Friday, January 6, 2017

Kritik Terhadap Masalah Guru di Indonesia: Terhormat atau Terhina?



“Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani Di depan menjadi teladan, Di tengah membangkitkan semangat, Di belakang memberikan motivasi.” 

Ki Hajar Dewantara

Moto dari sekolah Taman Siswa yang didirikan Ki Hajar Dewantara di tahun 1922 di Yogyakarta ini menjadi moto pendidikan di seluruh negri. Taman Siswa adalah pelopor sekolah Indonesia yang membuka kesempatan bagi seluruh rakyat tanpa memandang ras, status sosial, kemampuan ekonomi. Taman Siswa merupakan jawaban kepada sistem sekolah kolonial yang mendiskriminasi orang-orang Indonesia. Moto Taman Siswa ini menjadi prinsip dasar bagi para guru di seluruh tanah air. Bagaimana seorang guru ideal itu dimengerti oleh Ki Hajar Dewantara, diekspresikan secara tuntas dan elegan di dalam moto tersebut.

Telah dikenal dan sering didengungkan kata-kata: “Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa.” Ketika kata-kata ini disampaikan, maksudnya adalah memberikan pujian yang tak ternilai harganya. Sebetulnya ini adalah pujian yang sangat baik dan penuh dengan dignitas. Apalagi ketika dipahami dalam konteks perjuangan kemerdekaan di dalam pertempuran medan perang yang dipenuhi dengan tetesan darah dan penyerahan nyawa. Guru yang sedianya adalah mengerjakan proses belajar mengajar dalam situasi yang kondusif disamakan dengan pahlawan yang menghadapi resiko terluka, kehilangan anggota tubuh, dan bahkan kematian.

Jika pahlawan di medan tempur mendapatkan tanda jasa yang akan dikenang selama-lamanya, guru dikatakan tidak mendapatkan tanda jasa itu. Pahlawan yang satu ini sampai matipun tidak akan mendapatkan tanda jasa kehormatan seperti para pahlawan yang bertempur di medan perang. Dianggapnya guru sebagai pahlawan adalah karena kualitas dan kepentingannya diakui sebagai esensial di dalam pembentukan moral dan intelektual rakyat. Tanpa guru ada maka proses pendidikan tidak akan pernah bisa berjalan.

Posisi sebagai guru tidak boleh dieliminasi jika suatu bangsa hendak memiliki moral dan intelektual yang baik dan kuat. Generasi muda perlu dididik sedemikian rupa untuk boleh bertumbuh dengan sehat dan dewasa.
Suatu masyarakat yang tidak memiliki generasi muda dapat dipastikan tidak punya masa depan. Masa depan suatu bangsa, bahkan masa depan dunia secara keseluruhan ada di pundak generasi muda. Maka keberadaan guru sangatlah penting adanya. Dan kata-kata “Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa” mengandung kebenaran yang dalam maknanya. 

Tetapi seiring bergulirnya waktu kata-kata tersebut hanya menjadi kata-kata kosong belaka. Malahan label tersebut sangat mudah sekali dieksploitasi dengan menekankan janji moral dignitas yang takternilai harganya dengan negosiasi pengabdian sepenuhnya walau tanpa bayaran yang sesuai sekalipun. Terjadilah penurunan derajat dan dignitas guru di titik ini. Khususnya pada profesi guru sekolah. Sampai-sampai kata guru tidak lagi menjadi kata yang menyegarkan lagi. Tidak lagi kata guru menjadi kata yang memiliki kehormatan dan kewibawaan yang agung. Istilah guru lekat sekali dengan konteks hidup pas-pasan, ke sekolah naik sepeda, yang tidak mampu melakukan mengajar, profesi terhina, kumpulan orang-orang yang tidak mampu mendapatkan kerja yang sesungguhnya, dan lain sebagainya.

Maka para guru di universitaspun tidak mau disebut sebagai guru, tetapi lebih memilih istilah dosen atau staf pengajar atau professor. Jika ada anak beraspirasi menjadi guru, langsung orang tuanya mengintervensi dan mengkoreksi anaknya supaya memilih profesi yang lain. Orang tua dengan sigap langsung menawarkan tiga profesi besar kepada anaknya: dokter, insinyur, dan pengusaha. Sebab tiga profesi tersebut adalah profesi terhormat yang mendatangkan ketenaran dan kekayaan yang besar. “Jangan jadi guru nak, nanti kamu mau makan apa?” itulah perkataan orang tua yang selalu didengung-dengungkan kepada anak-anaknya.

Maka tanpa sadar anak-anak mulai menjauhi jalur menjadi guru tersebut. Sehingga beberapa dekade kemudian, menjadi guru adalah pilihan terakhir, jika terpaksa, dan jika memang sudah tidak lagi ada kesempatan yang lain. Profesi guru hanyalah sebagai batu loncatan untuk menyambung hidup sementara. Sebutan guru pun akhirnya hanya menempel kepada profesi guru sekolah yang memang dipenuhi kemiskinan dan kesusahan hidup minus kehormatan pahlawan. Eksploitasi berjalan terus menjadi suatu budaya di dalam masyarakat yang menjadikannya norma dan standar bagi profesi guru. Bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, sehingga mereka tidak perlu diberi gaji yang layak, sebab mereka itu superman dan cukup hidup hanya dengan gaji ala kadarnya, itulah kehormatan mereka. Ekploitasi tersebut merampas harga diri mereka yang berprofesi menjadi guru, menginjak-injaknya sampai hancur di debu tanah, dan mencampakkannya ke tong sampah. 

Yang tidak disadari adalah bahwa eksploitasi tersebut merampas pula kecerdasan bangsa. Dengan posisi kenyamanan sekolah menggaji guru dengan gaji ala kadarnya, sekolah mampu membangun gedung yang bagus sekali. Dengan posisi kenyamanan itu pula sekolah meletakkan standar gaji guru. Maka ketika tiba waktu perekrutan guru, merekapun hanya mendapatkan guru yang kualitasnya tidak sesuai dengan yang diidealkan di dunia manapun. Yang jelas tidak memenuhi kualitas yang dimimpikan oleh Ki Hajar Dewantara. Tetapi apa boleh buat, standar sudah dibakukan, maka tidak dapat memberi perkecualian meningkatkan gaji.

Dana sudah dialokasi untuk pembangunan fisik. Akhirnya harus menerima mendapatkan yang terbaik di antara yang terburuk. Dan sekian lama terjadi, diulang berkali-kali, akhirnya menjadi norma standar pula bahwa guru itu kualitasnya ya begitu itu. Semakin kualitasnya tidak memenuhi yang diimpikan semakin kokohlah gaji yang rendah itu. “Lingkaran setan” akhirnya terbentuk dan tidak mudah untuk dipatahkan. Sebab mereka-mereka yang memiliki kualitas guru yang hebat mulai dari moral sampai intelektualnya serta ketrampilan dan pengetahuannya sudah sejak kecil dihalang-halangi menjadi guru. Dan bahkan ketika beranjak dewasapun menyaksikan sendiri betapa malangnya hidup sebagai guru, sehingga kenyataan itu menghentikan langkahnya untuk memilih profesi tersebut.

Akhirnya sekolah guru dipenuhi dengan mereka-mereka yang hanya karena terpaksa menjadi guru. Maka bagi orang-orang tersebut profesi guru hanyalah tempat mendapatkan uang untuk bisa hidup sementara selagi belum ada kesempatan yang lebih baik. Murid-murid, yang adalah anak-anak kita, anak-anak bangsa, generasi penerus dunia, akhirnya tidak mendapatkan kualitas pendidikan formal yang terbaik, tetapi justru mendapatkan kualitas pendidikan formal yang kualitas rendah. Tidak heran mencari guru dikatakan susah sekali.

Memang susah jika yang dicari adalah guru yang ideal. Sebab mimpi itu sudah dimatikan sejak dini. Saya tidak menyangkal ada guru-guru yang memiliki kualitas terbaik walaupun digaji dengan tidak layak. Tetapi guru-guru terbaik seperti itu sangatlah langka. Mereka itu seperti barang antik atau suatu spesies yang hampir punah. Yang banyak adalah justru yang bukan terbaik. Maka dari 1000 guru yang melamar, belum tentu ada satu yang kualitas terbaik. Kalau sudah begini, nasi sudah menjadi bubur, bukankah kecerdasan bangsa dirampok?

Mengapa mengalokasikan dana bermilyar-milyar untuk pembangunan gedung yang dalam 20 tahun harus diganti dengan yang baru yang juga membutuhkan bermilyar-milyar. Belum lagi biaya pemeliharaan yang ratusan juta pertahun. Padahal para guru perlu diberi gaji yang layak. Mereka perlu diberi dignitas yang baik. Mereka perlu diaturkan hidup yang sejahtera. Mereka perlu memiliki harga diri yang tinggi sehingga dapat menegakkan kepala ketika berjalan di tengah masyarakat, ketika berbicara dengan murid, ketika berdialog dengan orang tua, sehebat apapun orang tua itu, atau sekaya apapun orang tuanya.

Tetapi sekarang, orang tua dan murid hanya memandang dan menghormati sekolahnya, karena memiliki gedung yang indah, tetapi menghina guru karena mereka miskin dan tidak memiliki kualitas yang terbaik. Guru itu adalah elemen yang tidak boleh ditawar di dalam pendidikan level dan bentuk apapun. Dan guru bukan hanya harus ada, sehingga jika sudah ada yang disebut guru maka pendidikan boleh berjalan. Tetapi justru pendidikan hanya bisa dijalankan dengan keberadaan guru yang ideal, yang terbaik.

Bahasa Jawa menyebutkan bahwa Guru adalah singkatan dari “Digugu Lan Ditiru.” Maksudnya adalah “Diteladani dan Dicontoh.” Jika guru itu kualitas intelektualnya bukan yang terbaik, maka bagaimana orang tua akan mengijinkan anak-anaknya untuk meneladani dan mencontoh guru? Karena ada perkataan kekal yang sedemikian: “Murid hanya dapat menjadi sehebat gurunya.” Jika guru itu kualitas moralnya bukan yang terbaik, maka orang tua mana yang akan mengijinkan anak-anaknya meneladani dan mencontoh guru itu? Yang terjadi adalah orang tua pasti akan secara tidak sadar terus mengingatkan anak-anaknya untuk tidak menjadi seperti guru-gurunya di sekolah. Hal ini bisa dipahami. Maka guru bukanlah terhormat, tetapi justru terhina.

Di suatu negara tertentu yang sudah maju sekali, pernah didirikan satu sekolah. Sekolah itu didirikan dengan bangunan fisik yang tidak besar, tidak mewah, tidak hebat. Walaupun pendiri-pendiri sekolah tersebut mampu secara finansial. Mereka memilih mengalokasikan dana yang terbesar porsinya untuk menggaji guru-guru yang terbaik. Mereka mencari lulusan yang terbaik dan memberikan remunerasi yang sangat tinggi. Ini karena mereka memikirkan kualitas guru, sehingga mereka mau guru itu punya dignitas, mereka mau guru punya kehebatan yang luar biasa, mereka mau gurupun ada kesempatan untuk terus mengembangkan dirinya dengan mengejar ilmu yang paling mutakhir.

Maka mereka memilih menanamkan modal mereka untuk didepositokan di bank menjadi dana abadi, sehingga bunga dari modal itulah yang akan dipakai untuk membiayai gaji guru-gurunya. Bayangkan berapa besar modal yang diperlukan jika bunga deposito hanya sekitar 6-7% setahun? Lalu bagaimana dengan keperluan gedung? Disini saya salut sekali dengan para pendiri ini dan masyarakat di kota itu yang rela mengeluarkan dana lagi untuk didonasikan tanpa minta kembali sepeserpun demi pembangunan gedung yang dibutuhkan.

 Jika diperlukan laboratorium biologi, maka satu atau dua atau lebih keluarga bersama-sama mengumpulkan dana yang tidak akan kembali untuk dipakai membangun laboratorium biologi tersebut. Demikian seterusnya. Maka sekolah tidak lagi dibebani untuk mencari profit. Tetapi sekolah boleh berkonsentrasi untuk mengerjakan hal terbaik yang seharusnya dilakukan sekolah, yaitu menyediakan pendidikan formal terbaik bagi semua murid yang dipercayakan kepadanya. Indah bukan kondisi seperti ini? Mungkinkah dijalankan? Bukan hanya mungkin, tetapi sudah dijalankan. Maka Indonesia sebetulnya tinggal mencontoh model ini.

Tahukah kita apa yang terjadi di kota tersebut, di negara tersebut? Anak-anak muda bergiat sekali untuk mau menjadi guru. Guru menjadi profesi yang dikejar. Guru sekolah menjadi profesi terhormat. Bahkan orang tua ketika menemukan anak memiliki bakat dan kecerdasan yang luar biasa mendorong anaknya untuk menjadi guru. Mereka tidak bermimpi untuk menjadi konglomerat. Mereka tidak bermimpi menjadi kaya raya. Bagi mereka dengan gaji yang didapat untuk guru sudah sangat dan lebih dari cukup untuk hidup dan membiayai keluarga mereka untuk kehidupan yang layak. Mereka punya dignitas. Dignitas mereka tidak diukur dari seberapa banyak uang di bank yang mereka punya. 

Tetapi yang penting adalah mereka tidak hidup miskin atau pas-pasan sehingga menjadikan mereka memiliki mentalitas yang minder. Seorang professor psikologi di Harvard yang bernama Daniel Gilbert pada tahun 2006 pernah mengemukakan bahwa seseorang akan merasakan bahagia ketika gajinya setahun berkisar $40,000. Apalagi jika orang tersebut sudah menikah dan punya anak. Mungkin angka itu tidak lagi menjadi angka yang jauh sekali di ufuk timur di negara kita sekarang. Angka tersebut cukup masuk akal saat ini (tahun 2017) dengan tingkat harga tanah, rumah, bensin, kebutuhan dapur, dan lain sebagainya yang sudah meningkat berpuluh-puluh persen sejak tahun 1998.

Maka dengan dignitas dan kebahagiaan karena penghargaan remunerasi yang cukup bagi para gurunya, negara tadi walaupun kecil menjadi negara yang hebat sekali. Lulusan-lulusan terbaik, yaitu di dalam kisaran 10 besar, berlomba-lomba menjadi guru sekolah. Mereka yang punya Master dan Doktor tidak gengsi menjadi guru sekolah. Justru mereka dengan sengaja memilih menjadi guru sekolah. Maka kualitas guru yang didapat adalah yang terbaik. Sehingga murid secara alamiah memiliki dorongan untuk meneladani dan mencontoh guru-guru mereka. Karena guru-guru mereka adalah orang-orang yang ahli di bidangnya dan tahu ujung perkembangan paling mutakhir dari ilmu yang diajarkannya. Sekian tahun bergulir, norma dan standar terbentuk dan menjadi budaya. Lingkaran yang terbentuk bukanlah lingkaran setan, tetapi lingkaran keadilan dan kesejahteraan.

Di dalam konteks demikian maka tuntutan kepada guru untuk menjadi ideal seperti yang dimimpikan oleh Ki Hajar Dewantara menjadi logis dan adil.

“Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri HandayaniDi depan menjadi teladan, Di tengah membangkitkan semangat, Di belakang memberikan motivasi.” 

Kalimat itu bukan lagi menjadi slogan kosong belaka. Tetapi slogan itu menjadi tuntutan yang nyaman bagi guru dan seluruh jajaran masyarakat. Dengan dignitas yang benar dan kualitas yang terbaik, guru akhirnya boleh dihormati lagi. Maka seluruh kehidupan sosial boleh sekarang menuntut guru untuk menjadi teladan yang terbaik, menjadi pengobar semangat yang terbaik, dan menjadi pendukung yang terbaik, bagi para murid. Jika guru hidup saja sudah susah sekali karena pas-pasan, anak sakit tidak tahu bagaimana bisa bayar biaya kesehatan, makan tidak bisa tiga kali sehari, apalagi beli buku untuk mengasah diri, maka bagaimana dia bisa menjadi teladan yang terbaik, bagaimana dia bisa menjadi pengobar semangat yang terbaik, bagaimana dia bisa menjadi pendukung yang terbaik bagi murid-muridnya?

Sangat tidak adil menuntut guru dengan tuntutan setinggi langit sementara tidak disediakan baginya sarana dan prasarana yang memadai. Guru-guru tersebut yang hidup sulit seperti itu, yang hanya berprofesi sebagai guru demi sesuap nasi sementara sampai kesempatan yang lebih baik tiba, yang bukan lulusan-lusan terbaik, tidak mungkin bisa menjadi contoh yang baik bagi murid-muridnya, tidak mungkin bisa mengobar semangat karena semangat diri sendiri sudah lama lenyap, tidak mungkin bisa mendukung murid-muridnya karena mereka justru yang membutuhkan dukungan sebesar-besarnya.

Guru-guru yang bukan bakat alamiahnya dan panggilannya untuk menjadi guru, hanya akan mampu menjadi operator dari buku teks yang sudah dituliskan. Dan karena situasi seperti ini maka buku teks dibuat supaya memiliki kualitas “teacher-proof” yang mana guru tidak boleh merubah apapun di dalamnya dan hanya menyampaikan apa yang sudah tertulis. Maka mereka-mereka ini sebetulnya bukan guru. Mereka-mereka ini lebih tepat disebut sebagai pelaksana buku teks. Hasilnya sudah dapat dipastikan sangat menyedihkan.

Wahai bangsa Indonesia, marilah bangkit dari keterpurukan ini. Marilah kita tegakkan lagi dignitas guru di tanah air seperti yang dimimpikan oleh Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara. Marilah kita putuskan lingkaran setan itu, supaya putra-putri bangsa boleh mendapatkan pendidikan formal maupun informal dan non-formal yang terbaik sekali lagi. Marilah kita lahirkan lagi guru-guru yang memiliki kualitas terbaik itu menjadi sesuatu yang umum. Janganlah sampai kualitas guru terbaik di tanah air hanya bisa ditemui di zaman Ki Hajar Dewantara.

Tetapi justru di abad 21 ini, setelah 70 tahun lebih Indonesia merdeka, negara kita boleh menghadirkan Ki Hajar Dewantara Ki Hajar Dewantara muda yang berdedikasi tinggi, yang memiliki kecerdasan super, yang hatinya dipenuhi moralitas yang agung, yang ketrampilannya kelas dunia, dan yang pengetahuannya seluas alam semesta. Sehingga bangsa kita boleh berdiri dengan hormat, dengan harga diri yang tinggi, dengan kepala tegak di dalam moral, intelektual, ketrampilan, dan pengetahuan yang paling handal.

Guru memang adalah pahlawan, tetapi mereka perlu diberi tanda jasa. Perlu dihargai perjuangan dan pengorbanannya. Berkecimpung di wilayah pendidikan bukanlah hal yang gampang. Guru berurusan dengan manusia. Dan manusia adalah makhluk tertinggi di bumi ini. Manusia memiliki kompleksitas yang luar biasa rumit. Lebih mudah berurusan dengan mesin. Karena mesin itu benda mati. Mesin bisa dibongkar dengan mudah dan dipasang kembali secara rasional. Manusia tidak bisa diperlakukan demikian. Terlalu banyak aspek di dalam diri dan kehidupan manusia yang perlu dipahami. Dan sampai sekarang kita belum mampu memahami manusia secara tuntas. Tugas sebagai guru adalah tugas yang sangat berat. Maka remunerasipun harus diberikan secara adil.

Adalah tanggungjawab institusi pendidikan untuk memberikan kesejahteraan yang terbaik bagi aset utama sekolah, guru. Saya berikan nasehat administratif praktis. Jika sekolah berani memberikan remunerasi yang adil dan sejahtera bagi guru, maka sekolah akan secara otomatis punya hak untuk menuntut guru bekerja dengan kualitas yang terbaik pula. Bahkan sekolah akan punya keberanian untuk menyeleksi guru dan hanya mau menerima yang terbaik saja. Sekolah akan memiliki kewibawaan alamiah di dalam menuntut guru mengabdi, sebab sekolah sudah menjalankan tanggungjawabnya memelihara kesejahteraan guru.

Tidak lagi sekolah akan pasrah dengan kualitas guru yang ala kadarnya karena sekolah juga tidak memberikan remunerasi ala kadanya. Tidak lagi sekolah akan pasrah memilih yang terbaik di antara yang terburuk karena sekolah akan mendapatkan yang terbaik dari semua lulusan terbaik. Dan seluruh bangsa akan ditingkatkan kualitas kecerdasannya, moralitasnya, ketrampilannya, dan pengetahuannya. Semua bentuk pendidikan akan terpengaruh secara positif. Para guru akan dengan bangga menyandang label guru. Istilah “digugu lan ditiru” akan menjadi riil. Betul-betul guru akan menjadi pahlawan sejati di dalam perjuangan bangsa di suasana yang sudah merdeka.

Bahkan guru akan menjadi pahlawan sejati dunia yang mana mereka mendedikasikan hidup mereka untuk kebaikan seluruh umat manusia. Pada saat itu tidak akan banyak orang berani dipanggil guru, bukan karena istilah guru adalah istilah terhina, tetapi justru karena sebutan guru itu menjadi sangat terhormat, sehingga orang akan merasa tidak layak menyandang gelar Guru.

Sejarah mencatat Guru-Guru besar sepanjang kehidupan umat manusia, ada Musa, ada Khrisna, ada Budha, ada Sokrates, ada Plato, ada Aristoteles, ada Laozi, ada Konghucu, ada Yesus Kristus, ada Muhammad, ada Gandhi. Beliau-beliau ini bukan hanya Guru-Guru yang besar, tetapi juga manusia-manusia yang paling agung sepanjang masa. Demikian wibawa guru akan direstorasi dan dikembalikan pada posisi yang seharusnya. Pada saat itu, bangsa kita akan menjadi bangsa yang maju sekali, sebab seperti yang dikatakan oleh pepatah bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya, demikianlah jika kita menghargai pahlawan-pahlawan yang sekarang bergelar guru itu dengan kehidupan dan kesejahteraan yang adil dan yang semestinya.

Telah diterbitkan di Kompasiana : http://www.kompasiana.com/motyang/kritik-terhadap-masalah-guru-di-indonesia-terhormat-atau-terhina_586f141782afbd82103928e1

No comments:

Post a Comment