Competence: The ability to do something well
Kompetensi: Kemampuan melakukan sesuatu dengan baik
Merriam-Webster
Dictionary
"It is easier to do a job right than to explain why you didn’t.”
(Lebih mudah melakukan suatu pekerjaan dengan benar daripada menjelaskan mengapa tidak melakukan dengan benar).
Martin Van Brunen – the 8th President of the United States of America
Telah ditetapkan tujuan Kurikulum Nasional 2013:
Kurikulum 2013 bertujuan untuk mempersiapkan
manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga
negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu
berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban
dunia.
Ini
adalah suatu tujuan yang baik sekali. Di
dalam tujuan ini terdapat perspektif bahwa rakyat Indonesia
bukan hanyalah warga negara Indonesia,
tetapi juga warga negara dunia. Wilayah
pendidikan nasional menjadi lebih luas berkali-kali lipat di dalam tujuan
ini. Dan tentunya tujuan yang indah ini
berusaha mewujudnyatakan hakekat dan dignitas manusia yang tidak dibatasi oleh
negara atau bangsa. Kemanusian di dalam
diri setiap insan Indonesia
perlu dipertemukan dengan keseluruhan keberadaan manusia di alam semesta
ini. Perkataan Ki Hajar Dewantara bahwa
manusia itu seharusnya berbuat hal yang secara ultimat adalah memberi manfaat
kepada manusia pada umumnya dipenuhi melalui tujuan yang telah ditetapkan ini.
Tetapi saya ada satu kritik yang
urgent sekali yaitu penggunaan istilah kemampuan di sana.
Permasalahan penggunaan kata kemampuan tersebut ada pada perangkuman
dari kualitas manusia Indonesia
yang hendak dicapai. Kemampuan hidup dan
kemampuan berkontribusi dijadikan sebagai titik penyatu hasil akhir pendidikan
yang hendak dicapai melalui kurikulum nasional 2013. Adalah kesulitan jika hendak memahami
bagaimanakah seseorang dapat dikatakan mampu hidup. Istilah mampu hidup itu mengganggu. Sebab hidup adalah pemberian dan bukan
kemampuan. Adalah lebih tepat jika
dikatakan “agar memiliki kemampuan boleh
hidup sebagai….” Kedua, hidup itu jauh
lebih besar daripada sekedar suatu kemampuan.
Mampu adalah suatu kata yang meletakkan penekanan kepada kekuatan dalam
diri subjek nya. Ketiga, adalah sangat
ambisius jika kurikulum nasional 2013 yang notabene hanya berurusan dengan
pendidikan formal dikatakan hendak mencapai tujuan yang sedemikian, yaitu
mencapai kemampuan hidup. Pendidikan
formal akan sangat kelabakan mendapati beban ini. Sedangkan untuk memberikan penilaian apakah
seorang murid sudah menguasai ilmu termodinamika saja sekolah masih mengalami
kesulitan yang luar biasa, apalagi mengukur kemampuan hidup. Permasalahan terbesar secara teknis nantinya
akan terjadi di area assessment.
Ketika suatu tujuan yang sifatnya
abstrak seperti di atas diturunkan menjadi objektif yang terukur, biasanya akan
terjadi banyak sekali permasalahan yang pelik.
Ada
begitu banyak skenario dan negosiasi yang harus dijalani sampai terjadi keputusan
pemilihan objektif yang dianggap memuaskan dan masuk akal. Kurnas 2013 menterjemahkan tujuan ini menjadi
objektif terukur melalui struktur kurikulum nasional. Di dalam struktur kurikulum tersebut
ditemukan tolak ukur yang disebut sebagai Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi
Dasar (KD). KI dikatakan sebagai
organizing elements dari KD. Sehingga KD
adalah penurunan objektif dari KI. KD secara
logis seharusnya lebih terukur dari KI.
Sebelum melihat lebih jauh mengenai KI dan KD itu sendiri, saya ingin
kita mencermati istilah kompetensi disini.
Seperti yang disebutkan di
Merriam-Webster Dictionary, kompetensi adalah kemampuan melakukan sesuatu
dengan baik. Maka kompetensi adalah
suatu tindakan yang memiliki kualitas positif.
Misal ketika kita memperhatikan seorang anak mulai belajar berjalan,
maka jelas bahwa anak masih dalam proses belajar berjalan, sehingga anak belum
kompeten untuk berjalan. Setelah sekian
lama belajar, dan anak akhirnya berhasil mendemonstrasikan kemampuan berjalan
yang baik, disitu kita memberikan penilaian bahwa anak kompeten berjalan. Kalau anak sudah belajar berjalan sekian lama
bahkan sampai melampaui standar umum proses belajar berjalan, biasanya anak
sudah bisa berjalan dengan baik setelah 3 sampai 6 bulan, tetapi ternyata
setelah 3 tahun anak masih belum bisa berjalan, maka kesimpulan penilaian
adalah anak tidak atau belum kompeten berjalan.
Kompetensi merujuk kepada hal konkrit, yaitu sesuatu tindakan aktif yang
bernilai positif mencapai standar terukur yang ditetapkan. Dengan kata lain,
kompetensi tidak bisa secara normal dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat
abstrak. Hal yang abstrak seperti misalnya
cinta, percaya, iman, dan lain lain. Akan sangat aneh mengatakan bahwa seseorang kompeten mencintai atau
kompeten mengimani. Kata kompeten tidak
cocok dipakai disana karena denotasi dan konotasi yg tidak mengarah kepada hal
yang sifatnya abstrak sedemikian. Yang
lebih cocok adalah kompeten mengekspresikan cinta atau kompeten mengekspresikan
iman. Jadi penekanan kompetensinya bukan
pada kompetensi mencintai, tetapi pada pengekspresian dari cinta. Karena mencintai bukan soal kompetensi. Mencintai adalah natur dasar manusia. Pengekspresiannyalah yang membutuhkan
kompetensi. Demikian juga dengan iman,
penghayatan, ibadah, dan lain lain.
KI dalam
kurnas 2013 dibagi menjadi 4, yaitu KI 1 yang adalah standar kompetensi untuk
sikap spiritual, KI 2 untuk sikap sosial, KI 3 untuk pengetahuan, dan KI 4
untuk ketrampilan. Yang menjadi masalah
adalah di KI 1 dan 2, yaitu pada peletakan kondisi “menghayati” di dalam
standar kompetensi. Istilah menghayati
adalah suatu istilah abstrak yang tidak dapat diukur. Bagaimana orang bisa mengukur pengalaman
batin? Jika harus diukur maka hanya
dapat dilakukan dengan diturunkan kepada level pengekspresian atau
pendemonstrasian. Bagi kita yang
memahami kerumitan masalah penilaian dan evaluasi (assessment and evaluation),
kita menyadari bahwa ketika terjadi penurunan level maka pastilah terjadi
reduksi yang berakibat kepada melesetnya pengukuran. Mengamalkan adalah hal lain. Mengamalkan dapat diukur. Di dalam KI 1 dan 2 dikatakan “menghayati dan
mengamalkan.” Mengukur penghayatan hanya
mungkin dilakukan melalui pengalaman.
Tetapi yang seringkali kelewatan adalah bawah ketika orang didapati
kompeten dalam mengamalkan kasih kepada sesama, bukan berarti orang tersebut
sudah pasti menghayati. Orang yang
menghayati pasti mengamalkan, ini adalah logika spiritual yang tidak bisa
dibantah. Tetapi orang yang mengamalkan
belum tentu menghayati. Lantas bagaimana
bisa mengetahui bahwa seseorang itu sudah menghayati atau belum? Seorang yang bernama Jonathan Edwards,
President dari College of New Jersey (sekarang Princeton University), pernah
mengulas secara panjang lebar mengenai iman dan afektif dari keagamaan dalam
bukunya “Religious Affections,” yang mana hal spiritual sedemikian dapat
dipalsukan dengan kegiatan keagaamaan. Maka
yang tahu keotentikan keimanan dan afektif keagamaan seseorang hanyalah orang
itu sendiri dan Tuhan. Ekspresi keagamaan
tidak otomatis memberikan ukuran pasti akan kualitas keimanan dan afektif
keagamaan seseorang. Maka sebetulnya
istilah “menghayati” di dalam KI 1 dan 2 itu kurang tepat. Dan lebih jauh lagi, penggunaan kata
kompetensi (memiliki kemampuan) untuk menjadi standar demi mengukur hal yang
sifatnya abstrak seperti iman, menghayati, dan afektif adalah kurang tepat.
Tahun
2000 setelah saya menyelesaikan studi master saya di bidang pendidikan, saya
diundang untuk menjadi pembicara memberikan training bagi para guru-guru di
Jawa Timur. Waktu itu para guru bingung
dengan konsep KBK (kurikulum berbasis kompetensi) yang mana terjadi perubahan
format penilaian. Penilaian yang dulu
sebelum KBK hanyalah berfokus kepada aspek kognitif saja, sekarang harus menilai
afektif dan prilaku. Para guru semua
bertanya hal yang sama dan komplain hal yang sama pula, yaitu mereka sama
sekali tidak tahu bagaimana menilai afektif dan prilaku. Saya memahami sekali pergumulan para
guru. Memang sangat sulit sekali. Lebih mudah adalah menilai apakah murid
menjawab mata pelajaran matematika 2+2 benar atau salah. Jika jawabnya 4, maka murid benar. Jika dijawab 5 maka salah. 2+2 hanya bisa
dijawab 4 jika mau benar. Selain itu
pastilah salah. Bagaimana mengukur
afektif? Afektif apa yang akan
diukur? Bagaimana mengukur bahwa murid
itu memiliki empati terhadap anak yatim?
Bahkan mengukur apakah prilaku murid itu baik atau tidak, para guru itu
mengalami kesulitan. Bagaimanakah guru
memberi nilai prilaku kepada murid yang membolos sekolah? Bagi banyak orang, membolos itu adalah
prilaku buruk, maka nilainya ya pasti negatif.
Bagaimana jika alasan membolos adalah menolong orang tua yang sedang
sakit? Apakah prilaku membolos itu
menjadi negatif? Mana yang mau
dinilai? Waktu saya mendengar kebingunan
para guru itu saya menyadari dengan jelas bahwa assessment adalah salah satu
elemen yang paling sulit di dalam perihal kurikulum. Saya akan membahas lebih detil mengenai
assessment ini di tulisan yang lain.
Tetapi ini hanyalah contoh bagiamana istilah kompetensi yang
disandingkan dengan menghayati, iman, afektif, justru menimbulkan kesulitan
yang luar biasa. Perlu disadari bahwa
peletakan istilah kompetensi itu sendiri untuk mengakomodasi pengukuran
pencapaian tujuan kurikulum nasional 2013 adalah problematik.
Di dalam kurnas 2013 dibagi tiga
bagian level, yaitu SD, SMP, dan SMA/SMK/SMAK.
Di dalam level SMA/SMK/SMAK ditemukan kata “menghayati
dan mengamalkan” dalam KI 1 dan 2. Dalam
level SD ditemukan kata “menerima dan menjalankan” di KI 1. Sedang di level SMP digunakan kata
“menghargai dan menghayati” dalam KI 1 dan 2.
Sama saja dengan kata “menghayati,” kata “menghargai” dan “menerima”
juga merupakan kata yang tidak bisa diukur dalam hal ini tanpa diturunkan ke
level ekspresi. Bagaimanakah seseorang
dikatakan kompeten “menghargai” atau “menerima” ajaran agama yang
dianutnya? Jujur ada ketidaksinkronan di
dalam istilah “kompeten menghargai” atau “kompeten menerima” atau “kompeten
menghayati.” Bagaimana seseorang dapat
dinilai “tidak kompeten menghayati” atau “tidak kompeten menghargai” atau
“tidak kompeten menerima”? Menghayati,
menghargai, dan menerima bukanlah soal kompetensi. Kata-kata itu tidak masuk dalam kategori
kompetensi.
KD
sebetulnya adalah standar ukur operasional yang dimaksudkan untuk menilai
apakah murid sudah mencapai ketentuan minimum pada setiap mata pelajaran. Tentunya sebagai standar ukur operasional, KD
harus sudah sangat konkrit sifatnya.
Semua yang sifatnya abstrak haruslah tidak lagi ditemukan di wilayah
ini. Tetapi bila kita melihat kurnas
2013 kita akan menemukan kata abstrak seperti menghayati masih dipakai bahkan
di level KD. Maka KD yang sedianya
adalah mengkonkritkan KI justru masih bersifat abstrak. Sehingga ada 3 level abstrak yang dijabarkan
di kurnas 2013, pertama pada level tujuan, kedua pada level KI, dan ketiga pada
level KD. Maka ketika dokumen ini
diterima oleh sekolah, sekolah mengalami kesulitan luar biasa untuk
menginterpretasi struktur kurikulum eksplisit ini. Yang lebih sulit lagi adalah bahwa KD belum
tentu cukup untuk mengakomodasi KI, dan KI belum tentu cukup untuk
mengakomodasi tujuan. Jika KD tidak bisa
mengakomodasi KI maka semua kegiatan belajar mengajar di kelas tidak akan memenuhi
KI. Jika KI tidak dipenuhi maka, secara
logis mengikuti dokumen yang ada, otomatis kegiatan belajar mengajar di sekolah
tidak mencapai tujuan seperti yang diaturkan di kurnas 2013. Jika ternyata walaupun KD dan KI tidak
dicapai oleh sekolah, tetapi sekolah justru mencapai tujuan kurnas 2013, maka
struktur kurikulum adalah merupakan kegagalan pemetaan kurikulum eksplisit.
Di dalam ranah filsafat, pertempuran
yang sesungguhnya adalah pada penamaan.
Memberikan nama yang tepat adalah usaha yang dilakukan oleh manusia
sejak permulaan sejarah. Para ahli menuliskan tesis adalah perjuangan memberikan
nama yang tepat terhadap apapun yang diselidikinya. Entah itu suatu riset tentang kejadian,
percobaan laboratorium, survey sosial, penggalian arkeologi, penginterpretasian
dokumen kuno, dan lain sebagainya. Semua penulisan tesis adalah usaha memberikan nama yang benar dan
tepat. Peperangan yang sejati di dalam
dunia akademis adalah persoalan nama.
Bahkan di pengadilan pun peperangannya ada pada penamaan. Jika terjadi penamaan yang keliru, maka seluruh
konsep pemikiran dibelakangnya akan menjadi keliru pula. Misal, jika ada orang tua memukul pantat
anaknya tiga kali karena dia melanggar perintah, maka sebutan apakah yang
diberikan atas tindakan orang tua yang memukul pantat anaknya? Apakah disebut sebagai tindakan “disiplin”
ataukah tindakan “abuse”? Kata
“disiplin” membawa konsep pemikiran yang jauh sekali perbedaannya dengan kata
“abuse.” Jika keliru memberi nama, maka
keputusan yang diambil pun akan menjadi keliru.
Ada orang tua yang suatu saat menyita telpon genggam anaknya karena
anaknya tidak pernah menjawab telpon orang tuanya ataupun sms orang
tuanya. Anak ini, usia remaja, marah dan
lalu menelpon polisi melaporkan orang tuanya bahwa mereka sedang meng”abuse”
dia. Begitu mendengar kata “abuse”
polisi langsung pergi ke rumah mereka dan menangkap orang tuanya, membawanya ke
kantor polisi, dan menuntutnya dengan tuntutan “abuse.” Ini betul-betul terjadi, dan bukan hanya
imajinasi. Lain jika anak itu menelpon
polisi lalu dia memakai kata “disiplin,” maka saya yakin polisi tidak akan
datang dan menangkap orang tuanya, apalagi menuntut mereka. Nama harus tepat. Jika nama tidak tepat maka hasilnya ada
kekacauan. Maka perlu dikaji ulang
pemakaian istilah di dalam kurnas 2013 jika hendak mencapai penulisan kurikulum
eksplisit yang solid dan konkrit, khususnya pada wilayah tujuan, KI, dan KD.
Mata
pihak sekolah tertuju kepada 3 level ini (tujuan, KI, dan KD) ketika membaca
dokumen kurnas 2013 ini. Jika acuan ini
tidak jelas, maka pihak sekolah pasti akan sangat kebingungan di dalam
menginterpretasi maksud kurnas 2013. Jika
interpretasinya gagal maka dapat dipastikan jalannya pendidikan formal di
Indonesia pastilah tidak sesuai dengan kurnas 2013. Jika tidak sesuai, maka kurnas 2013 pastilah
tidak bisa dikatakan berhasil. Terlepas
dari baik atau tidak kurnas 2013 itu, tetapi permasalahan istilah saja sudah
mampu menggagalkan usaha pengorganisasian pendidikan formal secara nasional
melalui kurnas 2013 yang diatur oleh undang-undang. Maka akan sangat sulit mengharuskan pihak
sekolah untuk mengikuti kurnas 2013 yang pembahasaan penjelasannya
problematik. Kekacauan berikutnya ada
pada level praktis dimana jika pihak sekolah memilih untuk tidak mengikuti
kurnas 2013 atas alasan kegagalan penginterpretasian dan implementasi rasional
kurnas 2013 seperti yang dijabarkan di atas, apakah lantas sekolah keliru dalam
menjalankan pendidikan formal? Bukankah
justru adalah kegagalan jika malah memaksakan untuk mengikuti kurnas 2013 yang
problematik? Kegagalan-kegagalan seperti
ini dapat diminimalisasi dan dihindari jika penulisan kurikulum eksplisit
nasional ini dilakukan dengan hati-hati dan sangat teliti sampai kepada
pemilihan katanya. Semua ahli kurikulum
menyarankan bahwa setiap pendesainan kurikulum (eksplisit) haruslah disertai
dengan evaluasi yang ketat setiap tahun.
Evaluasi dimaksudkan untuk memperbaiki yang keliru dan meningkatkan apa
yang ada. Hal ini adalah keharusan
mengingat betapa kompleksnya kurikulum eksplisit itu pada dirinya sendiri,
apalagi implikasinya yang menyentuh level kehidupan sampai pada pembentukan
cara pandang semesta dari setiap peserta proses belajar mengajar tersebut.
No comments:
Post a Comment