan sangat ketat dengan maksud untuk menyeleksi siapa yang dapat cocok masuk ke sekolah atau tidak.  Proses belajar mengajar akan sangat berbeda jika asumsi dasarnya adalah bahwa sekolah bertanggungjawab akan keberhasilan setiap murid belajar.  Maka otomatis penyediaan sarana dan guru yang adalah Master dari materi merupakan elemen yang harus ada.  Disini sekolah mengambil porsi tanggungjawab yang besar di dalam memikirkan dan mengerjakan belajar mengajar dengan sangat serius sampai murid sungguh-sungguh berhasil dalam belajar yang seharusnya dipelajari.  Sehingga bukan hanya murid (dan orang tua) yang bertanggungjawab dalam proses belajar, tetapi sekolah juga.  Waktu saya menjabat sebagai Principal dari satu sekolah di Jawa Barat, saya mengambil asumsi ini, sehingga sebagai sekolah semua jajaran guru mengambil tanggungjawab atas keberhasilan setiap murid.  Secara praktisnya kita mengambil kebijaksanaan untuk menyediakan tutorial gratis di sekolah, di luar jam sekolah, bagi semua murid yang belum menguasai materi, sampai semua murid dapat menguasai setiap materi yang ada.  Hasilnya sangat luar biasa, yaitu secara umum gairah belajar meningkat dan keberhasilan sangat tinggi.  Salah satu implikasi praktis dalam penerimaan murid adalah bahwa murid tidak ditolak karena di dalam tes masuk dia dianggap gagal, sebab sekolah bertanggungjawab untuk mendidik murid sampai dia bisa.  Setiap asumsi yang diambil membawa pesan.  Pesan itu memberi impresi yang sangat dalam, sebab “The Medium is the Message.”

Arsitektur sekolah merupakan salah satu HC.  S-1 saya adalah di bidang arsitektur.  Dan waktu menyelesaikan disertasi doctoral saya di bidang pendidikan, saya meneliti secara khusus pengaruh arsitektur kepada proses belajar mengajar.  Pada saat itu mendesain suatu gedung sekolah, secara tidak sadar kita sudah memilih asumsi dan filosofi yang akhirnya diekspresikan di dalam bentuk dan fungsi arsitekturnya.  Winston Churchill mengatakan: “We shape our buildings; thereafter they shape us” (Kita membentuk bangunan-bangunan kita, setelah itu mereka membentuk kita).  Banyak gedung sekolah didirikan dengan cara berpikir bisnis.  Yaitu hanya mengutamakan fungsi dan standar minimum.  Demi menghemat dana sehemat-hematnya maka dibuatlah desain yang paling cepat dibangun.  Paling gampang adalah bangunan yang dibangun seperti bangunan di Chicago setelah terbakar di tahun 1871 (terkenal dengan sebutan The Great Chicago Fire).  Kebakaran besar tersebut menyebabkan ribuan bangunan hancur dan banyak orang meninggal dunia.  Perekonomian terhenti saat itu.  Maka karena sangat dibutuhkan dibangunnya kembali bangunan-bangunan untuk bisa menjalankan lagi roda ekonomi, dibangunlah dengan cepat menggunakan cara militer ketika membangun bangunan emergency dan temporary.  Bangunan yang akhirnya berdiri adalah bangunan yang berbentuk kotak, dan dapat dibagi-bagi menjadi ruang-ruang dengan sangat efisien.  Ada koridor yang menghubungkan ruang-ruang yang ukurannya sama persis.  Bangunan ini akhirnya membentuk siapapun yang hidup di dalamnya.  Pola berpikir praktis dan efisien mendominasi.  Keindahan, konsep yang mendalam, makna dari setiap ornament dan bentuk menjadi terabaikan.  Demikian dengan banyak sekolah di Indonesia yang banyak hanya didesain dengan tujuan praktis, efisien, fungsional, dan murah.  Maka bentuknya adalah kotak, ada koridor, dan ruang kelas yang bentuknya masing-masing sama.  Pesan yang disampaikan secara tidak sadar adalah bahwa keindahan tidak penting, kreatifitas tidak perlu diutamakan, makna hanya yang sifatnya praktis saja, dan seterusnya.

Waktu William Fyfe mendesain Calvin College di Michigan, dia menggunakan konsep Prairie School Architecture, sehingga alam menjadi integral dengan bangunan sekolah.  Fyfe adalah murid dari Frank Lloyd Wright yang adalah arsitek kenamaan dari Amerika.  Dari Wright inilah Fyfe belajar konsep integrasi bangunan dengan alam.  Dengan konsep Prairie School Architecture, ratusan pohon di site Calvin College dijaga dan tidak ditebang.  Kontur di site sekolah tidak dirubah.  Justru bangunan sekolah mengikuti kontur yang ada.  Ada bukit kecil, ada kolam kecil, ada daerah pepohonan yang dijaga ketat keasliannya (Nature Preserve) dimana disana dapat ditemukan ekosistem yang stabil.  Bangunan sekolah didesain dengan menggunakan bata yang diekspos, sebab bata merupakan elemen bangunan yang dianggap sangat dekat dengan alam.  Karena bangunan bukanlah yang utama, maka bangunan tidak dibuat megah sampai mengalahkan konteks alam di site tersebut.  Dan pintu masuk gedung tidak dibuat mentereng, tetapi justru diletakkan di samping-samping untuk mengekspresikan kerendahan hati dari gedung.  Kaca-kaca mendominasi bangunan yang ada dengan maksud memasukkan alam ke dalam gedung, baik sinar matahari, maupun pemandangan alamiah dari site tersebut.  Jalan setapak pun dibuat hanya setelah para penghuni college tersebut memilih jalan yang alamiah mereka lewati sesuai dengan kontur alam.  Maka terjadi dinamika yang sangat kreatif di Calvin College.  Ada banyak elemen yang bisa saya bicarakan di sini, tetapi contoh ini cukup untuk kebutuhan artikel ini (ada elemen warna, akustik, pencahayaan artifisial, bentuk, kesan ruang, dan lain sebagainya).  Maka desain bangunan Calvin College memiliki makna yang sangat dalam sehingga mendorong orang berpikir dengan tajam dan dalam, serta memiliki keindahan yang natural sehingga mendorong orang menghargai alam ciptaan Tuhan plus merasakan benefit yang luar biasa dari integrasi dengan alam.  Kreatifitas berpikir distimulasi dengan ingetrasi ini.  Fyfe, setelah merampungkan masterplan dari desain dia, menceritakan proses pendesainan.  Dia bilang bahwa waktu pertama kali dia menerima pekerjaan ini, dia langsung otomatis berpikir untuk meratakan tanah dan membangun bangunan yang megah seperti model sekolah klasik yang sangat menonjolkan kehebatan manusia.  Tetapi setelah datang di site dan tinggal disana selama 2 minggu, dia berubah hati dan pikiran.  Hasilnya sangatlah berbeda, yaitu suatu arsitektur yang rendah hati, yang mengakui keagungan Tuhan, yang berintegrasi dengan alam, yang sangat indah, dan yang mendukung ketajaman dan kreatifitas berpikir.  Ada kurikulum tersembunyi di dalam arsitektur.  Maka ketika para anggota yayasan sekolah berkumpul hendak memutuskan desain sekolah, hendaknya serius memikirkan pesan apa yang hendak disampaikan melalui bangunan yang mau didirikan dan falsafah apa yang akhirnya membentuk penghuni gedung tersebut.  Seperti yang dikatakan Churchill: “We shape our buildings; thereafter they shape us.”  Tepatlah yang dikatakan McLuhan: “The Medium is the Message.”

Contoh terakhir yang hendak saya angkat disini adalah atmosfir proses belajar mengajar.  Kebanyakan sekolah atau mungkin hampir semua sekolah di Indonesia mengadopsi atmosfir kompetisi.  Penerapan praktisnya dapat dilihat dengan jelas pada sistem ranking dan pemuliaan murid-murid yang dianggap paling hebat.  Asia sangatlah mendominasi penggunaan kompetisi di dalam sekolah.  Sehingga murid-murid dipacu untuk berlomba-lomba memenangkan pertandingan belajar di sekolah.  Kompetisi memakai konsep Rewards & Punishment (R&P) klasik.  Kompetisi memberikan R kepada pemenang dan P kepada yang kalah.  Di dalam kompetisi hanya ada satu pemenang.  Yang lain adalah pecundang.  Bahkan yang runner-up pun bukanlah pemenang (champion).  Karena mata hanya tertuju kepada R maka semua usaha mati-matian hanya untuk mencapai R.  Etika boleh dilewati asalkan mendapatkan R.  P harus dihindari dengan segala cara.  Maka di Jepang dan Korea Selatan sangatlah mengecewakan jika tidak mendapatkan hasil nomor 1.  Banyak anak muda di sana bunuh diri hanya karena tidak berhasil menjadi champion.  Indonesia banyak meniru model sekolah di Singapura.  Perlu diketahui bahwa model sekolah di Singapura menggunakan model yang sudah ribuan tahun dipakai di wilayah Asia, khususnya di dataran Cina.  Yaitu bahwa hanya satu yang dapat menjadi yang terbaik.  Ketika Raja membutuhkan Perdana Mentri atau Gubernur, maka diadakanlah kompetisi secara nasional.  Dari tiap provinsi hanya satu orang boleh mewakili.  Dari semua wakil daerah, hanya satu yang terbaik yang dapat menang.  Sisanya yang lain akan selamanya dikenal sebagai yang kalah.  Kompetisi dapat memunculkan yang terburuk dari diri manusia.  Di dalam pengadopsian kompetisi menjadi budaya sekolah, tersimpanlah kurikulum tersembunyi di dalamnya, yang beriring dengan waktu akan membentuk setiap orang yang terlibat di dalamnya.  Akhirnya setelah lulus dan menjadi yang terbaik, orang tersebut tidak dapat bekerja sama dengan orang lain.  Sebab seluruh training dia adalah untuk mengalahkan orang lain.  Ada pesan yang dibawa oleh atmosfir ini, dan pesan ini tidak dapat dengan gampang diabaikan, melainkan justru menjadi terinternalisasi di dalam diri murid.  “The Medium is the Message.”  Bayangkan jika atmosfirnya diganti oleh kolaborasi, bagaimanakah kira-kira hasilnya?  Kurnas menyinggung sedikit mengenai atmosfir kolaboratif ini, tetapi sayang tidak menjelaskan lebih jauh baik secara konsep maupun secara praktis.  Bahkan secara praktis sebetulnya masih mengikuti model sistem yang lama sehingga terjadi ketidakkonsistenan di dalam anjuran dengan praktek.  Inipun akan membawa pesan tersendiri.

Jenis terakhir dari kurikulum adalah Null Curriculum (NC).  NC ini secara sederhananya adalah kurikulum yang tidak diajarkan.  Orang mungkin bingung dan bertanya-tanya, jika tidak diajarkan mengapa dibicarakan?  Jawabnya adalah karena manusia itu terbatas.  Keterbatasan manusia ini menyebabkan manusia harus memilih.  Keterbatasan yang paling utama dalam hal ini adalah keterbatasan waktu.  Manusia harus hidup selamanya jika hendak mempelajari semua hal yang ada di alam semesta ini.  Bahkan hanya untuk mempelajari satu jalur program saja manusia tidak bisa tuntas mempelajari semuanya.  Ilmu itu seakan tidak ada habisnya.  Selalu saja ditemukan pengetahuan dan pengertian yang baru.  Teori fisika Newton mengalami tantangan ketika Einstein menelorkan teori relativitas khususnya.  Teori fisika konvensional tentang ruang dan waktu pun akhirnya mengalami tantangan yang besar sekali ketika muncul teori quantum.  Maka manusia dengan waktu yang dimiliki yang sangat terbatas ini haruslah memilih.  Tidak mungkin mempelajari semuanya.  Berarti harus ada yang dipilih secara sengaja untuk tidak diajarkan.  Ketika seorang desainer kurikulum eksplisit memilih mata pelajaran tertentu saja yang dimasukkan ke dalam set programnya maka disitulah dia secara sadar atau tidak sadar sudah memilih untuk tidak memasukkan mata pelajaran yang lain yang tidak masuk seleksi.  Contoh, di dalam kategori pelajaran bahasa, dengan slot waktu yang sudah ditentukan – 8 jam setiap minggu misalnya, bahasa apakah yang hendak dipilih?  Bahasa Inggriskah?  Bahasa Indonesiakah?  Bahasa Mandarinkah?  Atau ketiga-tiganya?  Atau hanya dua yang dipilih?  Atau hanya satu?  Sedangkan di dunia ada sekitar 6500 bahasa.  Ketika memilih tiga-tiganya, bagaimanakah alokasi waktunya?  Ini adalah masalah yang lain lagi.  Pemilihan itu, intinya, tidak terelakkan.  Yang penting adalah rasional dari pemilihan tersebut.  Ini pemilihan level pertama.

Pada level kedua adalah, misal memilih bahasa Inggris untuk diberikan waktu 4 jam pelajaran seminggu.  Elemen bahasa Inggris mana sajakah yang akan dimasukkan di dalam program dan manakah yang tidak?  Inipun nantinya akan berinteraksi langsung dengan guru bahasa Inggris seperti apa yang dipilih?  Apakah akan memilih guru bahasa Inggris yang adalah orang yang memiliki bahasa ibu bahasa inggris yang adalah memang guru bahasa Inggris?  Atau memilih orang yang punya gelar sastra inggris walaupun bukan orang yang berbahasa ibu bahasa Inggris?  Semua pilihan ada implikasinya.  Di Indonesia yang seringkali diajarkan di sekolah level SD-SMA adalah bahasa Inggris yang tidak sampai pada level literatur.  Yang paling banyak dipelajari adalah grammar.  Bahkan conversation pun sangat minim sekali diajarkan.  Ini juga adalah Null Curriculum.  Konsekuensi dari pemilihan itu tidak dapat dimanipulasi.  Jika menghilangkan conversation, misalnya, maka secara umum sekolah menyampaikan pesan bahwa conversation tidak penting.  Lulus dari sekolah tersebut, konsekuensinya, murid secara umum tidak mampu untuk melakukan conversation yang baik dalam bahasa Inggris.  Kecuali para murid (atau orang tua) merasa pentingnya conversation dan mereka mencari sendiri les privat untuk mengasah bagian tersebut.  Ini hanya contoh saja.  Dan bayangkan ada berapa banyak elemen-elemen yang tidak diajarkan?  Maka ketika tidak diajarkan, otomatis konsekuensinya adalah di dalam kelulusan pengetahuan dan ketrampilan tersebut boleh dianggap tidak ada atau tidak dikuasai.  Adalah keliru jika menuntut suatu pengetahuan harus ada padahal masuk dalam NC.  Jika hendak mengikuti standar dunia sesuai dengan perkembangan dunia, seperti yang disebutkan kurnas tentang WTA dan lain-lain, maka kurnas seharusnya lebih memperhatikan NC ini.  Menurut hemat saya, jika tujuannya adalah menggapai dunia, atau status sebagai kelas dunia, maka perlu sekali dipilih bahasa komunikasi global yaitu bahasa Inggris menjadi salah satu mata pelajaran utama yang diberi porsi cukup besar.  Barulah dengan demikian cocok dengan yang dimaksudkan di kurnas 2013.  Singapura menyadari hal ini dan menjadikan bahasa Inggris menjadi bahasa Nasional bahkan.  Maka Singapura sungguh-sungguh mencapai tujuan pendidikannya yang diintegrasikan dengan tujuan negaranya.  Jika di dalam pendesainan EC justru porsi bahasa Inggris ini diperkecil di dalam kurnas, maka otomatis apa yang disampaikan mengenai maksud mencapai kelas dunia hanyalah impian kosong belaka.  Ini baru satu mata pelajaran, kita belum berbicara mata pelajaran yang lain, dan tidak sampai kepada detilnya.  Pesan apakah yang akhirnya disampaikan disini akan mengikuti pilihan NC baik secara sadar atau tidak.  Eisner mengingatkan bahwa jauh lebih baik jika NC dipilih dalam kesadaran, sehingga dapat dievaluasi untuk perbaikan di waktu berikutnya.

The Medium is the Message, demikian kata McLuhan, dan maxim dia ini bersifat hakiki.  Pendesainan kurikulum nasional, mulai dari level filosofis, penggunaan istilah, sampai pada pengambilan keputusan untuk tiga jenis kurikulum yang ada, membawa pesan tertentu.  Pesan yang disampaikan oleh kurnas perlu dievaluasi lebih jauh.  Dan menurut hemat saya perlu untuk dikoreksi.  Di artikel ini saya hanya mencermati penggunaan istilah kurikulum, dan sekian banyak koreksi sudah harus dilakukan.  Jika memang kita hendak mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan pendidikan bangsa secara keseluruhan, dan pada akhirnya membawa bangsa Indonesia kepada level dunia, kita tidak boleh mengerjakan hal ini dengan setengah-setengah.  Semua lini harus dijaga ketat.  Pengertian yang benar harus dituntaskan.  Para ahli dalam wilayah pendidikan harus dicari dan diajak berkolaborasi untuk membereskan keruwetan pendidikan nasional.  Kita semua sudah tahu, publik dan para ahli pendidikan di bumi pertiwi sudah berbicara berulang kali akan kecarut-marutan pendidikan nasional, dan khususnya kurikulum nasional.  Perlu segera diperbaiki.  Tidak boleh ditunda lagi.  Sudah tertunda terlalu lama.

Ditulis oleh:
Ferry Yang, PhD
CEO & Founder Yang Academy

No comments:

Post a Comment