Friday, January 6, 2017

Kritik Terhadap Sekolah di Indonesia: Pendidikan Revolusi Industri



Sejak dimulainya revolusi industri di tahun 1760, dinamika masyarakat dunia berubah dengan sangat drastis. Selama ribuan tahun sebelumnya masyarakat dunia hidup dengan ritme agraria dan agrikultur. Tetapi revolusi industri merubah wajah kehidupan masyarakat dunia dengan waktu yang sangat singkat. Hanya membutuhkan waktu sekitar 60-80 tahun saja kebiasaan hidup agraris berubah menjadi industrialis, yaitu dari tahun 1760 sampai 1820/1840. Maka sejak saat itu percepatan hidup manusia menjadi sangat intens.

Tuntutan hidup juga menjadi sangat banyak dan tinggi. Kira-kira seratus tahun setelah dunia berubah menjadi industrialis, populasi penduduk dunia meledak dengan sangat mengejutkan. Jika di tahun 1960an penduduk dunia berkisar 2 milyard orang, di tahun 2000 penduduk dunia menjadi hampir 5 milyard orang. Ledakan populasi manusia ditambah dengan revolusi industri membuat pola kehidupan yang sangat kompetitif dan konsumeristis. Di dalam perubahan dinamika kehidupan sosial seperti ini, pendidikan pun mengalami perubahan yang sangat drastis.


Industri yang berkembang dengan sangat cepat demi memenuhi kebutuhan dan permintaan pasar, membutuhkan banyak tenaga kerja yang bisa mengikuti prosedur baku untuk menghasilkan produk-produk secara massal. Di dalam pabrik-pabrik, produksi massal membutuhkan frekuensi repetisi prosedur baku yang sangat tinggi. Karena kebutuhan yang sangat besar inilah wajah pendidikan berubah total. Pendidikan menjadi sangat formal dan massal. Maka muncullah pendidikan formal dengan asumsi model pabrik.

Pendidikan distandarisasi untuk boleh mencapai hasil produksi massal yang memiliki kualifikasi jenis tertentu. Manusia dipaksa untuk menjadi seragam secara kualifikasi baik ketika masuk ke jalur pendidikan formal maupun lulus darinya. Demikianlah model sekolah yang sekarang kita warisi dan masih jalankan di era postmodern ini. Kurikulum eksplisit dari sekolah dipenuhi dengan ketrampilan dan pengetahuan yang tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan industri. Manusia dididik untuk menjadi operator sebuah mesin yang dapat menghasilkan produk-produk yang laku di pasaran.

Dengan banyaknya lapangan kerja yang lowong di industri, dan kepastian mendapatkan gaji, serta kesempatan hidup di kota, maka banyak anak muda meninggalkan kampung halamannya, meninggalkan usaha orang tuanya, meninggalkan semua ilmu yang diajarkan bapak ibunya, demi menggapai mimpi di era industri. Tetapi anak-anak muda ini tidak memiliki ketrampilan yang sesuai dan yang dibutuhkan di industri. Maka diperlukan adanya suatu pendidikan yang bisa melatih anak-anak muda tersebut untuk dapat bekerja di industri yang sudah ada.

Karena industri secara bisnis harus terus berjalan sementara kebutuhan dan permintaan pasar terus meningkat, maka sekolah tidak bisa berlama-lama melatih para murid. Terjadilah tuntutan pendidikan formal supaya dapat melatih dengan secepat-cepatnya dan meluluskan murid-muridnya dengan kemampuan yang terbaik. Konflik ini tidak pernah padam bahkan sampai detik ini. Kenyataannya yang terjadi adalah pelatihan yang terlalu cepat akhirnya secara konsekuensi menjadi sangat selektif karena keterbatasan waktu dan tenaga. Otomatis hasilnya menjadi tidak sesuai dengan harapan. Maka terjadi kompromi, yaitu jika diharuskan untuk pelatihan hanya 2 tahun, maka lulusannya tidak mungkin menguasai ilmu yang diharapkan. Terjadilah kekecewaan dari pihak industri.

Ketika terjadi evaluasi seperti ini, sekolah mengkoreksi dengan cara yang paling mudah yaitu menambah kredit dan konsekuensinya menambah jam sekolah. Jika hanya ditambah satu atau dua saja belumlah menjadi masalah besar. Tetapi jika penambahan akhirnya menjadi kumulatif, yaitu setiap periode tertentu terjadi penambahan, maka setelah beberapa dekade kurikulum eksplisit menjadi sangat padat dan waktu tak tersisa. Jika pada level advanced sudah tidak memadai lagi pengaturan kurikulum eksplisitnya, maka akan dibebankan kepada level-level sebelumnya, yaitu di intermediate sampai ke basic. Maka tidaklah heran jika pada suatu waktu kita semua menyaksikan beban pelajaran anak-anak SD membludak. Dan bahkan saat ini TK pun dibebani kewajiban-kewajiban akademis yang tidak ditemui 30 tahun lalu.

 Pengorganisasian pengetahuan di sekolah diatur sedemikian rupa dengan model linear seperti orang menata bata untuk membuat tembok. Imajinasi model pendidikan ini dianggap sebagai model yang terbaik dan efektif. Karena itu terjadilah jenjang-jenjang pelevelan. Salah satu alasan pembuatan jenjang ini adalah masalah kontrol. Pembagian sedemikian memudahkan kontrol. Maka misalnya ada matematika 101 yang menjadi dasar sebelum naik ke matematika 102. Matematika level 100 ini menjadi dasar sebelum masuk ke matematika level 200. Demikian seterusnya.

Diasumsikan bahwa kalau sudah lulus matematika level 100 pastilah sudah memiliki fondasi yang kuat untuk masuk ke level 200. Maka di level 200 tidak lagi dibahas apapun yang pernah dipelajari di level 100. Untuk proses pembuatan produk di pabrik, model ini sangatlah efektif dan efisien. Yaitu misalnya kayu yang didapatkan di hutan masuk proses pertama, dibersihkan dari kulitnya. Lalu kayu dipotong menjadi beberapa bagian sesuai dengan ukuran standar tertentu. Lalu kayu potongan tersebut dipotong menjadi lembaran-lembaran ukuran tertentu. Ini adalah permisalan contoh bagaimana pabrik beroperasi. Akan tetapi model ini sebetulnya bermasalah ketika diterapkan di dunia pendidikan.

 Suatu masa lewat, industri jenis tertentu pun lewat, dan bermunculanlah banyak industri-industri jenis lain yang sangat bervariatif. Ini karena persaingan di dunia bisnis juga semakin tinggi. Tetapi sekolah hanya siap dengan satu atau dua jenis industri saja. Sehingga lulusannya yang makin banyak setiap tahunnya mengalami kesulitan ketika lapangan kerja industri jenis tertentu tiba-tiba mengkerut jumlahnya. Maka banyak lulusan yang menganggur. Sekolah mengalami kesulitan mengantisipasi hal ini. Pemikiran baru dibutuhkan untuk mengatasi problematika yang ada. Muncullah suatu proses pendidikan yang selektif untuk bagian-bagian yang sifatnya umum.

Terjadilah proses generalisasi secara masif. Terjadilah pergumulan yang berat sekali di sector pendidikan formal untuk menentukan pengetahuan dan ketrampilan apa saja yang bisa dimasukkan kategori umum sehingga dibutuhkan untuk semua jenis keahlian. Terjadi negosiasi, dekonstruksi, konstruksi, dan rekonstruksi di sana sini dalam pembentukan jenis-jenis pelajaran yang dapat diterima disemua program. Yang sebenarnya terjadi adalah kompromi. Manakah yang dikompromikan, itulah yang menjadi pertanyaan kritisnya. Jika yang dikompromikan adalah hal yang memang tidak terlalu penting, maka tidaklah ada terlalu banyak masalah. Tetapi ketika yang dikompromikan adalah hal yang penting dan harus ada, maka terjadilah kesulitan yang luar biasa.

Contoh-contoh yang baru kita diskusikan ini ketika bertemu dengan keinginan hati, keterbatasan waktu, dan bakat alamiah manusia, terjadilah konflik yang sangat besar. Pertama-tama, industri itu ruang lingkupnya terbatas. Batasan ini adalah dikarenakan gerakan industri tidaklah bisa sekaligus mencakup variasi yang terlampau banyak. Keterbatasan kemampuan implementasi ide dan gerakan bisnis membatasi lingkup industri secara alamiah. Tetapi keinginan hati manusia itu memiliki variasi yang hamper takterbatas. Bahkan di tiap spectrum selalu ada kreatifitas yang mendorong untuk menjadikan karyanya unik. Produksi massal dari industri mematikan keunikan.

Dan tentunya bersamaan dengan itu mematikan kreatifitas. Organisasi pengetahuan dan ketrampilan difokuskan hanya pada satu atau dua hal yang dianggap paling esensial, yaitu yang bisa direplika dengan tingkat kemiripan yang sangat tinggi. Keseragaman ini menyesakkan hati manusia. Penyamaan ini, yang seringkali dinamai standarisasi, menekan keunikan natural manusia. Sehingga salah satu harus dikorbankan. Dua hal ini tidak bisa hidup bersamaan. Karena industri itu secara skala besar dan karena itu sekolah juga yang mengikuti industri konsekuensinya menjadi besar pula, maka yang dikorbankan adalah keunikan manusia. Kreatifitas ditekan sampai tidak ada lagi tempat baginya.

Maka perlahan-lahan jiwa manusia menjadi mati. Kemanusiaan dirubah menjadi mesin. Manusia akhirnya menjadi seperti robot di dalam dunia mesin yang besar sekali. Terjadilah kegagalan pendidikan (formal) ketika sekolah memilih untuk melayani industri daripada melayani hakekat manusia yang di dalamnya ada gambar ilahi. Konsekuensinya adalah, manusia dikorbankan dan ditransformasi menjadi obyek tanpa jiwa.

Kedua manusia belajar memerlukan waktu untuk penguasaan. Tuntutan untuk murid lulus dengan cepat memaksa proses selektif yang tidak logis. Tidak logis karena tidak sesuai dengan kemampuan belajar alamiah manusia. Manusia adalah makhluk yang terbatas oleh waktu. Pembatasan oleh waktu ini tidak bisa diakali dengan cara apapun. Sejenius apapun manusia, tetap dirinya terbatas oleh waktu. Ada orang-orang jenius yang bisa menyelesaikan studi formal dengan waktu yang super cepat. Tetapi tetap butuh waktu. Lagipula orang jenius di dunia ini langka, hanya ada 1 di antara berjuta-juta orang kebanyakan.

Sedangkan industri tidak bisa menunggu kemewahan kelangkaan orang jenius untuk menjalankan roda pabriknya. Maka dibuatlah kurikulum akselerasi yang dimaksudkan untuk mengkarbit para murid supaya lulus dengan cepat tanpa perlu memiliki ilmu yang komprehensif. Terjadilah pembentukan ilmu yang tidak komplit. Ilmu yang hanya parsial ini akhirnya menjadi norma yang berlaku di standar kelulusan. Maka salah satu kritik besar oleh pendidikan postmodern adalah bahwa pendidikan tradisional (yang masih mengikuti model revolusi industri) adalah bahwa pendidikan tradisional itu terpecah-pecah atau fragmented.

Kegagalan sekolah sangatlah besar dalam hal ini ditambah dengan trik mempercepat yang dipaksakan kepada murid-murid yang masih berusaha menata fondasi keilmuan untuk segera memilih jurusan yang diminta oleh industri di luar. Karena fokusnya hanyalah kepada pengetahuan dan ketrampilan spesifik untuk memenuhi mesin industri, maka hal-hal yang dianggap kurang mendukung permintaan pasar akhirnya dipangkas atau dieliminasi. Misalnya hal-hal yang dipangkas adalah semua ilmu yang termasuk di area seni, olah raga, dan juga sosial. Entah topik-topik tersebut dikategorikan sebagai ektrakurikuler atau dimasukkan kepada domain yang tidak favorit.

Belum lagi bicara tentang soal etika, keimanan, hubungan antar manusia, dan lain sebagainya, yang secara kurikulum diatur untuk dapat dengan mudah dipangkas atau dibuang atau diberikan porsi yang sekecil-kecilnya. Konsekuensinya, para lulusan hanya memiliki ilmu yang parsial, dan kedewasaan iman serta mental yang jauh dari dewasa, ditambah dengan ditutupnya wilayah yang dianggap tidak favorit. Tambal sulam di area ini semakin menjadi-jadi ketika industri berkembang dan akhirnya membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan di area-area yang lain.

Sekolah yang sudah standar ini tidak siap, tetapi dipaksa untuk menjadi siap dalam waktu singkat harus meluluskan calon-calon pekerja yang dituntut oleh pasar. Maka sekali lagi terjadilah akselerasi pembentukan program yang parsial dan memaksa kecocokan dengan yang sesungguhnya dikehendaki industri. Hasilnya, hanya kira-kira 15% lulusan universitas yang berhasil diserap industri sesuai dengan jurusan yang diambil. Kegagalan ini terlampau besar untuk diabaikan, seharusnya. Tetapi institusionalisme sangatlah sulit untuk direformasi. Institusi yang sudah berdiri sudah terlalu masif untuk berubah arah apalagi untuk merubah bentuk dan fondasi.

Ketiga bakat manusia itu luas variasinya dan beragam pada levelnya. Keterbatasan industri dan keterbatasan waktu ketika bersinergi dengan keterbatasan pilihan-pilihan jurusan membuat frustasi manusia yang secara alamiah memiliki variasi bakat yang sangat luas. Kecenderungan bakat manusia itu bukannya diakomodasi oleh sekolah tetapi justru dianggap sebagai keanehan. Keberbedaan dan keunikan menjadi hal yang sangat menakutkan bagi sekolah. Sekolah tidak memiliki sistem yang dapat mengakomodasi variasi yang luas. Maka demi mempertahankan sistem, variasi bakat harus ditekan dan dimatikan kalau perlu.

Maka sekolah yang adalah alat pendidikan, yang seharusnya mengakomodasi manusia, justru memaksa manusia untuk mengakomodasi sekolah dengan segala keterbatasannya. Karena sekolah yang mengikuti revolusi industri sudah memilih untuk mengakomodasi industri maka merubah pilihan berarti mendekonstruksi seluruh tatanan sistem sekolah.

Tetapi secara ontologis seharusnya sekolah itu mengakomodasi manusia. Kalaupun sekolah memiliki goal untuk meluluskan murid supaya bisa berkiprah di industri yang ada, kurikulum sekolah harusnya diatur sedemikian rupa untuk menolong para murid boleh mencapai keberhasilan di dunia industri dengan mengakomodasi setiap keunikan bakat masing-masing individu. Tentunya untuk model sekolah ideal seperti itu dapat dicapai, diperlukan kebijaksanaan dalam pendesainan dan pengkonsepannya. Untuk memutuskan sesuatu yang bijaksana diperlukan waktu yang cukup. Jika masalah waktu sudah dikompromi dengan keharusan untuk cepat, maka keputusan yang diambil boleh dipastikan tidaklah bijaksana. Yang ada hanyalah untung-untungan, atau trial & error. Celakalah pendidikan jika keputusannya diambil berdasarkan untung-untungan atau trial & error.

Sekolah di Indonesia masih mengikuti pola revolusi industri ini. Bahkan sampai pada level universitas pun yang diakomodasi adalah industri dan bukanlah manusia yang mengenyam pendidikan formal disana. Relasi akomodasi ini adalah relasi yang keliru secara fatal. Justru relasi akomodasi yang mana sekolah mengakomodasi manusia itulah yang benar. Tetapi relasi akomodasi yang benar itu malah tidak dapat ditemukan. Perlu saya perjelas disini, bahwa mengakomodasi manusia itu bukan berarti mengakomodasi penyimpangan manusia dan dosa-dosanya.

Saya beri contoh, sekolah tidak boleh mengakomodasi kecenderungan dosa manusia untuk berbohong dengan mengajarkan bagaimana cara berbohong yang paling lihai. Berbohong adalah penyimpangan dari hakekat asli manusia. Berbohong adalah dosa yang melenceng dari sifat dasar manusia yang memiliki gambar ilahi. Penyimpangan sedemikian tidaklah boleh diakomodasi. Sebab pendidikan yang sejati justru harus mengakomodasi kemanusiaan yang sejati pula. Maka jika ada murid yang mengekspresikan tingkah laku berbohong, sekolah perlu memberikan koreksi, tentunya dengan bekerjasama dengan orang tua dan institusi agama. Dengan kata lain, sekolah memiliki obligasi untuk tidak mengakomodasi penyimpangan.

Berikut, sekolah dan industri harus belajar bersinkronisasi. Industri secara khususnya, yang sudah lebih dua ratus tahun menikmati posisi sebagai pendikte sekolah, seharusnya mulai menanggalkan kebiasaan lama tersebut sebab kebiasaan lama itu justru melanggar hakekat kemanusiaan. Dua entity besar ini perlu berdialog untuk menemukan model pendidikan formal yang memanusiakan manusia dan menghadirkan pendidikan ilmu yang komprehensif dengan manfaat secara holistik demi kesejahteraan seluruh manusia. Karena di Indonesia pemerintah masih memegang tampuk kekuasaan atas pendidikan, khususnya pendidikan formal, maka pemerintah perlu memikirkan dengan serius kebijakan-kebijakan yang boleh mengarahkan sekolah menuju kepada pemenuhan dari pendidikan formal yang ikut serta dalam pembentukan manusia seutuhnya. Jika kita ingat yang dikatakan Ki Hajar Dewantara:

 "Memayu hayuning sariro, memayu hayuning bangsa, memayu hayuning bawana. [Apapun yang diperbuat oleh seseorang itu] hendaknya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri, bermanfaat bagi bangsanya, dan bermanfaat bagi manusia pada umumnya.” 

 Maka kita akan memiliki visi pendidikan yang tidak hanya berhenti kepada manfaat untuk bangsa Indonesia saja. Tetapi kita akan melihat visi yang mencapai manfaat bagi manusia pada umumnya. Dari sinilah kita baru bisa dengan bijaksana memikirkan kurikulum sekolah. Jangan sampai kurikulum nasional hanya didesain berdasarkan atas keinginan meniru negara-negara tertentu yang di urutan ranking dunia masuk yang paling top, apalagi jika dasar kurikulum mereka adalah mengakomodasi industri.

Lebih perlu dipahami adalah filosofi dasar kurikulumnya dan pengambilan keputusan desainnya. Dan setelah itu dapat mengembangkan desain yang mengakomodasi manusia Indonesia secara tepat dan bijaksana. Baru dengan demikian kita bisa memenuhi apa yang dikumandangkan di dalam pendidikan Indonesia sebagai usaha “mencerdaskan kehidupan bangsa” dan “membangun manusia Indonesia seutuhnya” melalui kontribusi pendidikan formal dalam bentuk sekolah atau universitas. 


No comments:

Post a Comment