Thursday, January 12, 2017

Kritik Terhadap Pendidikan Bangsa: Cinta atau Benci Belajar?

Learn as if you were to live forever, and live as if you were to die tomorrow.”
Belajarlah seakan engkau akan hidup selamanya, dan hiduplah seakan engkau akan mati esok.”

Mahatma Gandhi

            Perkataan Mahatma Gandhi ini sangat membekas di hati saya.  Perkataan ini memiliki kedalaman makna yang luar biasa.  Pertama kali saya mendengar kalimat ini, saya merenungkannya siang malam untuk dapat mengerti esensi dari koneksi antara hidup selamanya dan belajar serta antara bagaimana kita hidup dengan kematian.  Permainan kata yang diekspresikan sangatlah indah, dan pada saat bersamaan mengungkapkan kebenaran yang takterbantahkan.  Ada sesuatu di dalam diri manusia yang tidak bisa diganggu gugat, yaitu suatu kecenderungan untuk belajar dan hidup.  Kecenderungan ini adalah kecenderungan alamiah yang mendasar dalam diri manusia.  Sejak manusia itu pertama kali terbentuk di dalam konsepsi, yaitu ketika sperma bertemu dengan ovum, langsung muncullah geliat hidup yang merupakan anugerah ilahi.  Di titik yang sama manusia langsung mengalami yang namanya belajar.  Walaupun untuk usia di bawah tiga tahun, manusia secara umum tidak dapat mengingat apa yang dipelajarinya, tetapi seluruh sel tubuh kita mendapatkan hasil dari kecenderungan belajar yang alamiah ini.  Gairah belajar seorang manusia itu terutama sangatlah terlihat pada diri anak-anak yang tidak henti-hentinya menyerap semua pengetahuan yang berada di hadapannya.  Pengetahuan disini yang saya maksudkan bukan hanya pengetahuan proposisi atau kebenaran logis, tetapi termasuk juga pengetahuan akan bagaimana melakukan sesuatu dan pengetahuan akan seseorang (atau pengenalan).  Pengetahuan proposisi itu misalnya adalah “Gunung Semeru ada di pulau Jawa” atau 1+1=2.  Pengetahuan melakukan sesuatu itu misalnya adalah tahu bagaimana naik sepeda atau tahu bagaimana berenang.  Dan pengetahuan akan seseorang adalah misalnya mengenal ayah atau ibu atau saudara.  Dorongan belajar yang dimulai pada titik kehidupan ini seakan tidak pernah padam di dalam diri manusia.  Selama manusia itu hidup, manusia akan terus belajar.

            Sehingga dapat dikatakan bahwa ketika manusia itu berhenti belajar, disanalah titik manusia itu sebetulnya sudah mati.  Itu sebab Gandhi mengatakan: “Belajarlah seakan engkau akan hidup selamanya.”  Gandhi sedang mengungkapkan rahasia alam semesta dengan kalimat ini.  Rahasia ini berkaitan erat sekali dengan waktu.  Waktu merupakan limitasi hidup manusia yang mana manusia sama sekali tidak memiliki kuasa atasnya.  Itu sebab di dalam mitologi Yunani satu dewa yang besar sekali adalah Κρόνος (Kronos) dimana dari sana kita mendapatkan kata kronologis.  Kronos ini adalah waktu itu sendiri.  Seorang yang bernama Agustinus, Bishop dari Hippo (sekarang daerah Algeria) pernah mengatakan demikian: “What then is time?  If no one asks me, I know what it is.  If I wish to explain it to him who asks, I do not know” (Apakah itu waktu?  Jika tidak ada yang bertanya kepadaku, aku tahu apa itu.  Tetapi jika aku hendak menjelaskannya kepadanya yang bertanya, aku tidak tahu).  Sangatlah sulit menjelaskan waktu.  Sebab manusia tidak pernah dapat meletakkan waktu di dalam laboratorium untuk dianalisa.  Ketika manusia berupaya menganalisa waktu, kita harus memakai waktu dan berada di dalam waktu itu sendiri, dan sementara memakai waktu untuk menganalisa waktu, waktu hidup kita makin pendek.  Sehingga orang bilang bahwa kita selalu dikejar waktu.  Sehingga ketika Gandhi mengaplikasikannya kepada soal belajar, dia menyadari bahwa manusia belajar butuh waktu.  Dan butuh waktu yang tidak sedikit.  Mau tidak mau manusia belajar harus mengikuti waktu yang sifatnya linear.  Sehingga seorang manusia tidak dapat belajar dua hal secara bersamaan.  Artinya begini, seorang manusia tidak dapat belajar berenang dan naik sepeda dalam waktu bersamaan.  Harus dilakukan satu persatu.  Dan setiap kali belajar sesuatu harus memakai waktu.  Saat waktu dipakai, otomatis waktu hidup kitalah yang sebenarnya kita pakai.  Ini menyebabkan waktu kita hidup di dunia memendek.  Keterbatasan manusia dalam hal ini tidak dapat diatasi dengan cara apapun kecuali dengan satu hal.  Yaitu dengan hidup kekal.

            Tetapi semua manusia akan mati pada satu titik.  Ada yang waktu hidupnya panjang, ada yang sangat pendek.  Ada yang hidup hingga 100 tahun, ada yang hidup hanya sehari setelah lahir dan langsung mati.  Maka dalam pandangan manusia seakan waktu jauh lebih berkuasa dari manusia.  Manusia tidak dapat melawan waktu.  Yang ada adalah menggunakan waktu sebijaksana mungkin, karena aset yang satu ini tidak mungkin bisa didapat kembali.  Jika waktu sudah hilang, tidak ada cara apapun untuk mendapatkannya kembali.  Ketika waktu sudah dipakai, mau dibayar dengan semua kekayaan duniapun waktu tidak akan bisa kembali.  Satu detikpun tidak.  Di dalam hati setiap manusia selalu ada keinginan untuk hidup selamanya.  Bahkan yang ingin matipun sebetulnya ingin hidup selamanya, hanya saja dia tidak menginginkan hidup seperti yang dialaminya.  Dia ingin hidup yang baik, dan hidup yang baik itu yang dia ingin pertahankan selamanya.  Maka yang ingin mati sebetulnya mencari kehidupan yang lain.  Di dalam perenungan yang sangat mendalam inilah, disadari bahwa manusia tidak dapat belajar tanpa memiliki hidup.  Disinilah letak kejeniusan perkataan Gandhi.  Yaitu ditambahkan kalimat: “Hiduplah seakan engkau akan mati esok.”

            Saya bertanya-tanya akan kalimat berikut ini.  Mengapa harus hidup seakan besok akan mati?  Mengapa tidak hidup seakan akan hidup selamanya?  Gandhi menyadari satu hal penting, yaitu bahwa manusia di alam semesta ini memiliki benih dosa di dalam hatinya.  Maka manusia selalu memiliki kecondongan berdosa.  Mati adalah soal yang menakutkan, terutama bagi orang di Asia.  Karena mati membawa nuansa penghakiman.  Penghakiman berkaitan dengan apakah selama hidup melakukan hal yang baik dan benar.  Gandhi jeli akan hal ini.  Dia tahu bahwa manusia secara umum takut akan penghakiman.  Takut perbuatannya yang penuh dengan dosa itu dihakimi dan ditemukan bersalah sehingga harus dihukum yang berat di dunia spiritual.  Maka dalam ketakutan sedemikian manusia merasa perlu mengisi hidup dengan kebaikan dan kebenaran.  Hal ini menjadi sangat intens ketika menyadari bahwa besok akan mati.  Jika seseorang divonis dokter terkena penyakit akut yang mana waktu hidup tinggal 1 bulan lagi.  Maka biasanya seseorang akan berusaha melakukan semua yang sebaik-baiknya selama satu bulan itu.  Dengan dalil seperti itu Gandhi menyerukan supaya kita hidup seakan besok kita akan mati.  Dia memaksudkan supaya kita hidup setiap hari menyadari bahwa besok akan dihakimi, maka setiap hari hidup diisi dengan hal yang bermakna.

            Jika dua kalimat ini digabungkan, kita menemukan bahwa ketika dikatakan supaya kita belajar seakan kita akan hidup selamanya, yang dimaksudkan Gandhi adalah bukan sekedar hidup selamanya.  Tetapi adalah hidup yang bermakna, hidup yang penuh dengan kebaikan, kebenaran, dan kebajikan.  Bukan hidup yang penuh dengan kejahatan, kesalahan, dan kerusakan.  Maka ketika seseorang belajar, yang dipelajari adalah hal-hal yang sifatnya baik, benar, dan bajik – di dalam bahasa Ki Hajar Dewantara “bermanfaat bagi manusia pada umumnya.”  Untuk hal-hal tersebut belajarlah terus tanpa henti seakan kita tidak akan pernah mati.  Oh, betapa indahnya kalimat ini.  Luar biasa dan sangat dalam.  Maka hidup kita digerakkan dan diisi oleh semua kebaikan.  Daya tarik kebaikan ini sangatlah kuat sebab manusia diciptakan di dalam gambaran ilahi, sehingga karena Allah itu baik, manusia pun memiliki benih kebaikan di dalam hatinya.  Mempelajari hal-hal yang baik, benar, dan bajik memberikan gairah belajar yang penuh semangat dan yang memimpin kepada cinta akan belajar.  Inilah yang perlu ada di dalam pendidikan bangsa kita.  Jika belajar tidak memiliki dorongan motivasi ini, maka belajar menjadi kosong.  Belajar menjadi hanya sebuah beban dan rutinitas yang berat dan membosankan.  Beban dan kebosanan hanya memimpin kepada kebencian akan belajar.

            Tugas pendidikan bangsa perlu secara intensional ditujukan untuk membawa anak-anak bangsa untuk mencintai belajar.  Dua hal yang perlu dilakukan sekaligus: 1) isi pembelajaran dengan semua yang baik, benar, dan bajik, dan 2) buang semua pembelajaran yang jahat, salah, dan rusak termasuk konteks belajar yang adalah beban dan membosankan.  Para ahli-ahli pendidikan perlu memikirkan dengan taktis dan strategis untuk menghasilkan pendidikan bangsa yang secara holistik memimpin generasi penerus mencintai belajar.  Dalam konteks pendidikan formal, perlu dengan serius dipikirkan model belajar mengajar yang segar, kreatif, dan bersemangat.  Hal-hal yang menghalangi proses belajar mengajar yang segar, kreatif, dan bersemangat perlu dieliminasi.  Demi supaya anak-anak bangsa boleh memiliki keceriaan dan kecintaan akan belajar, perlu dipersiapkan elemen-elemen pendidikan yang mendukung dan kondusif.  Kalau menurut filsuf Austria yang bernama Ivan Illich di dalam bukunya “Deschooling Society,” salah satu elemen pendidikan yang sangat esensial adalah akses kepada sumber ilmu.  Illich memberikan seruan supaya akses kepada sumber ilmu ini jangan dihalangi.  Sekolah, bagi Illich, justru seringkali menjadi penghalang utama akses kepada sumber ilmu tersebut.  Tembok sekolah mengisolasi murid-murid di dalam lokasi tertentu yang memisahkan mereka dari para tua-tua desa, alam semesta, peninggalan bersejarah, pemimpin bangsa, para agamawan, pasar, dan dunia riil secara umum, yang justru semua itu adalah sumber ilmu yang asli.  Sekolah membatasi akses murid-murid hanya kepada apa yang disediakan oleh sekolah, yaitu buku teks, guru yang adalah operator buku teks, dan perpustakaan ala kadarnya, serta laboratorium standar.  Pengalaman riil itu justru dilarang masuk oleh sekolah, dan murid dilarang keluar untuk menemui pengalaman riil.  Maka sekolah menjadi ruang berkembangnya pseudo-reality (realitas yang seakan riil tetapi tidak).  Karena sekolah sama sekali bukanlah simulasi kehidupan riil.  Sekolah adalah memiliki hidup dalam dirinya sendiri.

            Secara praktis, pendidikan formal perlu mengevaluasi diri dan berupaya untuk membawa pengalaman riil yang penuh dengan kesegaran, tantangan yang menstimulasi kreatifitas, dan gairah kehidupan sebagai platform proses belajar mengajar.  John Dewey, yang dikenal sebagai Bapak Pendidikan Modern Amerika, mempopulerkan istilah “experiential learning” (pembelajaran bersifat pengalaman) sebagai tandingan dari pembelajaran model tradisional yang diekspresikan dengan jalan menghafal.  Experiential Learning (EL) membawa kesegaran sebab mewujudnyatakan pengalaman riil sebagai platform pendidikan formal.  Perlu dipikirkan lebih jauh lagi bagaimana membawa pengalaman riil itu ke dalam pendidikan formal di sekolah.  Stanford University punya cara di dalam kelas MBA (Master of Business Administration) dengan mengirim murid keluar gedung sekolah dan mengalami dunia bisnis serta tantangannya secara riil.  Dengan demikian murid langsung membuat koneksi antara teori dan praktek di dalam dunia riil.  Hasilnya sangat baik sekali.  Lulusan mereka tidak hanya pandai di atas kertas, tetapi justru mereka memiliki ilmu yang sangat membumi dan siap diterapkan dalam situasi apapun.  Gairah belajar mereka melimpah, sehingga tanpa diberikan tugas pun mereka sudah belajar sendiri.  Dengan konteks belajar mengajar yang kondusif seperti ini, murid tidak lagi harus dipaksa untuk belajar, tetapi justru sudah ada motivasi internal di dalam diri mereka sendiri.  Kalau sudah begini, buktinya jelas bahwa murid cinta belajar.

            Satu contoh lagi di ranah pembelajaran, yaitu mengakomodasi kecondongan belajar murid-murid.  Perhatian untuk persoalan ini di dunia pendidikan formal semakin berakselerasi di pertengahan abad 20.  Howard Gardner, Professor Pendidikan dan Psikologi dari Harvard University, menulis satu buku yang menerobos dunia pendidikan, yaitu “Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences.”  Di dalam bukunya itu Gardner membuka wawasan dunia untuk memahami bahwa selama ini sudah terjadi diskriminasi terhadap sebagian besar murid.  Ini dikarenakan sekolah tradisional hanya memberikan peluang kepada mereka yang kuat di dalam logical-mathematical dan linguistic intelligences saja.  Disinilah Gardner menerobos.  Ketika asumsi seluruh dunia adalah bahwa intelligence itu hanya satu saja, Gardner menemukan bahwa ada banyak macam intelligences.  Dan akhirnya berdasarkan penemuan dia tersebut Gardner berargumentasi bahwa sekolah perlu merenovasi sistem yang diskriminatif tersebut.  Sebab sistem yang hanya memihak kepada logical-mathematical dan linguistic intelligences ini secara otomatis mendiskriminasi mereka yang tidak kuat di intelligences tersebut.  Padahal ada sekitar delapan intelligences lain.  Intelligence yang dominan yang mana akan berlainan setiap orang.  Dan intelligence yang dominan akan menentukan kecondongan belajar seseorang.  Jika seorang anak dengan intelligence yang dominan di bodily-kinesthetic misalnya lantas dipaksa untuk harus kuat di logical-mathematical dan linguistic, sementara intelligence dominan dia dianaktirikan, maka anak ini akan mengalami tekanan yang sangat tidak adil.  Sedangkan anak yang memang memiliki logical-mathematical dan linguistic kuat akan dengan santai mengikuti sistem pembelajaran yang memang memihak intelligences itu.  Dan sistem sedemikian adalah bentuk ketidakadilan di dalam pendidikan.  Trobosan penemuan Gardner ini membuat para pendidik mulai mengevaluasi diri dan sistem mereka.  Pada akhirnya sekolah mulai membuat sistem dan mempersiapkan diri untuk mengakomodasi kecondongan belajar murid yang sangat bervariasi.  Mereka mulai menyadari bahwa apa yang mereka lakukan selama ini hanyalah membuat murid-murid yang dianaktirikan itu menjadi membenci belajar.  Kebencian akan belajar ini akan mencari jalan keluar melalui kenakalan-kenakalan yang seharusnya bisa diminimalkan sejak awal.  Maka para pendidik yang memang punya hati untuk pendidikan mulai berubah untuk tidak lagi menganaktirikan mereka-mereka yang memiliki jenis intelligences yang tidak cocok dengan sistem tradisional.  Sehingga sistem lama pun harus diganti.  Akhirnya para murid mulai merasakan belajar bukanlah beban.  Belajar menjadi menyenangkan.  Belajar menjadi menggairahkan.  Belajar menjadi kecintaan mereka.  Kekuatan mereka diakomodasi dan diberikan kesempatan untuk berkembang, maka semakin mereka belajar, semakin mereka bahagia.  Ini adalah peer kita di Indonesia untuk sungguh memikirkan bagaimana dapat mengakomodasi kecondongan belajar yang bervariasi demi supaya anak-anak kita boleh mencintai belajar.

            Contoh terakhir, yaitu yang paling penting, adalah pada guru.  Jika guru sendiri memiliki di dalam hatinya semangat dan cinta belajar yang melimpah, maka murid-muridpun akan dengan sendirinya tertular untuk bersemangat dan cinta belajar.  Andaikata guru loyo, tidak ada semangat belajar, bahkan benci belajar, hidup segan mati tak mau, maka murid pun akan menjadi mirip dengan gurunya.  Seperti kata pepatah: “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.”  Murid pasti mencontoh gurunya.  Ini tidak dapat dipungkiri.  Semangat dan rasa cinta itu menular, demikian juga kemalasan dan rasa benci juga menular.  Maka guru yang agung adalah guru yang punya semangat belajar tidak pernah padam, yang punya cinta belajar dengan menggebu-gebu, sehingga setiap kali bertemu dengan guru itu selalu ada gairah baru, karena selalu ada hal baru yang muncul dari guru tersebut.  Ini hanya mungkin karena guru itu tidak pernah berhenti belajar.  Kondisi seperti ini tidak bisa ditipu.  Kalau guru hanya mengulang-ulang hal yang sama, hal yang 20 tahun lalu juga sudah diajarkan, slide pun masih pakai yang dibuat 20 tahun lalu, tanpa ada sesuatu yang baru, tidak ada kesegaran, maka murid pun tahu bahwa guru tidak lagi belajar.  Maka di situ murid tidak lagi menemukan kehidupan di dalam pengajaran guru.  Perkataan Gandhi ini menjadi terlalu penting untuk diabaikan supaya guru terus meningkatkan diri dengan terus belajar tanpa henti seakan hidup selamanya.  Jika sudah sampai disini, perlu juga diingatkan sekali lagi bahwa pihak sekolah perlu menunjang para guru untuk mereka boleh terus belajar, belajar yang baik, benar, dan bajik.  Sehingga sekolah tidak hanya menuntut guru menjadi pintar, tetapi hanya berpangku tangan tanpa mau mensejahterakan kehidupan guru.  Justru sekolah bertanggungjawab untuk hal ini.  Jangan sampai sekolah malah menghalangi proses belajarnya guru.  Jika demikian maka benarlah peringatan Illich bahwa sekolah menghalangi akses murid kepada sumber ilmu.  Kalau guru dan sekolah boleh bersinergi dengan baik di dalam peningkatan kapasitas guru, maka tentunya kesegaran, kreatifitas, dan semangat belajar para murid pun akan meningkat dan murid menjadi mencintai belajar.

            Ada banyak aspek lain yang bisa didiskusikan disini, tetapi satu buku pun tidak akan cukup untuk membahasnya satu persatu.  Semoga contoh di atas boleh menjadi stimulasi awal untuk pemikiran-pemikiran selanjutnya.

            Jika satu tujuan ini boleh tercapai, yaitu anak-anak bangsa boleh mencintai belajar kebaikan, kebenaran, dan kebajikan, maka saya yakin Indonesia akan menjadi negara yang kuat, unggul, dan dihormati di seluruh dunia.  Bangsa-bangsa akan datang ke Indonesia menimba ilmu, bersinergi, dan mengagumi keagungan bangsa kita.  Hidup rakyat negara kita akan dipenuhi dengan kedamaian dan kesejahteraan yang diimpikan oleh pendiri negara ini dan yang dimimpikan oleh semua umat manusia di seluruh penjuru dunia.  Demikianlah kita dapat mencapai sila kelima dari Pancasila kita: “Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”  Dan bukan tidak mungkin Indonesia akan mempengaruhi secara positif kedamaian dan kesejahteraan seluruh umat manusia di bumi ini.

Ditulis oleh:
Ferry Yang, PhD
CEO & Founder of Yang Academy

No comments:

Post a Comment