Belajarlah
seakan engkau akan hidup selamanya, dan hiduplah seakan engkau akan mati esok.”
Mahatma Gandhi
Perkataan Mahatma Gandhi ini sangat
membekas di hati saya. Perkataan ini
memiliki kedalaman makna yang luar biasa.
Pertama kali saya mendengar kalimat ini, saya merenungkannya siang malam
untuk dapat mengerti esensi dari koneksi antara hidup selamanya dan belajar
serta antara bagaimana kita hidup dengan kematian. Permainan kata yang diekspresikan sangatlah
indah, dan pada saat bersamaan mengungkapkan kebenaran yang
takterbantahkan. Ada sesuatu di dalam
diri manusia yang tidak bisa diganggu gugat, yaitu suatu kecenderungan untuk belajar
dan hidup. Kecenderungan ini adalah
kecenderungan alamiah yang mendasar dalam diri manusia. Sejak manusia itu pertama kali terbentuk di
dalam konsepsi, yaitu ketika sperma bertemu dengan ovum, langsung muncullah
geliat hidup yang merupakan anugerah ilahi.
Di titik yang sama manusia langsung mengalami yang namanya belajar. Walaupun untuk usia di bawah tiga tahun,
manusia secara umum tidak dapat mengingat apa yang dipelajarinya, tetapi
seluruh sel tubuh kita mendapatkan hasil dari kecenderungan belajar yang
alamiah ini. Gairah belajar seorang
manusia itu terutama sangatlah terlihat pada diri anak-anak yang tidak
henti-hentinya menyerap semua pengetahuan yang berada di hadapannya. Pengetahuan disini yang saya maksudkan bukan
hanya pengetahuan proposisi atau kebenaran logis, tetapi termasuk juga
pengetahuan akan bagaimana melakukan sesuatu dan pengetahuan akan seseorang
(atau pengenalan). Pengetahuan proposisi
itu misalnya adalah “Gunung Semeru ada di pulau Jawa” atau 1+1=2. Pengetahuan melakukan sesuatu itu misalnya
adalah tahu bagaimana naik sepeda atau tahu bagaimana berenang. Dan pengetahuan akan seseorang adalah
misalnya mengenal ayah atau ibu atau saudara.
Dorongan belajar yang dimulai pada titik kehidupan ini seakan tidak
pernah padam di dalam diri manusia.
Selama manusia itu hidup, manusia akan terus belajar.
Sehingga dapat dikatakan bahwa
ketika manusia itu berhenti belajar, disanalah titik manusia itu sebetulnya
sudah mati. Itu sebab Gandhi mengatakan:
“Belajarlah seakan engkau akan hidup selamanya.” Gandhi sedang mengungkapkan rahasia alam
semesta dengan kalimat ini. Rahasia ini
berkaitan erat sekali dengan waktu.
Waktu merupakan limitasi hidup manusia yang mana manusia sama sekali
tidak memiliki kuasa atasnya. Itu sebab
di dalam mitologi Yunani satu dewa yang besar sekali adalah Κρόνος (Kronos) dimana dari sana kita mendapatkan kata
kronologis. Kronos ini adalah waktu itu
sendiri. Seorang yang bernama Agustinus,
Bishop dari Hippo (sekarang daerah Algeria) pernah mengatakan demikian: “What
then is time? If no one asks me, I know
what it is. If I wish to explain it to
him who asks, I do not know” (Apakah itu waktu?
Jika tidak ada yang bertanya kepadaku, aku tahu apa itu. Tetapi jika aku hendak menjelaskannya
kepadanya yang bertanya, aku tidak tahu).
Sangatlah sulit menjelaskan waktu.
Sebab manusia tidak pernah dapat meletakkan waktu di dalam laboratorium
untuk dianalisa. Ketika manusia berupaya
menganalisa waktu, kita harus memakai waktu dan berada di dalam waktu itu
sendiri, dan sementara memakai waktu untuk menganalisa waktu, waktu hidup kita
makin pendek. Sehingga orang bilang
bahwa kita selalu dikejar waktu.
Sehingga ketika Gandhi mengaplikasikannya kepada soal belajar, dia
menyadari bahwa manusia belajar butuh waktu.
Dan butuh waktu yang tidak sedikit.
Mau tidak mau manusia belajar harus mengikuti waktu yang sifatnya
linear. Sehingga seorang manusia tidak
dapat belajar dua hal secara bersamaan.
Artinya begini, seorang manusia tidak dapat belajar berenang dan naik
sepeda dalam waktu bersamaan. Harus
dilakukan satu persatu. Dan setiap kali
belajar sesuatu harus memakai waktu.
Saat waktu dipakai, otomatis waktu hidup kitalah yang sebenarnya kita
pakai. Ini menyebabkan waktu kita hidup
di dunia memendek. Keterbatasan manusia
dalam hal ini tidak dapat diatasi dengan cara apapun kecuali dengan satu
hal. Yaitu dengan hidup kekal.
Tetapi semua manusia akan mati pada
satu titik. Ada yang waktu hidupnya
panjang, ada yang sangat pendek. Ada
yang hidup hingga 100 tahun, ada yang hidup hanya sehari setelah lahir dan
langsung mati. Maka dalam pandangan
manusia seakan waktu jauh lebih berkuasa dari manusia. Manusia tidak dapat melawan waktu. Yang ada adalah menggunakan waktu sebijaksana
mungkin, karena aset yang satu ini tidak mungkin bisa didapat kembali. Jika waktu sudah hilang, tidak ada cara
apapun untuk mendapatkannya kembali.
Ketika waktu sudah dipakai, mau dibayar dengan semua kekayaan duniapun
waktu tidak akan bisa kembali. Satu
detikpun tidak. Di dalam hati setiap
manusia selalu ada keinginan untuk hidup selamanya. Bahkan yang ingin matipun sebetulnya ingin
hidup selamanya, hanya saja dia tidak menginginkan hidup seperti yang
dialaminya. Dia ingin hidup yang baik,
dan hidup yang baik itu yang dia ingin pertahankan selamanya. Maka yang ingin mati sebetulnya mencari
kehidupan yang lain. Di dalam perenungan
yang sangat mendalam inilah, disadari bahwa manusia tidak dapat belajar tanpa
memiliki hidup. Disinilah letak kejeniusan
perkataan Gandhi. Yaitu ditambahkan
kalimat: “Hiduplah seakan engkau akan mati esok.”
Saya bertanya-tanya akan kalimat
berikut ini. Mengapa harus hidup seakan
besok akan mati? Mengapa tidak hidup
seakan akan hidup selamanya? Gandhi
menyadari satu hal penting, yaitu bahwa manusia di alam semesta ini memiliki
benih dosa di dalam hatinya. Maka
manusia selalu memiliki kecondongan berdosa.
Mati adalah soal yang menakutkan, terutama bagi orang di Asia. Karena mati membawa nuansa penghakiman. Penghakiman berkaitan dengan apakah selama
hidup melakukan hal yang baik dan benar.
Gandhi jeli akan hal ini. Dia
tahu bahwa manusia secara umum takut akan penghakiman. Takut perbuatannya yang penuh dengan dosa itu
dihakimi dan ditemukan bersalah sehingga harus dihukum yang berat di dunia
spiritual. Maka dalam ketakutan
sedemikian manusia merasa perlu mengisi hidup dengan kebaikan dan
kebenaran. Hal ini menjadi sangat intens
ketika menyadari bahwa besok akan mati.
Jika seseorang divonis dokter terkena penyakit akut yang mana waktu
hidup tinggal 1 bulan lagi. Maka
biasanya seseorang akan berusaha melakukan semua yang sebaik-baiknya selama
satu bulan itu. Dengan dalil seperti itu
Gandhi menyerukan supaya kita hidup seakan besok kita akan mati. Dia memaksudkan supaya kita hidup setiap hari
menyadari bahwa besok akan dihakimi, maka setiap hari hidup diisi dengan hal
yang bermakna.
Jika dua kalimat ini digabungkan,
kita menemukan bahwa ketika dikatakan supaya kita belajar seakan kita akan
hidup selamanya, yang dimaksudkan Gandhi adalah bukan sekedar hidup
selamanya. Tetapi adalah hidup yang bermakna,
hidup yang penuh dengan kebaikan, kebenaran, dan kebajikan. Bukan hidup yang penuh dengan kejahatan,
kesalahan, dan kerusakan. Maka ketika
seseorang belajar, yang dipelajari adalah hal-hal yang sifatnya baik, benar,
dan bajik – di dalam bahasa Ki Hajar Dewantara “bermanfaat bagi manusia pada
umumnya.” Untuk hal-hal tersebut
belajarlah terus tanpa henti seakan kita tidak akan pernah mati. Oh, betapa indahnya kalimat ini. Luar biasa dan sangat dalam. Maka hidup kita digerakkan dan diisi oleh
semua kebaikan. Daya tarik kebaikan ini
sangatlah kuat sebab manusia diciptakan di dalam gambaran ilahi, sehingga
karena Allah itu baik, manusia pun memiliki benih kebaikan di dalam
hatinya. Mempelajari hal-hal yang baik,
benar, dan bajik memberikan gairah belajar yang penuh semangat dan yang memimpin
kepada cinta akan belajar. Inilah yang
perlu ada di dalam pendidikan bangsa kita.
Jika belajar tidak memiliki dorongan motivasi ini, maka belajar menjadi
kosong. Belajar menjadi hanya sebuah
beban dan rutinitas yang berat dan membosankan.
Beban dan kebosanan hanya memimpin kepada kebencian akan belajar.
Tugas pendidikan bangsa perlu secara
intensional ditujukan untuk membawa anak-anak bangsa untuk mencintai
belajar. Dua hal yang perlu dilakukan
sekaligus: 1) isi pembelajaran dengan semua yang baik, benar, dan bajik, dan 2)
buang semua pembelajaran yang jahat, salah, dan rusak termasuk konteks belajar
yang adalah beban dan membosankan. Para
ahli-ahli pendidikan perlu memikirkan dengan taktis dan strategis untuk
menghasilkan pendidikan bangsa yang secara holistik memimpin generasi penerus
mencintai belajar. Dalam konteks
pendidikan formal, perlu dengan serius dipikirkan model belajar mengajar yang
segar, kreatif, dan bersemangat. Hal-hal
yang menghalangi proses belajar mengajar yang segar, kreatif, dan bersemangat
perlu dieliminasi. Demi supaya anak-anak
bangsa boleh memiliki keceriaan dan kecintaan akan belajar, perlu dipersiapkan
elemen-elemen pendidikan yang mendukung dan kondusif. Kalau menurut filsuf Austria yang bernama
Ivan Illich di dalam bukunya “Deschooling
Society,” salah satu elemen pendidikan yang sangat esensial adalah akses
kepada sumber ilmu. Illich memberikan
seruan supaya akses kepada sumber ilmu ini jangan dihalangi. Sekolah, bagi Illich, justru seringkali
menjadi penghalang utama akses kepada sumber ilmu tersebut. Tembok sekolah mengisolasi murid-murid di
dalam lokasi tertentu yang memisahkan mereka dari para tua-tua desa, alam
semesta, peninggalan bersejarah, pemimpin bangsa, para agamawan, pasar, dan
dunia riil secara umum, yang justru semua itu adalah sumber ilmu yang
asli. Sekolah membatasi akses
murid-murid hanya kepada apa yang disediakan oleh sekolah, yaitu buku teks,
guru yang adalah operator buku teks, dan perpustakaan ala kadarnya, serta
laboratorium standar. Pengalaman riil
itu justru dilarang masuk oleh sekolah, dan murid dilarang keluar untuk menemui
pengalaman riil. Maka sekolah menjadi
ruang berkembangnya pseudo-reality (realitas yang seakan riil tetapi tidak). Karena sekolah sama sekali bukanlah simulasi
kehidupan riil. Sekolah adalah memiliki
hidup dalam dirinya sendiri.
Secara praktis, pendidikan formal
perlu mengevaluasi diri dan berupaya untuk membawa pengalaman riil yang penuh
dengan kesegaran, tantangan yang menstimulasi kreatifitas, dan gairah kehidupan
sebagai platform proses belajar mengajar.
John Dewey, yang dikenal sebagai Bapak Pendidikan Modern Amerika,
mempopulerkan istilah “experiential learning” (pembelajaran bersifat
pengalaman) sebagai tandingan dari pembelajaran model tradisional yang diekspresikan
dengan jalan menghafal. Experiential
Learning (EL) membawa kesegaran sebab mewujudnyatakan pengalaman riil sebagai
platform pendidikan formal. Perlu
dipikirkan lebih jauh lagi bagaimana membawa pengalaman riil itu ke dalam
pendidikan formal di sekolah. Stanford
University punya cara di dalam kelas MBA (Master of Business Administration)
dengan mengirim murid keluar gedung sekolah dan mengalami dunia bisnis serta
tantangannya secara riil. Dengan
demikian murid langsung membuat koneksi antara teori dan praktek di dalam dunia
riil. Hasilnya sangat baik sekali. Lulusan mereka tidak hanya pandai di atas
kertas, tetapi justru mereka memiliki ilmu yang sangat membumi dan siap
diterapkan dalam situasi apapun. Gairah
belajar mereka melimpah, sehingga tanpa diberikan tugas pun mereka sudah
belajar sendiri. Dengan konteks belajar
mengajar yang kondusif seperti ini, murid tidak lagi harus dipaksa untuk
belajar, tetapi justru sudah ada motivasi internal di dalam diri mereka
sendiri. Kalau sudah begini, buktinya
jelas bahwa murid cinta belajar.
Satu contoh lagi di ranah
pembelajaran, yaitu mengakomodasi kecondongan belajar murid-murid. Perhatian untuk persoalan ini di dunia
pendidikan formal semakin berakselerasi di pertengahan abad 20. Howard Gardner, Professor Pendidikan dan
Psikologi dari Harvard University, menulis satu buku yang menerobos dunia
pendidikan, yaitu “Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences.” Di dalam bukunya itu Gardner membuka wawasan
dunia untuk memahami bahwa selama ini sudah terjadi diskriminasi terhadap
sebagian besar murid. Ini dikarenakan
sekolah tradisional hanya memberikan peluang kepada mereka yang kuat di dalam
logical-mathematical dan linguistic intelligences saja. Disinilah Gardner menerobos. Ketika asumsi seluruh dunia adalah bahwa
intelligence itu hanya satu saja, Gardner menemukan bahwa ada banyak macam
intelligences. Dan akhirnya berdasarkan
penemuan dia tersebut Gardner berargumentasi bahwa sekolah perlu merenovasi
sistem yang diskriminatif tersebut.
Sebab sistem yang hanya memihak kepada logical-mathematical dan
linguistic intelligences ini secara otomatis mendiskriminasi mereka yang tidak
kuat di intelligences tersebut. Padahal
ada sekitar delapan intelligences lain.
Intelligence yang dominan yang mana akan berlainan setiap orang. Dan intelligence yang dominan akan menentukan
kecondongan belajar seseorang. Jika
seorang anak dengan intelligence yang dominan di bodily-kinesthetic misalnya
lantas dipaksa untuk harus kuat di logical-mathematical dan linguistic,
sementara intelligence dominan dia dianaktirikan, maka anak ini akan mengalami
tekanan yang sangat tidak adil.
Sedangkan anak yang memang memiliki logical-mathematical dan linguistic
kuat akan dengan santai mengikuti sistem pembelajaran yang memang memihak
intelligences itu. Dan sistem sedemikian
adalah bentuk ketidakadilan di dalam pendidikan. Trobosan penemuan Gardner ini membuat para
pendidik mulai mengevaluasi diri dan sistem mereka. Pada akhirnya sekolah mulai membuat sistem
dan mempersiapkan diri untuk mengakomodasi kecondongan belajar murid yang
sangat bervariasi. Mereka mulai
menyadari bahwa apa yang mereka lakukan selama ini hanyalah membuat murid-murid
yang dianaktirikan itu menjadi membenci belajar. Kebencian akan belajar ini akan mencari jalan
keluar melalui kenakalan-kenakalan yang seharusnya bisa diminimalkan sejak
awal. Maka para pendidik yang memang
punya hati untuk pendidikan mulai berubah untuk tidak lagi menganaktirikan
mereka-mereka yang memiliki jenis intelligences yang tidak cocok dengan sistem
tradisional. Sehingga sistem lama pun
harus diganti. Akhirnya para murid mulai
merasakan belajar bukanlah beban.
Belajar menjadi menyenangkan.
Belajar menjadi menggairahkan.
Belajar menjadi kecintaan mereka.
Kekuatan mereka diakomodasi dan diberikan kesempatan untuk berkembang,
maka semakin mereka belajar, semakin mereka bahagia. Ini adalah peer kita di Indonesia untuk
sungguh memikirkan bagaimana dapat mengakomodasi kecondongan belajar yang
bervariasi demi supaya anak-anak kita boleh mencintai belajar.
Contoh terakhir, yaitu yang paling
penting, adalah pada guru. Jika guru
sendiri memiliki di dalam hatinya semangat dan cinta belajar yang melimpah,
maka murid-muridpun akan dengan sendirinya tertular untuk bersemangat dan cinta
belajar. Andaikata guru loyo, tidak ada
semangat belajar, bahkan benci belajar, hidup segan mati tak mau, maka murid
pun akan menjadi mirip dengan gurunya.
Seperti kata pepatah: “Guru kencing berdiri, murid kencing
berlari.” Murid pasti mencontoh
gurunya. Ini tidak dapat
dipungkiri. Semangat dan rasa cinta itu
menular, demikian juga kemalasan dan rasa benci juga menular. Maka guru yang agung adalah guru yang punya
semangat belajar tidak pernah padam, yang punya cinta belajar dengan menggebu-gebu,
sehingga setiap kali bertemu dengan guru itu selalu ada gairah baru, karena
selalu ada hal baru yang muncul dari guru tersebut. Ini hanya mungkin karena guru itu tidak
pernah berhenti belajar. Kondisi seperti
ini tidak bisa ditipu. Kalau guru hanya
mengulang-ulang hal yang sama, hal yang 20 tahun lalu juga sudah diajarkan,
slide pun masih pakai yang dibuat 20 tahun lalu, tanpa ada sesuatu yang baru,
tidak ada kesegaran, maka murid pun tahu bahwa guru tidak lagi belajar. Maka di situ murid tidak lagi menemukan
kehidupan di dalam pengajaran guru.
Perkataan Gandhi ini menjadi terlalu penting untuk diabaikan supaya guru
terus meningkatkan diri dengan terus belajar tanpa henti seakan hidup
selamanya. Jika sudah sampai disini,
perlu juga diingatkan sekali lagi bahwa pihak sekolah perlu menunjang para guru
untuk mereka boleh terus belajar, belajar yang baik, benar, dan bajik. Sehingga sekolah tidak hanya menuntut guru
menjadi pintar, tetapi hanya berpangku tangan tanpa mau mensejahterakan
kehidupan guru. Justru sekolah
bertanggungjawab untuk hal ini. Jangan
sampai sekolah malah menghalangi proses belajarnya guru. Jika demikian maka benarlah peringatan Illich
bahwa sekolah menghalangi akses murid kepada sumber ilmu. Kalau guru dan sekolah boleh bersinergi
dengan baik di dalam peningkatan kapasitas guru, maka tentunya kesegaran,
kreatifitas, dan semangat belajar para murid pun akan meningkat dan murid
menjadi mencintai belajar.
Ada banyak aspek lain yang bisa
didiskusikan disini, tetapi satu buku pun tidak akan cukup untuk membahasnya
satu persatu. Semoga contoh di atas
boleh menjadi stimulasi awal untuk pemikiran-pemikiran selanjutnya.
Jika satu tujuan ini boleh tercapai,
yaitu anak-anak bangsa boleh mencintai belajar kebaikan, kebenaran, dan kebajikan,
maka saya yakin Indonesia akan menjadi negara yang kuat, unggul, dan dihormati
di seluruh dunia. Bangsa-bangsa akan
datang ke Indonesia menimba ilmu, bersinergi, dan mengagumi keagungan bangsa
kita. Hidup rakyat negara kita akan
dipenuhi dengan kedamaian dan kesejahteraan yang diimpikan oleh pendiri negara
ini dan yang dimimpikan oleh semua umat manusia di seluruh penjuru dunia. Demikianlah kita dapat mencapai sila kelima
dari Pancasila kita: “Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Dan bukan tidak mungkin Indonesia akan
mempengaruhi secara positif kedamaian dan kesejahteraan seluruh umat manusia di
bumi ini.
Ditulis
oleh:
Ferry
Yang, PhD
No comments:
Post a Comment