Tuesday, January 10, 2017

Kritik Terhadap Struktur Kurikulum Nasional: Istilah Kompetensi



Competence: The ability to do something well
Kompetensi: Kemampuan melakukan sesuatu dengan baik
Merriam-Webster Dictionary

 "It is easier to do a job right than to explain why you didn’t.”

(Lebih mudah melakukan suatu pekerjaan dengan benar daripada menjelaskan mengapa tidak melakukan dengan benar).
Martin Van Brunen – the 8th President of the United States of America

Telah ditetapkan tujuan Kurikulum Nasional 2013:

Kurikulum 2013 bertujuan untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia.

Ini adalah suatu tujuan yang baik sekali.  Di dalam tujuan ini terdapat perspektif bahwa rakyat Indonesia bukan hanyalah warga negara Indonesia, tetapi juga warga negara dunia.  Wilayah pendidikan nasional menjadi lebih luas berkali-kali lipat di dalam tujuan ini.  Dan tentunya tujuan yang indah ini berusaha mewujudnyatakan hakekat dan dignitas manusia yang tidak dibatasi oleh negara atau bangsa.  Kemanusian di dalam diri setiap insan Indonesia perlu dipertemukan dengan keseluruhan keberadaan manusia di alam semesta ini.  Perkataan Ki Hajar Dewantara bahwa manusia itu seharusnya berbuat hal yang secara ultimat adalah memberi manfaat kepada manusia pada umumnya dipenuhi melalui tujuan yang telah ditetapkan ini.

            Tetapi saya ada satu kritik yang urgent sekali yaitu penggunaan istilah kemampuan di sana.  Permasalahan penggunaan kata kemampuan tersebut ada pada perangkuman dari kualitas manusia Indonesia yang hendak dicapai.  Kemampuan hidup dan kemampuan berkontribusi dijadikan sebagai titik penyatu hasil akhir pendidikan yang hendak dicapai melalui kurikulum nasional 2013.  Adalah kesulitan jika hendak memahami bagaimanakah seseorang dapat dikatakan mampu hidup.  Istilah mampu hidup itu mengganggu.  Sebab hidup adalah pemberian dan bukan kemampuan.  Adalah lebih tepat jika dikatakan “agar memiliki kemampuan boleh hidup sebagai….”  Kedua, hidup itu jauh lebih besar daripada sekedar suatu kemampuan.  Mampu adalah suatu kata yang meletakkan penekanan kepada kekuatan dalam diri subjek nya.  Ketiga, adalah sangat ambisius jika kurikulum nasional 2013 yang notabene hanya berurusan dengan pendidikan formal dikatakan hendak mencapai tujuan yang sedemikian, yaitu mencapai kemampuan hidup.  Pendidikan formal akan sangat kelabakan mendapati beban ini.  Sedangkan untuk memberikan penilaian apakah seorang murid sudah menguasai ilmu termodinamika saja sekolah masih mengalami kesulitan yang luar biasa, apalagi mengukur kemampuan hidup.  Permasalahan terbesar secara teknis nantinya akan terjadi di area assessment.

            Ketika suatu tujuan yang sifatnya abstrak seperti di atas diturunkan menjadi objektif yang terukur, biasanya akan terjadi banyak sekali permasalahan yang pelik.  Ada begitu banyak skenario dan negosiasi yang harus dijalani sampai terjadi keputusan pemilihan objektif yang dianggap memuaskan dan masuk akal.  Kurnas 2013 menterjemahkan tujuan ini menjadi objektif terukur melalui struktur kurikulum nasional.  Di dalam struktur kurikulum tersebut ditemukan tolak ukur yang disebut sebagai Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD).  KI dikatakan sebagai organizing elements dari KD.  Sehingga KD adalah penurunan objektif dari KI.  KD secara logis seharusnya lebih terukur dari KI.  Sebelum melihat lebih jauh mengenai KI dan KD itu sendiri, saya ingin kita mencermati istilah kompetensi disini.

            Seperti yang disebutkan di Merriam-Webster Dictionary, kompetensi adalah kemampuan melakukan sesuatu dengan baik.  Maka kompetensi adalah suatu tindakan yang memiliki kualitas positif.  Misal ketika kita memperhatikan seorang anak mulai belajar berjalan, maka jelas bahwa anak masih dalam proses belajar berjalan, sehingga anak belum kompeten untuk berjalan.  Setelah sekian lama belajar, dan anak akhirnya berhasil mendemonstrasikan kemampuan berjalan yang baik, disitu kita memberikan penilaian bahwa anak kompeten berjalan.  Kalau anak sudah belajar berjalan sekian lama bahkan sampai melampaui standar umum proses belajar berjalan, biasanya anak sudah bisa berjalan dengan baik setelah 3 sampai 6 bulan, tetapi ternyata setelah 3 tahun anak masih belum bisa berjalan, maka kesimpulan penilaian adalah anak tidak atau belum kompeten berjalan.  Kompetensi merujuk kepada hal konkrit, yaitu sesuatu tindakan aktif yang bernilai positif mencapai standar terukur yang ditetapkan.  Dengan kata lain, kompetensi tidak bisa secara normal dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat abstrak.  Hal yang abstrak seperti misalnya cinta, percaya, iman, dan lain lain.  Akan sangat aneh mengatakan bahwa seseorang kompeten mencintai atau kompeten mengimani.  Kata kompeten tidak cocok dipakai disana karena denotasi dan konotasi yg tidak mengarah kepada hal yang sifatnya abstrak sedemikian.  Yang lebih cocok adalah kompeten mengekspresikan cinta atau kompeten mengekspresikan iman.  Jadi penekanan kompetensinya bukan pada kompetensi mencintai, tetapi pada pengekspresian dari cinta.  Karena mencintai bukan soal kompetensi.  Mencintai adalah natur dasar manusia.  Pengekspresiannyalah yang membutuhkan kompetensi.  Demikian juga dengan iman, penghayatan, ibadah, dan lain lain.

            KI dalam kurnas 2013 dibagi menjadi 4, yaitu KI 1 yang adalah standar kompetensi untuk sikap spiritual, KI 2 untuk sikap sosial, KI 3 untuk pengetahuan, dan KI 4 untuk ketrampilan.  Yang menjadi masalah adalah di KI 1 dan 2, yaitu pada peletakan kondisi “menghayati” di dalam standar kompetensi.  Istilah menghayati adalah suatu istilah abstrak yang tidak dapat diukur.  Bagaimana orang bisa mengukur pengalaman batin?  Jika harus diukur maka hanya dapat dilakukan dengan diturunkan kepada level pengekspresian atau pendemonstrasian.  Bagi kita yang memahami kerumitan masalah penilaian dan evaluasi (assessment and evaluation), kita menyadari bahwa ketika terjadi penurunan level maka pastilah terjadi reduksi yang berakibat kepada melesetnya pengukuran.  Mengamalkan adalah hal lain.  Mengamalkan dapat diukur.  Di dalam KI 1 dan 2 dikatakan “menghayati dan mengamalkan.”  Mengukur penghayatan hanya mungkin dilakukan melalui pengalaman.  Tetapi yang seringkali kelewatan adalah bawah ketika orang didapati kompeten dalam mengamalkan kasih kepada sesama, bukan berarti orang tersebut sudah pasti menghayati.  Orang yang menghayati pasti mengamalkan, ini adalah logika spiritual yang tidak bisa dibantah.  Tetapi orang yang mengamalkan belum tentu menghayati.  Lantas bagaimana bisa mengetahui bahwa seseorang itu sudah menghayati atau belum?  Seorang yang bernama Jonathan Edwards, President dari College of New Jersey (sekarang Princeton University), pernah mengulas secara panjang lebar mengenai iman dan afektif dari keagamaan dalam bukunya “Religious Affections,” yang mana hal spiritual sedemikian dapat dipalsukan dengan kegiatan keagaamaan.  Maka yang tahu keotentikan keimanan dan afektif keagamaan seseorang hanyalah orang itu sendiri dan Tuhan.  Ekspresi keagamaan tidak otomatis memberikan ukuran pasti akan kualitas keimanan dan afektif keagamaan seseorang.  Maka sebetulnya istilah “menghayati” di dalam KI 1 dan 2 itu kurang tepat.  Dan lebih jauh lagi, penggunaan kata kompetensi (memiliki kemampuan) untuk menjadi standar demi mengukur hal yang sifatnya abstrak seperti iman, menghayati, dan afektif adalah kurang tepat.

            Tahun 2000 setelah saya menyelesaikan studi master saya di bidang pendidikan, saya diundang untuk menjadi pembicara memberikan training bagi para guru-guru di Jawa Timur.  Waktu itu para guru bingung dengan konsep KBK (kurikulum berbasis kompetensi) yang mana terjadi perubahan format penilaian.  Penilaian yang dulu sebelum KBK hanyalah berfokus kepada aspek kognitif saja, sekarang harus menilai afektif dan prilaku.  Para guru semua bertanya hal yang sama dan komplain hal yang sama pula, yaitu mereka sama sekali tidak tahu bagaimana menilai afektif dan prilaku.  Saya memahami sekali pergumulan para guru.  Memang sangat sulit sekali.  Lebih mudah adalah menilai apakah murid menjawab mata pelajaran matematika 2+2 benar atau salah.  Jika jawabnya 4, maka murid benar.  Jika dijawab 5 maka salah. 2+2 hanya bisa dijawab 4 jika mau benar.  Selain itu pastilah salah.  Bagaimana mengukur afektif?  Afektif apa yang akan diukur?  Bagaimana mengukur bahwa murid itu memiliki empati terhadap anak yatim?  Bahkan mengukur apakah prilaku murid itu baik atau tidak, para guru itu mengalami kesulitan.  Bagaimanakah guru memberi nilai prilaku kepada murid yang membolos sekolah?  Bagi banyak orang, membolos itu adalah prilaku buruk, maka nilainya ya pasti negatif.  Bagaimana jika alasan membolos adalah menolong orang tua yang sedang sakit?  Apakah prilaku membolos itu menjadi negatif?  Mana yang mau dinilai?  Waktu saya mendengar kebingunan para guru itu saya menyadari dengan jelas bahwa assessment adalah salah satu elemen yang paling sulit di dalam perihal kurikulum.  Saya akan membahas lebih detil mengenai assessment ini di tulisan yang lain.  Tetapi ini hanyalah contoh bagiamana istilah kompetensi yang disandingkan dengan menghayati, iman, afektif, justru menimbulkan kesulitan yang luar biasa.  Perlu disadari bahwa peletakan istilah kompetensi itu sendiri untuk mengakomodasi pengukuran pencapaian tujuan kurikulum nasional 2013 adalah problematik.

            Di dalam kurnas 2013 dibagi tiga bagian level, yaitu SD, SMP, dan SMA/SMK/SMAK.  Di dalam level SMA/SMK/SMAK ditemukan kata “menghayati dan mengamalkan” dalam KI 1 dan 2.  Dalam level SD ditemukan kata “menerima dan menjalankan” di KI 1.  Sedang di level SMP digunakan kata “menghargai dan menghayati” dalam KI 1 dan 2.  Sama saja dengan kata “menghayati,” kata “menghargai” dan “menerima” juga merupakan kata yang tidak bisa diukur dalam hal ini tanpa diturunkan ke level ekspresi.  Bagaimanakah seseorang dikatakan kompeten “menghargai” atau “menerima” ajaran agama yang dianutnya?  Jujur ada ketidaksinkronan di dalam istilah “kompeten menghargai” atau “kompeten menerima” atau “kompeten menghayati.”  Bagaimana seseorang dapat dinilai “tidak kompeten menghayati” atau “tidak kompeten menghargai” atau “tidak kompeten menerima”?  Menghayati, menghargai, dan menerima bukanlah soal kompetensi.  Kata-kata itu tidak masuk dalam kategori kompetensi.

            KD sebetulnya adalah standar ukur operasional yang dimaksudkan untuk menilai apakah murid sudah mencapai ketentuan minimum pada setiap mata pelajaran.  Tentunya sebagai standar ukur operasional, KD harus sudah sangat konkrit sifatnya.  Semua yang sifatnya abstrak haruslah tidak lagi ditemukan di wilayah ini.  Tetapi bila kita melihat kurnas 2013 kita akan menemukan kata abstrak seperti menghayati masih dipakai bahkan di level KD.  Maka KD yang sedianya adalah mengkonkritkan KI justru masih bersifat abstrak.  Sehingga ada 3 level abstrak yang dijabarkan di kurnas 2013, pertama pada level tujuan, kedua pada level KI, dan ketiga pada level KD.  Maka ketika dokumen ini diterima oleh sekolah, sekolah mengalami kesulitan luar biasa untuk menginterpretasi struktur kurikulum eksplisit ini.  Yang lebih sulit lagi adalah bahwa KD belum tentu cukup untuk mengakomodasi KI, dan KI belum tentu cukup untuk mengakomodasi tujuan.  Jika KD tidak bisa mengakomodasi KI maka semua kegiatan belajar mengajar di kelas tidak akan memenuhi KI.  Jika KI tidak dipenuhi maka, secara logis mengikuti dokumen yang ada, otomatis kegiatan belajar mengajar di sekolah tidak mencapai tujuan seperti yang diaturkan di kurnas 2013.  Jika ternyata walaupun KD dan KI tidak dicapai oleh sekolah, tetapi sekolah justru mencapai tujuan kurnas 2013, maka struktur kurikulum adalah merupakan kegagalan pemetaan kurikulum eksplisit.

            Di dalam ranah filsafat, pertempuran yang sesungguhnya adalah pada penamaan.  Memberikan nama yang tepat adalah usaha yang dilakukan oleh manusia sejak permulaan sejarah.  Para ahli menuliskan tesis adalah perjuangan memberikan nama yang tepat terhadap apapun yang diselidikinya.  Entah itu suatu riset tentang kejadian, percobaan laboratorium, survey sosial, penggalian arkeologi, penginterpretasian dokumen kuno, dan lain sebagainya.  Semua penulisan tesis adalah usaha memberikan nama yang benar dan tepat.  Peperangan yang sejati di dalam dunia akademis adalah persoalan nama.  Bahkan di pengadilan pun peperangannya ada pada penamaan.  Jika terjadi penamaan yang keliru, maka seluruh konsep pemikiran dibelakangnya akan menjadi keliru pula.  Misal, jika ada orang tua memukul pantat anaknya tiga kali karena dia melanggar perintah, maka sebutan apakah yang diberikan atas tindakan orang tua yang memukul pantat anaknya?  Apakah disebut sebagai tindakan “disiplin” ataukah tindakan “abuse”?  Kata “disiplin” membawa konsep pemikiran yang jauh sekali perbedaannya dengan kata “abuse.”  Jika keliru memberi nama, maka keputusan yang diambil pun akan menjadi keliru.  Ada orang tua yang suatu saat menyita telpon genggam anaknya karena anaknya tidak pernah menjawab telpon orang tuanya ataupun sms orang tuanya.  Anak ini, usia remaja, marah dan lalu menelpon polisi melaporkan orang tuanya bahwa mereka sedang meng”abuse” dia.  Begitu mendengar kata “abuse” polisi langsung pergi ke rumah mereka dan menangkap orang tuanya, membawanya ke kantor polisi, dan menuntutnya dengan tuntutan “abuse.”  Ini betul-betul terjadi, dan bukan hanya imajinasi.  Lain jika anak itu menelpon polisi lalu dia memakai kata “disiplin,” maka saya yakin polisi tidak akan datang dan menangkap orang tuanya, apalagi menuntut mereka.  Nama harus tepat.  Jika nama tidak tepat maka hasilnya ada kekacauan.  Maka perlu dikaji ulang pemakaian istilah di dalam kurnas 2013 jika hendak mencapai penulisan kurikulum eksplisit yang solid dan konkrit, khususnya pada wilayah tujuan, KI, dan KD.

            Mata pihak sekolah tertuju kepada 3 level ini (tujuan, KI, dan KD) ketika membaca dokumen kurnas 2013 ini.  Jika acuan ini tidak jelas, maka pihak sekolah pasti akan sangat kebingungan di dalam menginterpretasi maksud kurnas 2013.  Jika interpretasinya gagal maka dapat dipastikan jalannya pendidikan formal di Indonesia pastilah tidak sesuai dengan kurnas 2013.  Jika tidak sesuai, maka kurnas 2013 pastilah tidak bisa dikatakan berhasil.  Terlepas dari baik atau tidak kurnas 2013 itu, tetapi permasalahan istilah saja sudah mampu menggagalkan usaha pengorganisasian pendidikan formal secara nasional melalui kurnas 2013 yang diatur oleh undang-undang.  Maka akan sangat sulit mengharuskan pihak sekolah untuk mengikuti kurnas 2013 yang pembahasaan penjelasannya problematik.  Kekacauan berikutnya ada pada level praktis dimana jika pihak sekolah memilih untuk tidak mengikuti kurnas 2013 atas alasan kegagalan penginterpretasian dan implementasi rasional kurnas 2013 seperti yang dijabarkan di atas, apakah lantas sekolah keliru dalam menjalankan pendidikan formal?  Bukankah justru adalah kegagalan jika malah memaksakan untuk mengikuti kurnas 2013 yang problematik?  Kegagalan-kegagalan seperti ini dapat diminimalisasi dan dihindari jika penulisan kurikulum eksplisit nasional ini dilakukan dengan hati-hati dan sangat teliti sampai kepada pemilihan katanya.  Semua ahli kurikulum menyarankan bahwa setiap pendesainan kurikulum (eksplisit) haruslah disertai dengan evaluasi yang ketat setiap tahun.  Evaluasi dimaksudkan untuk memperbaiki yang keliru dan meningkatkan apa yang ada.  Hal ini adalah keharusan mengingat betapa kompleksnya kurikulum eksplisit itu pada dirinya sendiri, apalagi implikasinya yang menyentuh level kehidupan sampai pada pembentukan cara pandang semesta dari setiap peserta proses belajar mengajar tersebut.

No comments:

Post a Comment