12 Πάντα οὖν ὅσα ἐὰν θέλητε ἵνα ποιῶσιν ὑμῖν οἱ ἄνθρωποι, οὕτως
καὶ ὑμεῖς ποιεῖτε αὐτοῖς.
"Segala
sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian
juga kepada mereka.”
Yesus Kristus,
Alkitab, Matius 7:12
Dunia filsafat dan etika mengenal
kalimat dari Yesus Kristus ini sebagai “the Golden Rule” (Hukum Emas). Standar etika di dunia ada di dalam kalimat
ini. Tidak ada prinsip etika yang lebih
tinggi dari prinsip ini. Suatu kalimat
yang sangat agung di dalam sepanjang sejarah manusia yang menjadi dasar etika
moral manusia. Perkataan Yesus Kristus
ini mencakup prinsip etika dari Immanuel Kant yaitu “Do No Harm” (Tidak
Menyakiti) dan Konghucu 己所不欲,勿施于人 – jǐsuǒbùyù,wùshīyúrén
(“Apa yang kau tidak ingin orang lain lakukan kepadamu, jangan lakukan kepada
orang lain”).
Prinsip “Do No Harm” dari Kant ini
bersifat pasif, dimana di dalam prinsip ini pusatnya ada pada kondisi dimana
seseorang tidak bertindak sesuatu yang jahat.
Prinsip ini berhenti hanya kepada kondisi vacuum yang mem-void-kan
tindakan jahat. Sehingga pada prinsipnya
Kant mengharuskan semua perbuatan yang etis adalah perbuatan yang tidak
menyakiti. Ini ada langkah paling awal
sekali dari prilaku yang etis. Apapun
yang dipikirkan, direncanakan, dilakukan, haruslah berada dalam batasan tidak
menyakiti ini. Secara logis dapatlah
ditarik kesimpulan bahwa apapun yang menyakiti adalah tidak etis. Sesuai dengan prinsip ini, maka tidak ada
keharusan untuk seseorang itu melakukan sesuatu yang baik secara aktif untuk
masuk kategori etis. Tetapi hanya cukup
jika setiap individu tidak melakukan kejahatan.
Ada kemiripan dengan prinsip dari Konghucu.
Prinsip 己所不欲,勿施于人 – jǐsuǒbùyù,wùshīyúrén
atau (“Apa yang kau tidak ingin orang lain lakukan kepadamu, jangan lakukan
kepada orang lain” ini juga bersifat pasif.
Bedanya dengan Kant, Konghucu memberi konteks yang lebih jelas. Masalah etika berkaitan langsung dengan
masalah kesejahteraan orang lain. Dan
orang lain disini ditekankan oleh Konghucu dan diberikan penekanan yang
sifatnya lebih personal. 2400 tahun
sebelum Kant, Konghucu sudah memberikan kalimat yang luar biasa tinggi
moralitas dan etikanya untuk menjaga dignitas dan kodrat manusia sebagai
makhluk yang diciptakan Allah di dalam akhlak yang mulia. Sehingga Konghucu memberi referensi yang
lebih praktis patokannya atas prilaku yang etis. Prinsip etika Kant tidak memberikan patokan
yang praktis atas apa yang diharuskan dengan tidak menyakiti. Disamping itu Kant hanya meletakkan dasar
etika kepada satu makna saja yaitu tidak menyakiti. Sedangkan Konghucu menariknya kepada
keinginan dasar manusia atau motif di dalam hati manusia yang menentukan
tingkah laku asli manusia. Sehingga
prinsip Konghucu jauh melampaui prinsip Kant yang berhenti kepada tindakan
saja. Motif menjadi penting di dalam
etika Konghucu. Dan keinginan hati
manusia pulalah yang menjadi pengontrol tindakan moral seseorang. Sangatlah manusiawi prinsip etika dari
Konghucu ini dan sangatlah praktis untuk dikerjakan sehari-hari sehingga prinsip
ini dianggap oleh para filsuf sebagai “Silver Rule” (Hukum Perak) untuk etika
universal di seluruh dunia. Bagaimanakah
mengunci tindakan moral seseorang? Yaitu
dengan membatasinya sesuai dengan apa yang diri tidak ingin orang lain lakukan
kepadanya. Misal, jika diri tidak ingin
dilukai, maka diri pun tidak boleh melukai orang lain. Misal lagi, jika diri tidak ingin difitnah,
maka diri pun tidak boleh memfitnah orang lain.
Jika diri tidak ingin dikorupsi, maka diri pun tidak boleh
mengorupsi. Dan seterusnya. Maka prinsip etika ini menjadi fondasi yang
sangat penting bagi hidup moral dan etika manusia.
Prinsip etika Konghucu ini ada
kemiripan dengan prinsip etika Yesus Kristus.
Bedanya hanya pada sifat dari prinsipnya, yang mana pada prinsip
Konghucu prinsip etikanya bersifat pasif, sedangkan prinsip Yesus Kristus
adalah bersifat aktif. Prinsip Konghucu
yang bersifat pasif hanya berhasil mengeliminasi tindakan dan motif yang jahat,
tetapi belum memberikan dorongan untuk tindakan dan motif yang baik. Prinsip dari Yesus Kristus disamping
mengeliminasi motif dan tindakan yang jahat, juga mendorong diri untuk
melakukan yang baik.
12 Πάντα οὖν
ὅσα ἐὰν θέλητε ἵνα ποιῶσιν ὑμῖν οἱ ἄνθρωποι, οὕτως καὶ ὑμεῖς ποιεῖτε αὐτοῖς.
"Segala
sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian
juga kepada mereka.”
Mirip
dengan Konghucu, Yesus Kristus juga memberikan patokan yang praktis serta dapat
dengan realistis dilakukan di dalam menjalankan prinsip etika ini. Standar pengukuran motif dan prilaku etika
adalah bagaimana diri ingin diperlakukan.
Manusia secara normal adalah ingin diperlakukan dengan baik. Manusia ingin dicintai. Manusia ingin diperlakukan dengan adil. Manusia ingin mengalami sejahtera. Maka itu semualah yang seharusnya manusia
lakukan kepada sesamanya. Prinsip Yesus
Kristus tidak hanya berhenti pada kondisi tidak melakukan yang jahat, tetapi
melangkah lebih jauh untuk secara aktif mengisi hidup dengan hal yang baik. Jika prinsip Kant dan Konghucu sudah
menyatakan bahwa sesuatu dikatakan etis kalau tidak melakukan apa-apa yang
jahat, prinsip Yesus Kristus menyatakan bahwa tidak melakukan apa-apa yang
jahat saja tidak cukup. Sehingga misal
ada orang yang sedang di-bully oleh sekelompok orang dan kita menyaksikan
kejadian tersebut, jika mengikuti prinsip Kant dan Konghucu, asalkan kita tidak
ikut serta dalam pem-bully-an tersebut, kita tidaklah dapat dikatakan tidak
etis. Tetapi bagi Yesus Kristus, tidak
melakukan apa-apa pada kondisi itu belum cukup dikatakan sebagai tindakan
etika. Justru sebagai orang yang ingin
diperlakukan adil, adalah etis jika kita menolong orang yang sedang di-bully
tersebut. Itulah tindakan aktif etika,
dimana secara praktis menerapkan prinsip bukan hanya kita tidak suka di-bully
sehingga tidak mem-bully orang lain, tetapi lebih dari itu yaitu jika kita
di-bully kita ingin ada orang yang membela kita, maka kitapun membela orang
yang di-bully secara aktif. Prinsip
etika ini dibentuk mulai dari empati.
Ketika seseorang belajar etika ini, seseorang belajar suatu karakter
pada level yang sangat tinggi, yaitu empati.
Empati inilah yang menggerakkan seseorang melakukan hal-hal yang baik
walaupun tidak menguntungkan dirinya.
Dan inilah etika dari Hukum Emas Yesus Kristus.
Ketika pendidikan hendak mencapai
kualitas karakter yang baik, etika haruslah diajarkan dengan semestinya. Pendidikan etika tidak dapat diabaikan
didalam pembentukan karakter seseorang.
Tentunya bukan sembarang pendidikan etika yang boleh diajarkan, tetapi
pendidikan etika tertinggilah yang harus menjadi standar. Utilitarianisme misalnya bukanlah prinsip
etika yang terbaik, sebab di dalam utilitarianisme yang terutama adalah
tercapainya tujuan yang dicanangkan tanpa mempedulikan cara yang ditempuh. Sehingga di dalam utilitarianisme hasil akhir
membenarkan caranya (the ends justify the means), yang mana akhirnya terjadilah
prinsip menghalalkan segala cara. Entah
cara itu baik atau jahat tidaklah menjadi persoalan, asalkan yang dicapai
baik. Jika prinsip etika ini diadopsi
maka dunia kita akan menjadi rusak.
Karakter tidak lagi dibentuk sesuai dengan hakekat dasar manusia, tetapi
justru mengijinkan manusia untuk membuat alasan demi membenarkan tindakannya
yang jahat. Misal ada seorang yang
miskin bernama Tom dan membutuhkan uang untuk pengobatan anak tunggalnya
Dina. Maka Tom membutuhkan uang untuk
mencukupi kebutuhan pengobatan Dina.
Jika Tom tidak memiliki uang yang cukup, Dina akan sangat mungkin
mengalami kematian. Maka Tom memutuskan
untuk merampok. Jika dilihat dari
prinsip Utilitarianisme Tom tidak bersalah secara etika, sebab dia memiliki
tujuan yang baik. Tujuan dari Tom demi
supaya Dina boleh disembuhkan dan diselamatkan akan membenarkan cara dia
mendapatkan uang, yaitu dengan merampok.
Kalau ini yang menjadi prinsip etika yang diajarkan maka akan terjadilah
perusakan moral dan karakter manusia sampai pada level yang sangat parah. Jika pendidikan nasional hendak mencapai
kualitas karakter bangsa yang baik dan membanggakan, tentunya para ahli
pendidikan harus mencermati pemilihan prinsip etika yang seharusnya diajarkan.
Struktur etika yang benar-benar baik
dijabarkan oleh Aristoteles yaitu dengan menetapkan tujuan yang baik, motif
yang baik, dan cara yang baik. Hanya
ketika tiga hal ini memiliki nilai yang baik, baru kita dapat mengatakan bahwa
etika nya adalah benar-benar baik. Satu
saja dari ketiga hal ini dinilai tidak baik, maka nilai etikanya secara
keseluruhan langsung menjadi tidak baik.
Etika tidak bisa dikatakan benar-benar baik jika motif dan tujuan baik
tetapi cara tidak baik. Etika tidak bisa
dikatakan benar-benar baik jika cara dan tujuan baik tetapi motif tidak
baik. Etika juga tidak dapat dikatakan
baik jika motif dan cara baik tetapi tujuan tidak baik. Apalagi jika motif dan cara tidak baik
walaupun tujuan baik. Tentunya jelas
sekali pasti etikanya tidak baik jika ditemukan ketiga-tiganya, motif, cara,
dan tujuan tidak baik. Tetapi dari
kemungkinan-kemungkinan yang ada, yang paling sulit dideteksi adalah
motif. Sebab motif adalah yang paling
tersembunyi. Motif hanya diketahui
secara jelas oleh diri pelaku dan Allah.
Selebihnya adalah dugaan, prediksi, dan deduksi oleh orang lain. Motif membutuhkan kejujuran. Bukan hanya kejujuran kepada orang lain,
tetapi yang lebih penting lagi adalah kejujuran kepada diri sendiri.
Dengan pengertian struktur etika
sedemikian, kita menyadari bahwa diperlukan pendidik yang sungguh-sungguh
memiliki kualitas etika yang tertinggi, jika menginginkan murid-murid memiliki
etika yang baik. Perlu saya ingatkan
kembali bahwa setiap orang adalah pendidik bagi orang lain baik secara langsung
maupun secara tidak langsung, baik secara intensional ataupun tidak, dimanapun
kita berada. Diperlukan suatu kekuatan
karakter dan etika seluruh bangsa yang benar-benar baik jika kita
sungguh-sungguh menghendaki terjadinya pendidikan etika moral dan karakter yang
baik. Pendidikan etika tidak dapat
dikatakan berhasil jika hanya baik di atas kertas atau hanya berlangsung secara
interaksi kognitif. Tetapi pendidikan
etika yang lebih baik harus mencakup keteladanan para pendidik serta para
pemimpin. Tentunya pendidikan etika
tidak bisa dikatakan berhasil sama sekali jika prinsip etika tidak diterapkan
secara konsisten oleh semua orang yang terlibat di dalam pendidikan, baik
formal, non-formal, maupun informal.
Mendidik manusia untuk memiliki
etika moral yang baik dimana struktur etikanya semua baik, bukanlah hal yang
mudah. Ada fase-fase dimana di dalam
perkembangan moral seseorang, terdapat elemen-elemen yang dominan menuruti pola
yang sudah ditanam secara alamiah dalam diri manusia. Lawrence Kohlberg dari Harvard University
mengetengahkan suatu teori yang mendunia yang disebut “Moral Development
Theory,” dimana di dalam teori tersebut ditemukan tiga level dan enam stages
dari perkembangan moral. Setiap level
memiliki dua stages. Kita tidak akan
membahas teori Kohlberg disini, tetapi hanya hendak menunjukkan bahwa tiap
level memiliki orientasi yang berbeda di dalam perkembangan moral
seseorang. Misal pada level pertama
secara umum manusia sangat berorientasi kepada Rewards & Punishment
(R&P) atau Hadiah & Hukuman.
Yaitu, seseorang tidak melanggar batas moral karena takut dihukum, ini
stage pertama. Ketakutan akan hukuman menjadi
batasan atas tindakan seseorang.
Sehingga dapat dikontrol lebih baik hasil prilaku seseorang yang
dikehendaki, misal dalam hal ini adalah prilaku moral yang baik. Sebagai contoh, anak-anak diharapkan untuk
belajar tidak membuang sampah sembarangan.
Maka dibuatlah batasan dimana ketika anak terbukti membuang sampah
sembarangan ada hukuman menanti. Setelah
mengalami hukuman, diharapkan anak tidak akan mengulangi perbuatannya membuang
sampah sembarangan. Pada saat yang
bersamaan, anak-anak lain yang mendengar eksekusi hukuman atas tindakan buang
sampah sembarangan tersebut akan memformulasikan imajinasi di dalam pikirannya
dan terbentuklah rasa takut akan hukuman yang menanti sehingga memutuskan untuk
tidak membuang sampah sembarangan.
Dengan demikian ketika anak-anak memutuskan untuk tidak membuang sampah
sembarangan terbentuklah jalur untuk pembentukan moral di dalam diri anak-anak
dalam hal kebersihan. Seiring dengan
waktu diharapkan prilaku ini bukan lagi menjadi prilaku yang terisolasi hanya
di satu tempat dimana ada R&P, tetapi menjadi kebiasaan yang memimpin
kepada pembentukan karakter. Jika hanya
berhenti pada level ini maka sebetulnya moral yang benar-benar baik belumlah
terbentuk. Karena orang hanya berprilaku
etis ketika dibatasi oleh R&P, sehingga ketika berada di luar R&P yang
ada, dia akan mungkin memilih tindakan yang tidak etis. Contoh yang umum adalah yaitu orang memilih
tidak melanggar ketika ada yang mengawasi, ada polisi misalnya, tetapi ketika
tidak ada polisi maka orang memilih untuk melanggar.
Tapi itu hanya level pertama. Seseorang belum dapat dikatakan memiliki
moral yang benar-benar baik jika motifnya hanyalah untuk menghindari hukuman
atau untuk mendapatkan hadiah. Level
berikutnya mencapai konteks kebaikan umum.
Yaitu pengambilan keputusan moral didasarkan atas kepentingan umum. Jika level pertama masih bersifat egoistis,
maka level kedua ini adalah mementingkan kepentingan orang lain. Ketika seorang anak bertumbuh, biasanya pada
awal usia 7 tahun, terjadilah perubahan cara berpikir, dari yang sangat
berpusat pada diri sendiri saja ke mulai memikirkan orang lain. Maka disana anak mulai bernegosiasi dengan
orang di sekelilingnya. Negosiasi ini
termasuk transaksi prinsip dan mengimitasi keteladanan. Keputusan moral tidak lagi cukup hanya
berhenti kepada perhitungan apakah menguntungkan diri atau tidak. Pada level kedua ini keputusan moral sudah
mencapai kemauan untuk menggapai keuntungan bersama. Sehingga ketika ada hal-hal yang tidak nyaman
saat keputusan moral diambil, anak dapat mentoleransinya demi kebaikan
bersama. Tetapi level ini memiliki
tantangan yang cukup berat yaitu ketika kebaikan kelompok dimana dia berada
bersebrangan dengan kebaikan kelompok lain.
Tentunya ada pengaruh pemimpin yang sangat besar dalam level ini. Salah satu kesulitannya ada pada kebutuhan
psikologis seseorang untuk diterima di dalam kelompok. Maka keputusan moralnya biasanya sangatlah
ditentukan oleh diterima atau tidaknya dirinya di dalam kelompok. Identitas diri akan sangat dipengaruhi oleh
identitas kelompok. Maka keputusan
moralnya adalah keputusan kelompok. Akan
menjadi masalah yang besar sekali ketika keputusan moral kelompok bukanlah
keputusan yang benar-benar baik.
Level yang tertinggi adalah ketika
seseorang boleh mencapai moral yang universal.
Dimana prinsip moralnya tidak lagi ditentukan oleh apakah diri untung
atau tidak, dan tidak lagi dipengaruhi oleh kelompok atau pemimpin yang
karismatik, tetapi yang menyadari bahwa pengambilan keputusan moral dilakukan
karena keputusan itu pada dirinya sendiri adalah baik. Jadi misalnya, seseorang memutuskan untuk
tidak membuang sampah sembarangan. Dia
melakukan itu bukan karena takut dihukum.
Bukan pula karena mengharapkan hadiah.
Bukan karena kelompoknya memutuskan untuk tidak membuang sampah
sembarangan. Dan juga bukan karena
pemimpin yang dikaguminya memilih untuk tidak membuang sampah sembarangan. Pada level ketiga ini dia tahu bahwa membuang
sampah sembarangan adalah tindakan yang buruk dan tidak etis. Sehingga dia memilih untuk tidak membuang
sampah sembarangan. Orang pada level ini
dikatakan bahwa walaupun ada ancaman untuk disakitipun dia tetap tidak akan
melanggar prinsip moral universal.
Kohlberg memasukkan orang-orang seperti Yesus Kristus, Gandhi, atau
Martin Luther King, Jr. di dalam kategori level ini. Secara umum tidak banyak orang dapat mencapai
level ini. Mayoritas orang hanya
berhasil mencapai level kedua. Dan tidak
jarang ada orang-orang yang selamanya berhenti pada level pertama.
Jika kita mengobservasi prilaku
moral orang-orang di Indonesia menggunakan teori dari Kohlberg, kita akan tahu
pada level manakah kebanyakan orang-orang di Indonesia berada. Dengan mengetahui keberadaan level moral
orang-orang di Indonesia, kita boleh tahu berapa banyak peer yang kita harus
kerjakan untuk pendidikan moral bangsa.
Jika prilaku moral bangsa masih mayoritas berhenti di level pertama,
berarti tugas pendidikan moral cukup berat.
Ini adalah tanggungjawab semua pihak, khususnya mereka yang memiliki
pengaruh bagi anak-anak bangsa yang baru mulai bertumbuh dan dibentuk
moralitasnya. Menurut hemat saya,
pendidikan moral adalah pendidikan yang sangat urgent untuk dikerjakan.
Tugas pendidikan nasional untuk pembangunan karakter bangsa tidak akan
dapat dikerjakan tanpa menggarap pendidikan moral bangsa. Hukum Emas yang diucapkan oleh Yesus Kristus
seharusnya menjadi dasar fondasi utama di dalam pendidikan moral bangsa Indonesia. Sehingga setiap warga negara boleh secara
aktif melakukan apa yang baik, bukan karena menghindari hukuman, atau demi
mendapatkan hadiah, atau hanya untuk kepentingan kelompok, atau karena pemimpin
besar berkata, tetapi di dalam hakekat dasar alamiah manusia yang adalah gambar
ilahi inilah kita memilih melakukan yang baik.
Maka keputusan moral setiap warga negara Indonesia, nantinya bahkan akan
melampaui kepentingan negara dan justru merambah kepentingan manusia pada
umumnya di seluruh dunia di sepanjang segala abad. Marilah kita ingat kembali perkataan Bapak
Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara:
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete